Jakarta (ANTARA) - Cadangan beras pemerintah kini memasuki fase yang belum pernah dicapai selama hampir enam dekade terakhir.
Di tengah dinamika global yang memengaruhi pangan, Indonesia justru mencatat rekor tertinggi stok cadangan beras dalam periode Januari–Mei 2025.
Jumlahnya mencapai 3,5 juta ton, menandai tonggak penting dalam sejarah ketahanan pangan nasional.
Prestasi ini bukan hanya soal angka, tapi juga simbol kesungguhan dan kebangkitan semangat kedaulatan pangan.
Dibandingkan tahun 1984 ketika Indonesia pernah mencapai swasembada beras dan memiliki cadangan 3 juta ton untuk penduduk 160 juta jiwa, kini pencapaian 3,5 juta ton terasa lebih monumental karena harus mencukupi kebutuhan lebih dari 280 juta jiwa.
Angka ini tidak sekadar menandai keberhasilan dalam menyimpan beras, tetapi juga menunjukkan kerja keras seluruh pihak dari petani hingga pengambil kebijakan yang bekerja dalam satu ekosistem pangan nasional.
Bukan rahasia bahwa selama bertahun-tahun, cadangan beras pemerintah selalu menjadi titik rawan dalam strategi ketahanan pangan.
Dalam kondisi normal saja, pemerintah kerap waswas jika stok hanya berada di kisaran 1 juta ton.
Ketika terjadi bencana, krisis global, atau gejolak harga, ketersediaan beras bisa menjadi isu politik yang mengguncang. Maka capaian 3,5 juta ton adalah titik balik. Ini bukan hanya angka, tapi perisai.
Meski sebagian dari cadangan tersebut masih berasal dari impor, kemampuan menyerap gabah dalam negeri dengan skala besar mulai terbukti.
Perum Bulog, sebagai operator pangan, memperlihatkan kapasitas menyerap gabah kering panen secara masif.
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengatakan bahwa stok cadangan beras pemerintah akan terus diperkuat dan dimonitor secara ketat untuk mencapai target 4 juta ton dalam waktu dekat. Bahkan Pemerintah berharap dalam 15–20 hari ke depan menjelang Panen Raya berakhir, cadangan beras nasional akan menembus angka 4 juta ton.
Ini juga menjadi sinyal bahwa ketika produksi dalam negeri berjalan optimal dan ada keseriusan untuk menyerap hasil petani, maka bangsa ini mampu mengandalkan diri sendiri.
Momentum ini tidak datang tiba-tiba. Pemerintahan Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putih baru berjalan setengah tahun, tapi sudah mampu mengukir pencapaian penting di bidang pangan.
Artinya, ada fondasi kebijakan yang tepat. Target ambisius 4 juta ton dalam waktu dekat pun bukan mimpi yang tak mungkin diraih. Panen raya masih berlangsung, dan serapan Bulog terus berlanjut.
Asal konsisten dan tidak tergelincir pada euforia sesaat, cadangan beras pemerintah bisa mencapai level ideal secara berkelanjutan.
Tetap Kokoh
Namun demikian, catatan pentingnya adalah bagaimana negeri ini bisa menjaga agar stok ini tetap kokoh?
Karena sesungguhnya tantangan bukan hanya mengisi gudang, tetapi mempertahankannya. Cadangan beras bukan benda mati.
Ia bisa menyusut karena konsumsi, rusak karena penyimpanan yang buruk, atau menimbulkan tekanan harga jika tidak dikelola dengan bijak. Maka, strategi pengelolaan menjadi krusial.
Cadangan beras punya tiga fungsi utama yakni sebagai penyangga saat krisis, sebagai alat stabilisasi harga, dan sebagai jaminan suplai saat musim paceklik atau perayaan besar.
Ketiganya menuntut presisi manajemen. Pemerintah harus punya sistem peringatan dini terhadap potensi krisis pangan.
Bulog harus dibekali kewenangan dan fleksibilitas yang cukup untuk memainkan perannya dalam pasar, tanpa dibelenggu regulasi yang membuatnya kaku dan lamban.
Lebih jauh, cadangan beras yang kokoh bisa jadi alat diplomasi pangan. Di tengah krisis global, negara yang mampu mengamankan stok pangannya akan lebih dihormati.
Bangsa ini bisa belajar dari India dan Vietnam yang kerap menggunakan beras sebagai alat tawar dalam relasi internasional. Dengan stok besar dan tata kelola yang baik, Indonesia pun bisa memainkan peran serupa.
Kunci dari semua ini tetap terletak pada sektor hulu yaitu petani dan lahan. Tidak ada gunanya cadangan besar jika kita kehilangan daya produksi nasional.
Itulah sebabnya, perencanaan jangka panjang tentang produktivitas, irigasi, penyuluhan, hingga regenerasi petani menjadi mutlak.
Bila Pemerintahan Presiden Prabowo mampu merancang peta jalan yang menyeimbangkan antara peningkatan produksi dan pengelolaan stok, maka ketahanan pangan Indonesia akan naik kelas dari sekadar bertahan menjadi berdaulat.
Tercapainya cadangan pangan Pemerintah yang kokoh, juga salah satunya karena keberhasilan Perum Bulog sebagai operator pangan dalam menyerap gabah kering panen petani sebesar-besarnya.
Serapan gabah tinggi akan terwujud, bila Kementerian Pertanian dan jajarannya di daerah, mampu menggenjot produksi dengan cara meningkatkan produktivitas hasil per hektare menuju tercapainya swasembada.
Langkah ini, bukanlah hal yang susah untuk ditempuh. Selama ada niat dan kesungguhan dijamin bangsa ini bakal mampu menggapainya.
Kerja keras dan kerja cerdas, menjadi syarat mutlak yang menjadi dasar dalam proses pencapaiannya. Presiden Prabowo memiliki keyakinan dan komitmen kuat untuk meraihnya.
Tinggal bagaimana dapat disusun desain perencanaan dan peta jalan pencapaiannya secara berkualitas.
Indonesia juga harus mampu menjaga momentum ini. Jangan sampai capaian 3,5 juta ton hanya menjadi catatan sejarah yang tak berulang.
Harus ada sistem yang membuat angka itu menjadi batas minimum, bukan puncak. Masyarakat sudah cukup lama waswas tiap kali krisis datang.
Kini, masyarakat punya alasan untuk percaya bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kakinya sendiri dalam hal pangan.
Tentu saja, tidak ada jaminan abadi. Tapi bila semua pihak terus bekerja dengan disiplin, menjaga semangat kolektif antara pemerintah, petani, dan masyarakat luas, maka tidak ada alasan untuk gagal.
Ini bukan hanya urusan beras, tapi harga diri bangsa. Dan kini, harga diri itu telah berdiri tegak, bersama 3,5 juta ton yang tersimpan rapi di gudang-gudang logistik di berbagai pelosok negeri ini.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.