Pemprov Sulteng Tolak Registrasi Perda Tau Taa Wana

id perda

Palu,  (antarasulteng.com) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menolak meregistrasi (penomoran) atas Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) Tau Taa Wana dari Kabupaten Tojo Unauna.

"Penolakan itu dinyatakan Asisten Pemerintahan Pemprov Sulteng Moh. Arif Latjuba yang diperkuat Kepala Bagian di Biro Hukum Pemprov Sulteng Agus Sujono saat audiensi pada Jumat (25/11) di Kantor Gubernur Sulteng," kata Kiki Amelia, Manager Informasi dan Kampanye Yayasan Merah Putih dalam siaran persnya di Palu, Selasa malam.

Menurut Kiki, Perda itu telah disahkan melalui rapat paripurna di DPRD Kabupaten Tojo Unauna pada 8 November 2016.

Alasan Pemprov, kata dia, terkait substansi Pasal 10 tentang hak dan pembangunan yang diindikasikan adanya negara dalam negara. Disamping itu, Perda itu cenderung diskriminatif karena hanya fokus ke masyarakat adat Tau Taa Wana.

Penolakan ini, kata Kiki, telah ditanggapi oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako, DR MHR Tampubolon, bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam bentuk perda merupakan mandat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pada pasal 67 ayat 2 UU ini menjelaskan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah.

Selain itu menurut Tampubolon, terkait pasal 10 soal hak dan pembangunan dalam Perda PPMHA Tau Taa Wana yang menjadi kekhawatiran akan adanya negara dalam negara, merupakan sikap dan pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai `Logical Fallacy`, artinya sesat pikir dan merusak.

Hal senada juga disampaikan Direktur Yayasan Merah Putih (YMP) Amran Tambaru bahwa keberadaan pasal 10 tersebut merupakan terjemahan dari Peraturan Gubernur (Pergub) No. 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Free, Prior, and Informated Consent (FPIC).

Dimana, kata dia, mekanisme persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa) ini merupakan hak fundamental masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk menentukan pilihan ketika ada rencana pembangunan dan investasi yang akan mengancam kehidupan di wilayah adatnya.