Palu (Antarasulteng.com) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini giat mengembangkan ikan-ikan air tawar dari spesies lokal karena lebih tahan menghadapi perubahan iklim.
"Salah satu tantangan kita dalam mengembangkan perikanan budi daya adalah perubahan iklim yang tidak menentu, nah ikan jenis lokal ini terbukti lebih kuat hadapi climate change," kata Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP Slamet Soebjakto pada dialog publik Sinergi Membangun Perikanan di Media Center Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah, Jumat.
Dialog ini digelar Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Himapikani) Wilayah VI dirangkaikan dengan Latihan Keterampilan (membuat) Tulisan Ilmiah (LKTI) yang menghadirkan pembicara Dirjen Perikanan Budidaya dan Deputy IV Bidang SDM dan Iptek Menko Kemaritiman Dr Ir Safri Burhanuddin, Direktur Pengawasan dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan KKP Dr Eko Rudianto serta Kepala Dinas KP Sulteng Dr Ir Hasnauddin Atjo, MP.
Menurut Dirjen Slamet Soebjakto, spesies-spesies lokal ikan air tawar yang sedang dikembangkan KKP dewasa ini antara lain ikan papuyu, tawes dan gabus. Pengembangan jenis ikan ini dilaksanakan dengan memberdayakan petani dan sumber daya serta kearifan lokal.
Selain tahan terhadap perubahan iklim, Indonesia juga memikili banyak spesies lokal ikan air tawar sehingga sangat potensial untuk dikembangkan.
"Tercatat 45 persen dari seluruh spesies ikan di dunia ada di Indonesia. Sebanyak 15 spesies sudah masuk dalam data statistik KKP," ujarnya.
Karena itu, ia mengajak para mahasiswa perikanan di Sulawesi Tengah untuk menjadi agen-agen perubahan dalam pengembangan sektor perikanan budi daya dan KKP akan memberikan bantuan dalam berbagai bentuk untuk mengembangkan inovasi-inovasi yang dilakukan mahasiswa.
"Kita masih memiliki potensi areal budi daya yang sangat besar. Dari 17,8 juta hektare kawasan budi daya potensial di Indonesia, yang dimanfaatkan baru 1,3 juta hektare," katanya.
Pengembangan sektor perikanan budi daya ini merupakan subsektor unggulan untuk meningkatkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia, penguatan ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta akselerasi perekonomian dan pendapatan negara.
Menurut dia, Indoensia tidak bisa terus mengandalkan perikanan tangkap karena potensinya terbatas serta menuntut kemampuan SDM serta penyediaan sarana prasarana dan teknologi yang tinggi untuk menggarapnya.
Sementara itu, Deputy IV Menko Kemaritiman Safri Burhanuddin menegaskan bahwa kalau Indonesia ingin maju, subsektor perikanan budidaya (aqua culture) harus dikembangkan secara intensif karena potensinya masih sangat besar dan peluang pasarnya di skala global masih sangat luas.
"Untuk mengembangkan perikanan budi daya, diperlukan SDM perikanan khususnya dari kampus yang memiliki daya inovasi untuk memanfaatkan potensi dan peluang yang tebruka, khususnya di Sulawesi Tengah.
Ia memberikan apresiasi kepada Kepala Dinas KP Sulteng Dr Ir Hasanuddin Atjo sebagai penemu teknologi budi daya udang supra intensif Indonesia dengan produktivitas tertinggi di dunia yakni 153 ton/hektare, dan kini mulai luas direplikasi di Tanah Air.