Jakarta (ANTARA) - Kebijakan untuk mencukupi cadangan (stok) beras termasuk melalui impor dan intervensi pasar guna menstabilkan harga beras kerap diambil untuk mengatasi gejolak perberasan nasional.
Presiden Jokowi saat meninjau Gudang Bulog di Karawang, Jawa Barat (14/9), menginstruksikan kepada Perum Bulog untuk menggelar operasi pasar (OP), baik di tingkat ritel maupun pedagang besar (grosir) agar harga beras di tingkat konsumen turun.
Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) mencatat, indeks harga beras global menyentuh 142,4 poin pada Agustus 2023 atau mencapai rekor tertinggi dalam kurun 15 tahun terakhir.
Kelangkaan beras berpotensi terjadi mengingat produsen utama seperti India melarang ekspor beras pada Juli lalu demi memenuhi kebutuhan domestiknya. Sementara beberapa negara lain juga memberikan sinyal akan melakukan langkah serupa.
Di dalam negeri, harga beras mulai merambat naik sejak Juli 2022 akibat anjloknya produksi nasional di tengah kemarau panjang fenomena El Nino yang diprakirakan bakal berlangsung sampai awal 2024 dan juga naiknya harga pupuk akibat Perang Rusia-Ukraina.
Menurut catatan Kementerian Pertanian, kekeringan lahan padi sawah tingkat sedang juga dialami tujuh provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Kepulauan Riau, NTT, NTB, dan Papua), sementara 20 provinsi lainnya mengalami kekeringan level rendah.
Akibatnya, harga beras yang relatif stabil pada kisaran Rp11.300 sampai Rp11.400 per kg (medium) antara Januari – Juni 2022 menyentuh Rp12.400 pada akhir Desember 2022.
Sementara Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, harga beras premium yang pada Januari Rp13.140 per kg naik ke Rp14.230 pada medio September 2023, sedangkan jenis medium naik dari Rp11.550 ke Rp12.580 per kg.
Di tingkat ritel, kenaikan harga beras rata-rata antara Rp1.000 sampai Rp2.000 per kg, dari Rp10.000 ke Rp12.000 per kg untuk beras medium dan dari Rp13.500 ke Rp 15.500-an beras kualitas premium.
Bulog sendiri juga menaikkan harga beras operasi pasar (OP) atau program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) per 1 September 2023 menjadi Rp54.500 per lima kg (dari Rp47.000), sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) di pasar-pasar tradisional juga naik menjadi Rp10.900 dari Rp9.450 per kg.
Kenaikan harga beras, menurut laporan BPS, menyumbang 0,41 persen dari 0,92 persen kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang berkontribusi terhadap 3,7 persen tingkat inflasi tahunan pada Agustus 2023.
Cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang-gudang Bulog yang saat ini berjumlah 1,6 juta ton dinaikkan menjadi minimal dua juta ton dengan mengimpor 400.000 ton beras dari Vietnam, Thailand plus 250.000 ton lagi dari Kamboja .
Sekretaris Perum Bulog, Awaludin Iqbal, yakin target 1,2 juta ton CBP akhir 2023 bakal terpenuhi melalui impor dan penyerapan gabah petani lokal walau Bulog harus mendistribusikan 630.000 ton paket bansos beras bagi 23,5 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Bansos masing-masing 10 kg beras per bulan bagi 23,5 juta KPM untuk tiga bulan (September, Oktober, dan November 2023) merupakan paket kedua selama 2023 setelah jumlah yang sama diberikan pada 23,5 juta KPM pada Maret, April, dan Mei 2023.
Sedangkan kenaikan harga beras, menurut prediksi Kepala Biotech Center IPB, Dwi Andreas, akan terus berlangsung sampai Februari atau Maret 2024 walau tidak setajam sebelumnya berkat OP dan paket bansos yang diberikan kepada 23,5 juta KPM.
Di sisi lain, Dwi yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menilai, harga beras saat ini dinikmati petani yang sebelumnya terus merugi selama tiga tahun terakhir.
Indeks rata-rata Nilai Tukar Petani (NTP) 2021 – 2022 yang diterbitkan BPS 98,5 alias petani rugi karena biaya produksi di atas harga jual.
Petani baru meraih laba jika NTP di atas 100 yang dicapai pada Agustus, 2023 dengan NTP 111,85. Kerugian petani sejak 2022 sampai pertengahan 2023 untuk sekali tanam dari luas sawah 2.000 m2, berdasarkan hasil kajian AB2TI di 50 kabupaten sentra padi, berkisar antara Rp250.000 hingga Rp1 juta.
Ketergantungan pada beras
Walau pemerintah sejak lama juga sudah mencanangkan program diversifikasi tanaman dan pangan non-beras, nyatanya konsumsi beras dari tahun ke tahun terus merambat naik.
“Kalau belum makan nasi berarti belum makan, “ demikian pameo mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan, masyarakat Madura yang dulu mengonsumsi jagung sebagai pangan pokok dan masyarakat Papua yang biasa makan sagu beralih ke nasi.
Konsumsi beras, menurut BPN dan BPS terus naik dari 28,93 juta ton pada 2019 , 29,37 juta ton pada 2020, 30,04 juta ton pada 2021 dan 30,2 juta ton pada 2022, sedangkan angka proyeksi Januari– Septmber 2023 saja sudah mencapai 22,69 juta ton.
Sebaliknya, lahan-lahan sawah subur di Pulau Jawa terus menyusut akibat dikonversi untuk berbagai peruntukan seperti permukiman, industri dan pembangunan jalan tol, sehingga selain perlu menggenjot penelitian untuk menemukan varietas-varietas padi unggul, perluasan sawah ke luar Jawa juga harus dipacu.
Alam Indonesia yang kaya dengan berbagai tanaman pangan selain padi, seperti biji-bijian (serealia) yakni jagung, jelai, sorgum, umbi-umbian (antara lain ketela, ubi jalar, keladi, kentang, porang), sagu dan aneka jenis pisang mestinya bisa dikembangkan sebagai pangan alternatif.
Dalam jangka pendek, kecukupan CBP dan stabilitas harga beras menjelang Natal dan Tahun Baru, Pemilu Serentak pada 14 Februari 2024 dan Idul Fitri, kebutuhan mendesak (OP dan program SPHP) serta penyaluran bansos bagi warga miskin (KPM), perlu dipastikan.
Beras selain merupakan komoditas strategis karena “perut tidak dapat menunggu”, juga sangat rentan dipolitisasi di tengah tahun politik menjelang Pemilu 2024. Oleh karena itu, kebijakan terkait perberasan harus benar-benar tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu.
*) Nanang Sunarto adalah mantan Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi Antara.