Yusril dinilai layak jadi perisai hukum Jokowi

id Rocky Gerung,Yusril Ihza Mahendra,Perisai hukum, balas dendam politik

Yusril dinilai layak jadi perisai hukum Jokowi

Diskusi publik bertajuk "Harkat, Martabat, dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden" di Jakarta, Jumat (1/9/2023). ANTARA/Dokumentasi Pribadi

Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Rocky Gerung menilai Profesor Yusril Ihza Mahendra layak menjadi perisai hukum ketika Joko Widodo tidak lagi menjabat sebagai presiden.

"Baiknya ajak Yusril. Cuma Yusril yang bisa melakukan penyelamatan," ujar Rocky saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik bertajuk Harkat, Martabat, dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden di Jakarta, Jumat.


Kelihaian hukum Yusril, dia anggap efektif mengatasi fenomena politik 'balas dendam' politik setelah masa tugas.

Rocky lantas menjelaskan secara antropologi, politik di Indonesia berbasiskan dendam. Di awali ketika Ken Arok menjadi raja hingga fenomena antarpresiden di Indonesia. Misalnya, dijatuhkannya Presiden Gus Dur, hingga inharmonisasi hubungan politik Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bahkan, tidak menutup kemungkinan ketika Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, kata dia, bisa jadi mendapatkan serangan dari presiden terpilih.

"Ada perisai hukum, hingga culture tersedia. Akan tetapi, perisai yang paling tangguh adalah batin presiden sendiri," jelasnya.

Masalahnya, ungkap Rocky, perisai batin Presiden Jokowi dianggap retak, sedangkan Presiden SBY lebih stabil karena memiliki kendaraan politik yang melindunginya, yaitu Partai Demokrat.

"Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan," ujarnya.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengamini kelihaian Yusril terhadap Presiden RI H.M. Soeharto. Yusril pembuat teks pidato Soeharto ketika meninggalkan jabatannya.

Dalam pidato itu, kata dia, Soeharto menyebutkan bukan mengundurkan diri sebagai presiden, melainkan berhenti. Secara hukum, makna mengundurkan diri dan berhenti itu memiliki arti yang berbeda. Nah, di sinilah kelihaian seorang Yusril menjaga wibawa presiden kedua RI Soeharto kala itu.

"Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikinin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti, ya, berhenti karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat," ungkap Bivitri.