Oleh karena itu, Lestari menegaskan percepatan perdamaian antara kedua wilayah itu harus menempatkan kesadaran pemulihan dan kebangkitan ekonomi menuju kesejahteraan manusia.
Lestari mengatakan hal itu dalam diskusi daring Dampak Global Perang Hamas-Israel yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu (18/10). Dia pun menegaskan bahwa perang dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan.
Selain merugikan kedua belah pihak, tambahnya, perang juga memberikan dampak signifikan pada perkembangan dunia.
Konflik di Timur Tengah secara menyeluruh memberikan dampak ketakutan pada dunia, karena wilayah tersebut merupakan pemasok energi dan jalur pelayaran utama global.
Lestari mengakui upaya kebangkitan dan pemulihan perekonomian menjadi salah satu kerentanan global pascapandemi. Terlebih, tambahnya, perekonomian dunia masih belum pulih dari inflasi yang diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina.
Menurut dia, salah satu antisipasi dalam perkembangan dunia adalah perlu campur tangan kecanggihan teknologi dalam persenjataan yang menyebabkan banyak korban berjatuhan dalam suatu konflik.
"Inilah salah satu kekhawatiran di dunia modern, dunia yang semakin kehilangan nilai dan tidak lagi menghargai kemanusiaan," kata Lestari.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Pakistan Adam Mulawarman Tugio mengungkapkan bahwa dampak politik dan ekonomi akibat konflik Hamas-Israel cukup luas.
Dampak ekonomi dari perang tersebut juga berpengaruh secara global, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global berkurang 0,1 persen dan harga minyak dunia naik 4 dolar AS per barel.
"Bila perang melebar ke negara-negara lain, dampaknya akan semakin besar," kata Adam yang merupakan staf ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Luar Negeri RI itu.
Dalam diskusi serupa, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menyebut bahwa secara geopolitik dan ekonomi di masa lalu, konflik Palestina-Israel masih bisa dipetakan.
Menurut Ruhaini, KSP terus memperbarui informasi mengenai situasi konflik tersebut untuk dilaporkan kepada presiden.
Ruhaini juga menyebut bahwa sejatinya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah merespons konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel.
Namun, pihak internal OKI pun terjadi dinamika karena adanya sejumlah perbedaan. Sehingga, lanjutnya, ada berbagai perbedaan cara pandang dari sejumlah negara OKI dalam memandang konflik Palestina-Israel.
Salah satu langkah yang bisa diupayakan bila ingin menuntaskan masalah pada krisis Palestina dan Israel adalah negara Islam yang tergabung dalam OKI harus mampu mengatasi konflik di antara mereka dahulu.