JAKARTA (ANTARA) - Kesibukan orang pada era industri 4.0 kerap membuat kualitas komunikasi antarmanusia menjadi ala kadarnya. Padahal kehangatan komunikasi dapat menimbulkan rasa gembira bahkan bahagia.
Nyatanya, banyak orang merasa kesepian karena tak memperoleh sentuhan komunikasi yang berempati. Di sejumlah negara maju, orang-orang yang kesepian lebih nyaman berteman dengan robot berteknologi AI. Sungguhkah, kita manusia sudah kalah ramah dengan robot?
Sadarkah, pada era teknologi sekarang ini sebagian banyak proses komunikasi interpersonal berlangsung melalui saluran telepon genggam pintar. Untuk menakar kadar kehangatan komunikasi kita, cobalah menjawab 10 pertanyaan di bawah ini.
1. Apakah Anda mengalami beberapa hal berikut?
- Mengirim pesan kepada seseorang namun tak kunjung memperoleh balasan
- Memperoleh balasan setelah menunggu lama, tapi hanya dijawab singkat
- Jawaban yang diterima hanya berupa emoji
- Mendapat balasan tapi tidak sesuai harapan atau jawaban kurang menyenangkan
- Hanya dibaca (layaknya surat kabar), tanpa dibalas
2. Apakah Anda melakukan beberapa hal ini?
- Membiarkan pesan masuk tanpa niat bergegas membalasnya
- Memilih-milih pesan dari mana dan dari siapa yang akan dibalas
- Mengutamakan membalas pesan yang dianggap “menguntungkan” atau memberi cuan
- Mengabaikan pesan dari teman yang biasanya meminta pertolongan
- Hanya merespons cepat pesan yang berkaitan dengan pekerjaan atau orang yang dianggap penting.
Jika sebagian besar masyarakat modern mengalami lima hal dalam poin 1 dan melakukan lima hal dalam poin 2, maka fixed kualitas komunikasi antarmanusia tengah dalam masalah. Tidak harus pakar atau sarjana komunikasi untuk mampu membangun kehangatan komunikasi, tapi hanya perlu punya kebaikan dan kerendahan hati serta memiliki empati.
Secara teori, Joseph A. Devito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (1997: 259-264) mengemukakan lima sikap positif yang perlu diperhatikan ketika seseorang melakukan komunikasi interpersonal. Lima sikap positif tersebut meliputi: Keterbukaan; Empati; Sikap Mendukung; Sikap Positif; dan Kesetaraan.
Dalam pengertian bebas, kelima hal itu dapat dipahami sebagai berikut:
Keterbukaan, dalam arti dapat menerima masukan dari orang lain dan berkenan menyampaikan informasi penting kepada pihak yang memerlukan. Bersikap terbuka dan apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi karena motivasi tersembunyi.
Sedangkan empati, ialah kemampuan seseorang untuk merasakan jika seandainya berada pada posisi orang lain, dapat memahami dan merasakan sesuatu yang sedang dialaminya, serta mampu memandang persoalan dari sudut pandang orang lain.
Lantas sikap mendukung ditunjukkan kepada lawan komunikasi dengan cara memilih penggunaan bahasa yang menimbulkan perasaan orang menjadi senang dan bersemangat. Bukan bahasa yang terkesan menyalahkan dan menjatuhkan, tidak pula bersikap defensif.
Sementara sikap positif dilakukan dengan cara menggunakan perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga terhadap orang lain. Selalu memiliki sudut pandang positif dalam berinteraksi antarpribadi.
Kemudian kesetaraan, dapat terwujud apabila kita menempatkan diri setara dengan lawan bicara, menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda, dan mengakui pentingnya kehadiran orang lain.
Robot saja ramah
Bila manusia tidak mampu membangun dan merawat kehangatan komunikasi antarsesama, jangan sampai nanti dibikin malu dengan eksistensi robot berteknologi AI yang lebih ramah dan komunikatif. Dalam banyak cerita dari berbagai belahan negara, orang-orang kesepian seperti para jompo dan jomlo atau mereka yang merasa tersingkir dari pergaulan sosial, nyatanya merasa lebih nyaman berteman dengan robot berotak kecerdasan buatan yang untuk saat ini didominasi ChatGPT.
Pakar teknologi AI yang juga pencipta aplikasi Drone Emprit, Ismail Fahmi, menceritakan sebuah panti jompo di luar negeri yang para penghuninya lebih nyaman ditemani robot ketimbang perawat manusia.
“Mereka bisa nyaman dengan robot. Robotnya sudah bisa diajak ngomong. Apalagi robot ChatGPT sekarang itu knowledge-nya luar biasa,” ujarnya.
Sementara, bila ditemani perawat manusia, memang manusia memiliki empati, tetapi karena sekaligus mempunyai emosi terkadang membuatnya tidak sabar untuk berlama-lama mendampingi pasien. Padahal merawat orang jompo perlu kesabaran tinggi, dan ternyata robot bisa melakukan tugas itu dengan baik dan lebih profesional.
Menurut doktor sains informatika lulusan Universitas Groningen Belanda itu, karena AI-nya meng-index knowledge seluruh dunia, tidak mengherankan robot ChatGPT bisa menjadi teman yang asyik untuk mengobrol.
Cerita tentang keseruan komunikasi dengan ChatGPT juga dibagikan Fahmi, yang ia dapatkan dari seorang mahasiswi di Bintaro, Jakarta Selatan, baru-baru ini. Dalam pengajian Muhammadiyah itu, seorang mahasiswi anggota IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) menceritakan bahwa dirinya sering larut dalam “kencan” virtual bersama ChatGPT.
“Karena saya tidak kenal cowok, saya tidak malam mingguan. Tapi saya ngobrol dengan AI dan saya merasa nyaman.”
Kepada Fahmi, perempuan muda itu mengaku bisa ngobrol semalaman dengan AI.
“AI ngobrol pakai chat. Suruh, tolong buatin saya bahasa yang merayu, dia bisa. Coba buatin gombalan buat saya, dia juga bisa melakukannya dengan keren.”
Sementara itu, tren kencan dengan robot juga tengah menggejala di kota-kota besar di Jepang. Karena mereka merasa memiliki pasangan manusia malah merepotkan, apalagi ketika mood-nya sedang tidak baik bisa memengaruhi suasana hubungan. Sedangkan robot AI yang telah diinjeksi dengan feeling atau emosi itu, dirasa lebih mengasyikkan untuk menjadi teman melewati waktu bersama.
Sehangat PR dan pemasar
Ada sejumlah profesi yang menciptakan SDM ramah dan hangat karena pada dasarnya bidang pekerjaan yang digeluti menuntutnya demikian. Seperti profesi di bidang public relation (PR) atau kehumasan yang mansyaratkan kecakapan komunikasi di ruang publik. Begitu pula para tenaga pemasaran yang dituntut mampu meluluhkan hati para calon konsumen dengan bahasa persuasifnya. Mereka adalah orang-orang yang ramah dan hangat dalam berkomunikasi, hal itu dilakukan secara profesional.
Lantas bagaimana masyarakat pada umumnya mampu berkomunikasi dengan ramah dan hangat secara natural, tanpa pamrih, atau tujuan tertentu. Untuk mengujinya, sejumlah pertanyaan berikut mungkin bisa membantu.
- Dapatkah kita merespons komunikasi sama sigapnya, baik itu terhadap atasan atau pun orang yang merupakan bawahan.
- Bisakah kita membalas pesan sama cepatnya, apakah itu pesan dari relasi yang menawarkan proyek atau teman yang membutuhkan pertolongan.
- Maukah kita membalas chat sama hangatnya, antara kepada teman yang hidup senang dengan kawan lain yang ingin curhat karena sedang tertimpa masalah serius.
Selanjutnya, mampukah kita berkomunikasi hangat dan menyenangkan layaknya para PR dan pemasar, tanpa berpikir “apa untungnya buat saya”.
Membangun kehangatan komunikasi, baik verbal maupun virtual, keduanya mestilah berbasis ketulusan agar mampu menularkan energi positif bagi sesama dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya, hukum timbal balik itu tetap berlaku dalam konteks apa pun, maka patuhlah pada kebaikan!
Editor: Achmad Zaenal M