Jakarta (ANTARA) - Peringatan Hari Santri, 22 Oktober, bukan ritual tahunan tanpa makna; bukan pula semata arak-arakan drumband, tetapi butuh pemaknaan yang realistis, mengandung maslahat, dan bermanfaat jangka panjang.
Perayaan Hari Santri Nasional tahun ini istimewa karena bertepatan dengan detik-detik menjelang perhelatan akbar nasional yang strategis, Pemilu. Ini artinya, santri dituntut memainkan peran sosial-politik sekaligus, menjadi santri dan menjadi warga negara.
Menjadi santri berarti mengabadikan memori historis, tentang perjuangan alim ulama dari pesantren dalam melawan penjajahan, merebut kemerdekaan, mempertahankan serbuan negara asing, dan mengisi kemerdekaan dengan pemberdayaan umat.
Menjadi warga negara artinya menjalankan tugas-tugas patriotik, membela bangsa dan negara, yang dalam praktik konkretnya bisa berupa mematuhi undang-undang dasar, menjaga NKRI, ideologi Pancasila, dan termasuk ikut serta mensukseskan Pemilu.
Dalam rangka menyukseskan Pemilu, peran santri semakin krusial, selain merepresentasikan diri dan kaumnya untuk tampil ke panggung politik nasional, santri sekaligus menjadi kekuatan atau arus besar yang potensial untuk menyuarakan calon yang menjadi representasi mereka sehingga kepentingan politik dan ekonomi kaum mereka terwakilkan.
Berdasarkan data Kementerian Agama, setidaknya ada 39.043 pesantren pada kurun 2022/2023, dengan total jumlah santri sebanyak 4,08 juta. Itu belum termasuk alumni, belum termasuk pondok pesantren dan santri yang tidak terdaftar di Kemenag. Angka ini jelas tidak bisa dianggap enteng.
Santri dalam sejarahnya merupakan basis yang menjadi pelopor kebangkitan politik dan ekonomi umat. Oleh karena itu, basis santri yakni pesantren harus menjadi salah satu pihak yang diperhitungkan oleh para stakeholder yang terkait dengan Pemilu termasuk pasangan calon.
Dari pengalaman yang terjadi selama ini, para santri memiliki kecenderungan untuk memilih mereka yang memiliki latar belakang yang mampu menggambarkan visi masa depan mereka. Seperti pepatah; "dari santri, oleh santri, untuk santri" atau "dari pesantren, oleh pesantren, untuk pesantren ".
Peran Sentral
Disebut dari santri, karena mereka adalah orang-orang pesantren, dan pesantren menjadi wadah aktivitas termasuk gerakan politiknya kaum santri. Kemenangan kaum santri dianggap sebagai kemenangan pesantren, kekalahan kaum santri adalah kekalahan pesantren seutuhnya.
Namun lebih jauh dari itu, peran sentral santri dalam tahun politik tak lain adalah untuk menyukseskan dan mendukung lancarnya proses pesta demokrasi di negeri ini.
Meski memang banyak kalangan pesantren menyayangkan karena dari semua partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2024, tidak ada satupun yang berani mengakui bahwa mereka adalah representasi kaum santri, lebih-lebih mengaku sebagai partainya pesantren.
Sampai di sini, perjuangan terus-menerus dengan totalitas penuh kaum santri dan pesantren, lebih-lebih Nahdliyyin, tidak boleh berhenti. Mendukung calon yang berani menyuarakan kaum santri sama saja membela kepentingan pesantren.
Dan ketika pesantren merepresentasi kepentingan bangsa ini, maka itu berarti memilih calon yang dekat dengan kepentingan santri sama saja membela kepentingan bangsa ini secara keseluruhan.
Dengan pemaknaan yang sedemikian rupa, momentum Hari Santri Nasional akan menjadi momen bersatu-padu kaum santri untuk menyukseskan Pemilu 2024 sekaligus kepentingan santri sebagai pelopor kebangkitan sosial, politik, dan ekonomi umat.
Hari Santri Nasional akan menjadi romantisme belaka bila tidak didukung oleh peran sentral santri dalam pemerintahan.
Jika ada santri yang apatis terhadap proses demokrasi di negeri ini maka kesantriannya layak dipertanyakan.
Mereka yang tidak mendukung dan turut serta menyukseskan pemilu di negeri ini adalah para santri yang tidak mempunyai komitmen untuk menjadikan santri sebagai agen utama, berperan aktif, memiliki kekuatan berdaulat, dalam membangun dan menentukan arah bangsa dan negara.
Selain jumlah santri yang begitu banyak, belum lagi alumni dan keluarganya, peran santri sangat sentral karena tradisi mereka yang kuat.
Kekuatan kultural pesantren adalah loyalitas. Santri dan alumni memiliki loyalitas yang tinggi terhadap kiai-kiai mereka. Dengan kalkulasi kasar saja, satu santri memiliki satu ayah dan satu ibu, maka sudah ada 12 juta santri yang memiliki idealisme kepesantrenan.
Begitu pula dengan alumni pesantren. Satu orang alumni bisa memiliki satu istri dan satu anak, minimal. Jika minimal alumni 4 juta orang saja, maka akan ada 12 juta alumni yang memiliki visi ideal kepesantrenan. Jika ditotal secara kasar, akan ada 24 juta orang yang memiliki komitmen kepada pesantren.
Kekuatan yang besar seperti ini sangat mengancam bagi orang-orang yang tidak simpatik terhadap pesantren. Satu-satunya cara yang efektif bagi mereka adalah memecah-belah komunitas pesantren, memisahkan santri dari Kiai; memecah belah suara di antara sesama santri.
Sampai di sini, tidak ada pilihan yang lebih strategis selain persatuan dan kesatuan komunitas pesantren, baik antara santri dan kiai, maupun sesama santri, untuk mendukung suksesnya Pemilu 2024.
Semua berharap pada terpilihnya pemimpin yang amanah dan senantiasa membela kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Maka dalam momentum Hari Santri, ini saatnya santri menegaskan peran sentralnya dalam menentukan masa depan bangsa ke arah yang lebih baik.
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.