Jakarta (ANTARA) - Dalam buku "The Definitive Guide to Thriving on Disruption" Volume I (2022), pakar informasi Roger Spitz mengingatkan bahwa apa pun namanya, baik itu informasi, misinformasi, maupun disinformasi, semua itu sedang menenggelamkan manusia.
Harus diakui bahwa dengan munculnya internet sejak abad ke-20 dan penggunaannya semakin merebak pada abad ke-21 ini, beragam informasi semakin mudah didapat oleh setiap orang, bahkan dapat dikatakan bahwa semua hal itu sekarang melimpah.
Namun sayangnya, melimpahnya informasi ini ternyata bukanlah selalu hal yang baik karena banyak sekali dari informasi tersebut dapat disebut sebagai hoaks atau kabar bohong, serta tidak sedikit orang yang terjebak percaya dengannya.
Dengan melimpahnya informasi, tidak heran bila lembaga pemikir asal Amerika Serikat, Rand Corporation, dalam artikel di situs resminya bertajuk "Information Warfare and the Changing Face War", menekankan semakin pentingnya perang informasi pada saat ini.
Menurut artikel tersebut, meningkatnya minat para pengambil kebijakan serta pemerhati bidang pertahanan dengan perang informasi adalah hasil dari revolusi informasi, yang didukung oleh berkembangnya ruang dunia maya (cyberspace), komputer mikro, serta berbagai kemajuan teknologi informasi.
Untuk itu, saat ini perang informasi seperti melalui internet sudah semakin menjadi kebutuhan mutlak yang harus betul-betul diperhatikan oleh pemerintahan mana pun dalam rangka meningkatkan pertahanan suatu negara, terlebih bila negara tersebut sedang terlibat dalam konflik.
Begitu pula halnya dengan konflik Rusia-Ukraina, yang menjadi perhatian global, terutama setelah Rusia menginvasi Ukraina sejak Februari 2022, atau lebih dari satu tahun yang lalu.
Perang informasi mengenai kedua belah pihak juga tidak hanya terkungkung antara Rusia dan Ukraina, tetapi juga melibatkan konfrontasi antara berbagai negara lain.
Sebagai contoh, sejumlah pemberitaan menyatakan bahwa Amerika Serikat sempat menuding bahwa sebuah kapal Rusia telah mengambil persenjataan dari pangkalan laut di dekat Cape Town, Afrika Selatan, akhir tahun lalu.
Duta besar AS untuk Afrika Selatan (Afsel) Reuben Brigety pada Kamis (11/5), sebagaimana dikutip dari Reuters, yakin bahwa sebuah kapal laut Rusia yang sedang disanksi oleh AS, mengambil persenjataan dari pangkalan Simon's Town di Afrika Selatan pada Desember 2022.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa transfer persenjataan itu tidak sejalan dengan netralitas Afsel dalam perang Rusia melawan Ukraina.
Sontak, Menteri Komunikasi Afsel Mondli Gungubele, yang mengepalai Komite Kontrol Senjata Konvensional ketika tudingan itu terjadi, menyatakan pada Kamis kepada media setempat, Radio 702, bahwa pihaknya tidak pernah menyetujui pengiriman senjata apa pun ke Rusia.
Informasi yang dipaparkan Brigety itu membuat sang dubes juga dipanggil pada Jumat (12/5) untuk menemui Menteri Luar Negeri Afsel Naledi Pandor, yang menyatakan ketidaksenangan pemerintah Afsel terhadap pernyataan yang telah dibuat Dubes AS tersebut.
Hasil pertemuan itu menyebutkan bahwa Brigety mengakui bahwa dia telah melanggar batas dan meminta maaf kepada pemerintah dan seluruh rakyat Afrika Selatan.
Kemudian, melalui Twitter, Brigety mencuit bahwa dirinya bersyukur dapat diberikan kesempatan untuk berbicara dengan Menlu Pandor guna mengoreksi setiap kesalahpahaman yang timbul akibat komentar yang dibuatnya.
Terkait dengan sanksi dari AS, sebelumnya Washington memang telah memperingatkan bahwa negara-negara yang menyediakan dukungan material bagi Rusia akan berpotensi tidak diberikan akses ke pasar AS.
Edward Fishman, pakar kebijakan luar negeri yang pernah menggarap sanksi terhadap Rusia dalam masa pemerintahan Presiden Obama, menyatakan bahwa peringatan itu bukanlah sekadar peringatan verbal.
"Ini adalah sesuatu yang telah ditunjukkan pemerintahan Biden melalui tindakan mereka bahwa hal itu dapat dilakukan, termasuk dengan memberikan sanksi kepada berbagai perusahaan di tempat, seperti China dan Turki," kata Fishman, sebagaimana dikutip Reuters.
Tentu saja, perang informasi seperti peristiwa di atas juga kerap terjadi antara dua pihak utama yang berkonflik, yaitu antara Rusia dan Ukraina.
Misalnya, Wakil Menteri Pertahanan Hanna Maliar pada Jumat menyatakan bahwa Ukraina telah memegang kendali berbagai bagian di Kota Bakhmut, Ukraina timur, dan meminta warga Ukraina untuk mengabaikan apa yang disebut sebagai disinformasi dari pihak Rusia mengenai situasi di sekitar Bakhmut.
Senada dengan hal itu, beberapa bloger militer Rusia juga melaporkan pada Kamis bahwa tentara Rusia telah menembus garis depan Rusia di Bakhmut, tetapi Moskow menyangkal laporan tersebut dan menyatakan bahwa situasinya masih terkendali.
Dalam aplikasi perpesanan Telegram, Maliar menulis bahwa pihak lawan menampilkan diri dalam pertempuran di Bakhmut dengan memuji diri mereka sendiri dengan menceritakan kisah kesuksesan rekaan, dan menciptakan cerita mengenai komando militer Ukraina.
Reuters sendiri berulang kali menyatakan bahwa kantor berita tersebut tidak bisa memverifikasi situasi di medan pertempuran.
Sementara itu masih terkait perang informasi, pihak pengadilan Rusia pada Kamis juga sudah mendenda Google Alphabet sebesar 3 juta Rubel (sekitar Rp575,81 juta) karena dinilai gagal menghilangkan video Youtube yang antara lain berisi "informasi salah" mengenai kampanye militer Rusia di Ukraina.
Selama satu tahun terakhir, Moskow telah mengeluarkan banyak hukuman denda terhadap perusahaan teknologi Barat sebagai bagian untuk mengendalikan penggunaan internet secara daring di Rusia, menurut Reuters.
Berbagai denda itu juga mengakibatkan anak perusahaan Google Alphabet di Rusia mengajukan kebangkrutan pada tahun lalu setelah otoritas setempat menyita rekening bank mereka.
Berlangsung lama
Tentu saja, perang informasi antara pihak Barat (yang mendukung Ukraina) di satu sisi, dengan Rusia dan simpatisannya di sisi lain, tidak hanya terjadi baru-baru ini, tetapi sudah berlangsung lama.
Salah satu contoh adalah peristiwa pada September 2022, yaitu terjadinya ledakan Nord Stream (jalur pipa di Laut Baltik yang menyalurkan gas dari Rusia ke negara-negara Eropa) yang hingga kini masih belum diketahui siapa pelaku peledakan tersebut.
Penyelidikan yang telah dilakukan hingga kini oleh otoritas sejumlah negara, seperti Denmark dan Swedia, belum menentukan siapa yang bertanggung jawab.
Kedutaan Besar Rusia di AS pada 29 Maret 2023 menuding Washington berusaha menghentikan penyelidikan internasional atas ledakan pipa gas Nord Stream tahun lalu, sebagaimana dikutip Anadolu.
Saat dimintai komentar atas pernyataan Gedung Putih tentang penyelidikan nasional yang cukup dilakukan oleh negara-negara Eropa, Kedubes Rusia menyebut hal tersebut adalah upaya AS untuk bersembunyi di belakang sekutu-sekutunya dan mengacaukan segala upaya mengungkap fakta sebenarnya di balik sabotase Nord Stream.
Kedubes Rusia mengingatkan bahwa negara-negara tersebut menolak seruan bersama yang diajukan Rusia, China, dan Brazil dalam Dewan Keamanan PBB untuk menggelar penyelidikan internasional secara tuntas.
Seperti diketahui, Rusia menyerukan penyelidikan internasional yang dipimpin PBB terhadap "sabotase" tersebut untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab atas insiden itu. Namun, permintaan Moskow itu tidak mendapat dukungan dari Dewan Keamanan PBB.
Sedangkan berdasarkan laporan dari media Washington Post pada 3 April 2023, seorang diplomat senior Eropa menyatakan bahwa sejumlah pembuat kebijakan Eropa dan NATO bersama para pejabat telah bersepakat dalam satu hal, yaitu untuk tidak berbicara mengenai Nord Stream.
Para pemimpin melihat sedikitnya manfaat dari menggali terlalu dalam dan menemukan jawaban yang tidak mengenakkan, lanjut diplomat tersebut.
Dia juga menggemakan sentimen beberapa rekan dari negara lain yang mengatakan bahwa mereka lebih suka untuk tidak berurusan dengan kemungkinan bahwa Ukraina atau sekutunya terlibat dalam serangan tersebut.
Wakil Dubes AS untuk PBB Robert Wood, sebagaimana dikutip Reuters, menegaskan bahwa AS tidak terlibat sama sekali dengan peledakan Nord Stream tersebut.
Selain itu, Wood juga menuduh Rusia berupaya mendiskreditkan kerja investigasi beberapa negara mengenai soal ini dan berprasangka buruk terhadap setiap kesimpulan yang dinilai mereka tidak sesuai dengan narasi politik yang telah ditentukan Rusia.
Berbagai narasi, kisah, cerita, atau apa pun bentuknya yang terkait dengan konflik Rusia-Ukraina akan tetap merebak selama peperangan masih berlangsung.
Untuk itu, berbagai pihak, termasuk pula di Indonesia, juga harus berhati-hati untuk tidak percaya begitu saja dengan berbagai bentuk informasi yang tersaji, dan betul-betul berpikir dengan saksama sebelum memutuskan untuk membaginya kepada pihak lain atau menyebutnya sebagai fakta.
Dengan tidak berkubang di dalam perang informasi dari kedua belah pihak yang bertentangan, adalah langkah yang saat ini dapat dikatakan bijaksana, karena mengurangi potensi menyebarkan berbagai bentuk kebohongan dan disinformasi di tengah masyarakat.