Memberdayakan wisata sejarah dan budaya di Jakarta
Jakarta (ANTARA) - Suasana sejuk dan suara lalu lalang kendaraan yang tersamarkan, memberikan ketenangan tersendiri ketika memasuki area taman di tengah kompleks bangunan tua di Jalan Kramat Raya 106, Senen, di Jakarta Pusat.
Suasana tersebut, kemungkinan berbeda 180 derajat dengan 95 tahun yang lalu, ketika puluhan atau mungkin juga sampai ratusan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan berbasis daerah, berkumpul dan mengikrarkan diri untuk bersatu dalam bahasa, bendera, dan identitas bangsa.
Bangunan ini adalah Museum Sumpah Pemuda, sebuah rumah untuk indekos bagi para pelajar non-Eropa tinggal di zaman kolonial, yang berkembang menjadi tempat peristiwa bersejarah, dan kemudian menjadi tonggak awal berdirinya satu bangsa bernama Indonesia.
"Di tempat ini juga WR Supratman memperdengarkan lagu Indonesia Raya pada khalayak umum yang kemudian menjadi lagu kebangsaan," kata Setyo Wahyuni, seorang pamong budaya di Museum Sumpah Pemuda.
Tempat indekos sejumlah tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, AK Gani dan yang lainnya ini, dijadikan museum sekitar tahun 1973 oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai pengelolanya. Gedung ini sekarang sejak 2012 dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari pembicaraan dengan Setyo, suasana sepi tersebut memang kerap terjadi, bahkan ketika akhir pekan yang notabene adalah hari libur. Rata-rata kunjungan di museum yang buka pukul 08.00-16.00 WIB ini, di akhir pekan bisa sekitar 50 orang, da pada hari kerja sekitar 20 orang.
"Tapi ini sebenarnya sudah ada peningkatan dari awal berdirinya museum ini. Mungkin karena berbagai usaha percantikan kawasan dan program penyuluhan yang dilakukan," ucapnya.
Suasana sepi seperti yang diceritakan Setyo ini, tidak hanya terjadi pada Museum Sumpah Pemuda saja, namun sudah lumrah pada fasilitas sejarah dan budaya lainnya di Jakarta.
Ini tentu menjadi hal yang terdengar cukup memprihatinkan mengingat Jakarta diklaim sudah berusia 495 tahun berdiri, walau berbagai penelitian menyebutkan bahwa kawasan teluk Jakarta telah dihuni jauh sebelum usia tersebut.
Artinya begitu panjang perjalanan sejarah kota yang kini menjadi Ibu Kota Negara Indonesia ini yang bisa menjadi potensi pendapatan dari sektor wisata, khususnya wisata sejarah dan budaya yang penuh nilai-nilai edukasi.
Wisata budaya dan sejarah
Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan, pada tahun 2020, jumlah kunjungan wisatawan pada lokasi-lokasi sejarah dan budaya di Jakarta sebanyak 503.299 orang.
Dari jumlah tersebut, Kampung Budaya Setu Babakan, Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), dan Museum Wayang berkontribusi cukup dominan pada kunjungan ke fasilitas sejarah dan budaya Jakarta, yakni masing-masingnya dikunjungi sebanyak 161.682 orang, 142.136 orang, dan 48.456 orang.
Sementara yang belum banyak dikunjungi adalah Taman Benyamin Sueb, Museum MH Thamrin, dan Laboratorium Tari dan Karawitan Condet yang masing-masing berkontribusi sebanyak 584 orang, 694 orang, dan 1,418 orang wisatawan.
Wisata sejarah dan budaya di Jakarta didominasi oleh wisata di Kawasan Kota Tua Batavia, dengan Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah) yang menjadi primadonanya, di mana per hari, rata-rata bisa dikunjungi antara 1.000 sampai 2.000 orang.
Jumlah tersebut, berbanding jauh dengan lokasi lainnya seperti Gedung Kesenian Miss Tjitjih dan Taman Benyamin Sueb yang dikunjungi sekitar 50 sampai 100 orang per bulan. Bahkan, Gedung Kesenian Miss Tjitjih tidak dikunjungi sama sekali oleh wisatawan pada Januari 2020.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menyebutkan bahwa kunjungan harian tersebut merupakan hitungan ketika sebelum pandemi COVID-19 terjadi di Jakarta ketika Maret 2020 di mana fasilitas-fasilitas wisata sejarah dan budaya Jakarta diharuskan menutup operasionalnya demi menghindari kerumunan.
"Wisata bersejarah di museum dan kawasan cagar budaya ditutup operasionalnya guna mengurangi penyebaran COVID-19. Tak hanya itu, dampak sangat dirasakan oleh pekerja seni dan sanggar-sanggar yang tak bisa menggelar pertunjukan seni maupun latihan dan hanya dibatasi untuk dilakukan secara daring atau virtual," kata Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, dalam pesan singkatnya.
Kejadian tersebut terus berlangsung sampai sepanjang tahun 2021, di mana operasional bisa dilakukan, walau harus dijalankan secara terbatas. Dari 17 destinasi sejarah dan budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, total dikunjungi 190.145 orang.
Pada 2022, dengan terjadinya beberapa pelonggaran, total kunjungan ke destinasi wisata budaya dan sejarah kelolaan DKI Jakarta mampu mencapai sebanyak 554.020 orang. Data tersebut baru terekam sampai dengan bulan September 2022.
Peningkatan cukup signifikan tersebut, dipicu oleh mulai melandainya penyebaran wabah COVID-19 hingga perekonomian dan sektor wisata secara umum juga mulai bangkit.
Badan Pusat Statistik (BPS) wilayah DKI Jakarta mencatat dari Januari hingga November 2022, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Jakarta mencapai 810.627 kunjungan, atau naik 689,98 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tapi masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.
Namun demikian, BPS juga mencatat bahwa untuk destinasi wisata yang termasuk dalam wisata sejarah dan budaya masih berada pada jajaran menengah ke bawah berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan.
Menggairahkan Wisata
Seiring dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia termasuk Jakarta akhir 2022 yang memungkinkan berbagai kegiatan dilakukan secara leluasa, menjadi kesempatan besar bagi pengembangan wisata budaya dan sejarah di Jakarta.
Kesempatan tersebut, harus digunakan oleh para pemangku kepentingan di bidang wisata sejarah dan budaya, termasuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang pada 2023 ini menargetkan bisa memberi kontribusi pendapatan daerah dari retribusi rekreasi dan permuseuman sebesar Rp5,9 miliar.
Para pemangku kepentingan di DKI Jakarta hendak memaksimalkan potensi wisata di bidang tersebut dengan melanjutkan penataan dan revitalisasi kawasan wisata seperti yang telah dilakukan seperti di Kawasan Kota Tua, Taman Ismail Marzuki dan Taman Benyamin Sueb. Kemudian, menggelar acara kebudayaan seperti pementasan sandiwara, pertunjukan wayang, pameran kesenian, penyelenggaraan festival dan lain-lain.
Upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya seperti pagelaran, pembinaan, dan pelatihan kepada generasi muda akan lebih ditingkatkan di lingkungan masyarakat DKI Jakarta.
"Selain itu, upaya pengembangan dan peningkatan kunjungan wisata bidang kebudayaan juga dilakukan melalui promosi baik di media sosial, dan iklan berbasis digital. Berbagai usaha yang juga berperan mendongkrak cukup banyak wisatawan pada 2022 diharapkan memberi dampak signifikan pada 2023," ucap Iwan.
Dengan kondisi pandemi yang kian membaik, sudah waktunya Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata juga mulai menggenjot program urban tourism dengan menjelajahi berbagai kawasan ikonik sarat sejarah di Jakarta seperti Kota Tua, Glodok, Jatinegara, Blok M dan Senayan. Program itu pernah diungkapkan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta pada 2021.
Bahkan, Kepala Bidang Pemasaran dan Atraksi Dinas Pariwisata DKI Jakarta saat itu, Hari Wibowo, juga mengatakan pihaknya berencana ingin menggandeng hotel, agen dan komunitas pemandu wisata untuk membuat paket wisata urban tourism, dengan target bisa menggaet banyak wisatawan. "Proyeksinya 10 persen dari 30 juta wisatawan, datang ke ibu kota," ucapnya.
Direktur Utama BUMD Jakarta Eksperience Board (JXB) atau Jaktour, Novita Dewi, menyebut pengembangan pariwisata perkotaan menjadi prospek yang menjanjikan. Berdasarkan studi dalam 10 tahun terakhir, pariwisata perkotaan khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia meningkat signifikan di mana mencapai 69,6 juta orang pada tahun 2010, dibandingkan tahun 2000 hanya berjumlah 36,1 juta orang.
Jakarta dengan usianya yang panjang, tentu memiliki potensi dalam wisata budaya dan sejarah yang mumpuni dengan cerita di balik kawasan, bangunan, bahkan budayanya.
Namun begitu, butuh kerja sama dan kehendak seluruh pemangku kepentingan, serta dukungan kebijakan yang kuat untuk menggairahkan wisata budaya dan sejarah di Jakarta. Dengan demikian, sejarah dan budaya Jakarta tidak terasing di tanahnya sendiri.
Suasana tersebut, kemungkinan berbeda 180 derajat dengan 95 tahun yang lalu, ketika puluhan atau mungkin juga sampai ratusan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan berbasis daerah, berkumpul dan mengikrarkan diri untuk bersatu dalam bahasa, bendera, dan identitas bangsa.
Bangunan ini adalah Museum Sumpah Pemuda, sebuah rumah untuk indekos bagi para pelajar non-Eropa tinggal di zaman kolonial, yang berkembang menjadi tempat peristiwa bersejarah, dan kemudian menjadi tonggak awal berdirinya satu bangsa bernama Indonesia.
"Di tempat ini juga WR Supratman memperdengarkan lagu Indonesia Raya pada khalayak umum yang kemudian menjadi lagu kebangsaan," kata Setyo Wahyuni, seorang pamong budaya di Museum Sumpah Pemuda.
Tempat indekos sejumlah tokoh bangsa seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, AK Gani dan yang lainnya ini, dijadikan museum sekitar tahun 1973 oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai pengelolanya. Gedung ini sekarang sejak 2012 dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari pembicaraan dengan Setyo, suasana sepi tersebut memang kerap terjadi, bahkan ketika akhir pekan yang notabene adalah hari libur. Rata-rata kunjungan di museum yang buka pukul 08.00-16.00 WIB ini, di akhir pekan bisa sekitar 50 orang, da pada hari kerja sekitar 20 orang.
"Tapi ini sebenarnya sudah ada peningkatan dari awal berdirinya museum ini. Mungkin karena berbagai usaha percantikan kawasan dan program penyuluhan yang dilakukan," ucapnya.
Suasana sepi seperti yang diceritakan Setyo ini, tidak hanya terjadi pada Museum Sumpah Pemuda saja, namun sudah lumrah pada fasilitas sejarah dan budaya lainnya di Jakarta.
Ini tentu menjadi hal yang terdengar cukup memprihatinkan mengingat Jakarta diklaim sudah berusia 495 tahun berdiri, walau berbagai penelitian menyebutkan bahwa kawasan teluk Jakarta telah dihuni jauh sebelum usia tersebut.
Artinya begitu panjang perjalanan sejarah kota yang kini menjadi Ibu Kota Negara Indonesia ini yang bisa menjadi potensi pendapatan dari sektor wisata, khususnya wisata sejarah dan budaya yang penuh nilai-nilai edukasi.
Wisata budaya dan sejarah
Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan, pada tahun 2020, jumlah kunjungan wisatawan pada lokasi-lokasi sejarah dan budaya di Jakarta sebanyak 503.299 orang.
Dari jumlah tersebut, Kampung Budaya Setu Babakan, Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), dan Museum Wayang berkontribusi cukup dominan pada kunjungan ke fasilitas sejarah dan budaya Jakarta, yakni masing-masingnya dikunjungi sebanyak 161.682 orang, 142.136 orang, dan 48.456 orang.
Sementara yang belum banyak dikunjungi adalah Taman Benyamin Sueb, Museum MH Thamrin, dan Laboratorium Tari dan Karawitan Condet yang masing-masing berkontribusi sebanyak 584 orang, 694 orang, dan 1,418 orang wisatawan.
Wisata sejarah dan budaya di Jakarta didominasi oleh wisata di Kawasan Kota Tua Batavia, dengan Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah) yang menjadi primadonanya, di mana per hari, rata-rata bisa dikunjungi antara 1.000 sampai 2.000 orang.
Jumlah tersebut, berbanding jauh dengan lokasi lainnya seperti Gedung Kesenian Miss Tjitjih dan Taman Benyamin Sueb yang dikunjungi sekitar 50 sampai 100 orang per bulan. Bahkan, Gedung Kesenian Miss Tjitjih tidak dikunjungi sama sekali oleh wisatawan pada Januari 2020.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menyebutkan bahwa kunjungan harian tersebut merupakan hitungan ketika sebelum pandemi COVID-19 terjadi di Jakarta ketika Maret 2020 di mana fasilitas-fasilitas wisata sejarah dan budaya Jakarta diharuskan menutup operasionalnya demi menghindari kerumunan.
"Wisata bersejarah di museum dan kawasan cagar budaya ditutup operasionalnya guna mengurangi penyebaran COVID-19. Tak hanya itu, dampak sangat dirasakan oleh pekerja seni dan sanggar-sanggar yang tak bisa menggelar pertunjukan seni maupun latihan dan hanya dibatasi untuk dilakukan secara daring atau virtual," kata Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, dalam pesan singkatnya.
Kejadian tersebut terus berlangsung sampai sepanjang tahun 2021, di mana operasional bisa dilakukan, walau harus dijalankan secara terbatas. Dari 17 destinasi sejarah dan budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, total dikunjungi 190.145 orang.
Pada 2022, dengan terjadinya beberapa pelonggaran, total kunjungan ke destinasi wisata budaya dan sejarah kelolaan DKI Jakarta mampu mencapai sebanyak 554.020 orang. Data tersebut baru terekam sampai dengan bulan September 2022.
Peningkatan cukup signifikan tersebut, dipicu oleh mulai melandainya penyebaran wabah COVID-19 hingga perekonomian dan sektor wisata secara umum juga mulai bangkit.
Badan Pusat Statistik (BPS) wilayah DKI Jakarta mencatat dari Januari hingga November 2022, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Jakarta mencapai 810.627 kunjungan, atau naik 689,98 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tapi masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.
Namun demikian, BPS juga mencatat bahwa untuk destinasi wisata yang termasuk dalam wisata sejarah dan budaya masih berada pada jajaran menengah ke bawah berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan.
Menggairahkan Wisata
Seiring dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia termasuk Jakarta akhir 2022 yang memungkinkan berbagai kegiatan dilakukan secara leluasa, menjadi kesempatan besar bagi pengembangan wisata budaya dan sejarah di Jakarta.
Kesempatan tersebut, harus digunakan oleh para pemangku kepentingan di bidang wisata sejarah dan budaya, termasuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang pada 2023 ini menargetkan bisa memberi kontribusi pendapatan daerah dari retribusi rekreasi dan permuseuman sebesar Rp5,9 miliar.
Para pemangku kepentingan di DKI Jakarta hendak memaksimalkan potensi wisata di bidang tersebut dengan melanjutkan penataan dan revitalisasi kawasan wisata seperti yang telah dilakukan seperti di Kawasan Kota Tua, Taman Ismail Marzuki dan Taman Benyamin Sueb. Kemudian, menggelar acara kebudayaan seperti pementasan sandiwara, pertunjukan wayang, pameran kesenian, penyelenggaraan festival dan lain-lain.
Upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya seperti pagelaran, pembinaan, dan pelatihan kepada generasi muda akan lebih ditingkatkan di lingkungan masyarakat DKI Jakarta.
"Selain itu, upaya pengembangan dan peningkatan kunjungan wisata bidang kebudayaan juga dilakukan melalui promosi baik di media sosial, dan iklan berbasis digital. Berbagai usaha yang juga berperan mendongkrak cukup banyak wisatawan pada 2022 diharapkan memberi dampak signifikan pada 2023," ucap Iwan.
Dengan kondisi pandemi yang kian membaik, sudah waktunya Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata juga mulai menggenjot program urban tourism dengan menjelajahi berbagai kawasan ikonik sarat sejarah di Jakarta seperti Kota Tua, Glodok, Jatinegara, Blok M dan Senayan. Program itu pernah diungkapkan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta pada 2021.
Bahkan, Kepala Bidang Pemasaran dan Atraksi Dinas Pariwisata DKI Jakarta saat itu, Hari Wibowo, juga mengatakan pihaknya berencana ingin menggandeng hotel, agen dan komunitas pemandu wisata untuk membuat paket wisata urban tourism, dengan target bisa menggaet banyak wisatawan. "Proyeksinya 10 persen dari 30 juta wisatawan, datang ke ibu kota," ucapnya.
Direktur Utama BUMD Jakarta Eksperience Board (JXB) atau Jaktour, Novita Dewi, menyebut pengembangan pariwisata perkotaan menjadi prospek yang menjanjikan. Berdasarkan studi dalam 10 tahun terakhir, pariwisata perkotaan khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia meningkat signifikan di mana mencapai 69,6 juta orang pada tahun 2010, dibandingkan tahun 2000 hanya berjumlah 36,1 juta orang.
Jakarta dengan usianya yang panjang, tentu memiliki potensi dalam wisata budaya dan sejarah yang mumpuni dengan cerita di balik kawasan, bangunan, bahkan budayanya.
Namun begitu, butuh kerja sama dan kehendak seluruh pemangku kepentingan, serta dukungan kebijakan yang kuat untuk menggairahkan wisata budaya dan sejarah di Jakarta. Dengan demikian, sejarah dan budaya Jakarta tidak terasing di tanahnya sendiri.