Upeti, Korupsi dan Kebebalan Anak Bangsa oleh Virna Puspa Setyorini

id upeti, korupsi

Upeti, Korupsi dan Kebebalan Anak Bangsa oleh Virna Puspa Setyorini

KPK terus berupaya membersihkan negara dari oknum-oknum korup yang tidak jera merugikan negara (ANTARA/Rosa Panggabean)

Jakarta (antarasulteng.com) - Upeti adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta "utpatti". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upeti adalah kata benda yang memiliki dua arti.

Arti pertama,  uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara (-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan. Arti kedua,  uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.

Dalam sejarah, upeti memang diberikan dari pihak yang lebih lemah kepada pihak yang lebih kuat sebagai bentuk penghormatan atau kesetiaan dari sebuah aliansi.  Selain itu, upeti dari pihak yang lemah ini sering diberikan untuk membiayai proyek-proyek yang menguntungkan kedua belah pihak.

Athena diketahui menerima upeti dari kota-kota lain di Liga Delian. Kekaisaran Assyria, Babylon, dan Roma mendapat upeti dari setiap provinsi. Kekaisaran Cina kuno menerima upeti dari banyak kerajaan seperti Jepang, Korea, Vietnam, Kamboja, Borneo, Indonesia, Asia Selatan, dan Asia Tengah. 

Dalam dunia modern, upeti diberikan secara formal atau seremonial, seperti hadiah pada pelantikan seorang presiden, pernikahan seorang anak presiden, pernikahan seorang anggota kerajaan, atau terkait pernikahan bisnis.

Celakanya, tradisi ini masih berjalan meski sistem kerajaan dan era kolonial sudah lewat.

Kata upeti belakangan ini menjadi akrab di telinga masyarakat karena berita berkelanjutan pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan soal permintaan upeti oknum anggota dewan kepada sejumlah direktur perusahaan plat merah di Indonesia.

Dahlan bolak-balik memenuhi panggilan Badan Kehormatan DPR untuk mengklarifikasi nama-nama anggota dewan yang diduga meminta upeti kepada sejumlah direktur BUMN.  Dalam satu kesempatan Menteri BUMN ini menyebut besaran upeti yang diminta mereka bervariasi, bisa lima hingga 10 persen dari nilai proyek yang mencapai ratusan miliar rupiah.

Menurut Dahlan, oknum anggota dewan meminta upeti kepada BUMN yang memperoleh suntikan modal (PMN). Penerima PMN tahun 2012 antara lain PT PAL sebesar Rp648 miliar, PT Merpati Nusantara Airlines Rp561 miliar, PT Askrindo Persero Rp800 miliar, dan PT Jamkrindo sebesar Rp1,2 triliun.

Tapi Badan Kehormatan DPR hanya menyimpulkan ada pelanggaran kode etik ringan oleh para oknum anggota dewan yang meminta upeti kepada sejumlah badan usaha plat merah tersebut.

Sementara itu, dalam kesaksiannya untuk terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan dua pesawat Boeing yang menjerat Hotasi Nababan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, mantan Menteri BUMN Sofjan Djalil mengatakan memang selama ini banyak perusahaan berplat merah yang menjadi sapi perah oknum anggota dewan.

Sudah menjadi tradisi perusahaan-perusahaan BUMN memberi upeti kepada oknum anggota dewan demi memperoleh proyek. "Itu cerita lama. Cuma selama ini tidak ada orang seperti Dahlan (Iskan) yang membongkar semua."

Sofjan menilai tradisi upeti perusahaan BUMN terjadi karena lingkungan kerja yang dinilainya brengsek. "Ini kan lingkungan yang buruk sekali. Melakukan itu (memberi upeti) karena lingkungan yang brengsek".

Akibat upeti

Pengakuan salah seorang pensiunan BUMN karya tentang sulitnya mendapatkan proyek pemerintah jika tidak "berani" mengikuti tender adalah gambaran tentang rahasia umum pemberian upeti yang sudah berlangsung lama.

 Ia mengungkapkan betapa perusahaannya sulit memperoleh proyek pembangunan jalan, jembatan, atau gedung karena hampir selalu kalah bersaing dari perusahaan kontraktor besar yang bermodal lebih besar.

Saking sering  kalah tender, gaji seluruh karyawan BUMN tempatnya bekerja pernah harus dipangkas 50 persen setiap bulan selama beberapa tahun demi keberlangsungan perusahan itu.

Oleh karena itu, dia tidak heran oleh pemberitaan upeti yang bersumber dari BUMN. 

Apa yang terjadi jika pemberian upeti-upeti tersebut berlanjut?

Perusahaan pemberi upeti yang akhirnya memenangkan tender tentu tidak ingin merugi. Salah satu solusi menghidari rugi adalah mengurangi "cost production" proyek pembangunan.

Menurut dia, jika proyek ini proyek jalan, biasanya kualitasnya akan diturunkan, misalnya dari semula anggaran jalan kelas A, maka akan turun ke kelas B. 

Biasanya jenis batu yang akan digunakan berbeda atau jumlahnya dikurangi, sehingga konstruksi jalan di bawah lapisan aspal yang seharusnya dapat menguatkan, mnalah akan mudah bergeser sehingga jalan lebih cepat rusak.

"Saya tidak paham terlalu detil perhitungan untuk material ini, biasanya yang menghitung orang-orang teknik sipil di bagian perencanaan. Batu itu ada banyak jenisnya walau kelihatannya sama, pasir juga begitu, koral juga sama, harganya pun berbeda-beda. Kalau ada yang diganti tentu itu berpengaruh," ujar dia.

Saat tragedi jembatan gantung Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur terjadi dan hasil tim investigasi dalam soal ini belum selesai, sejak awal dia telah meragukan komponen jembatan yang digunakan telah sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya.

Menurut dia, jembatan gantung seperti di Kutai haruslah menggunakan jenis konstruksi baja tertentu yang dia tidak tahu Indonesia sudah bisa memproduksinya.

"Saya tidak tahu apakah Krakatau Steel mampu membuatnya, seharunya mampu. Jerman masih yang paling baik memproduksi baja seperti itu, kalau pun (Krakatau Steel) mampu mungkin harganya pun akan mahal," ujar dia.

Berdasarkan hasil investigasi Kementerian Pekerjaan Umum, jembatan Kutai Kartanegara ambruk akibat akumulasi ketidaksempurnaan sejak awal perencanaan hingga perawatannya.

Ketua Tim Investigasi tragedi ambruknya jembatan gantung Kutai Kartanegara Iswandi Imran mengatakan ketidaksempurnaan sudah terjadi dari awal pembangunan jembatan pada 1995 saat masih dalam tahap perencanaan. Bentuk jembatan didesains tidak streamline sehingga banyak perubahan geometri yang mendadak pada setiap sambungan.

Jembatan banyak memiliki patahan dan seharusnya diaplikasikan radius, diberi jari-jari sehingga ada media peralihan dari satu bentuk ke bentuk lain. Tidak adanya proses peralihan bisa menimbulkan konsentrasi tegangan berlipat ganda.

Ketidaksempurnaan lain, lanjutnya, adalah pemilihan konstruksi. Dari investigasi, ternyata konstruksi jembatan Kutai Kartanegara yang seharusnya menggunakan baja cor hanya menggunakan besi cor Ductile Cast Iron FCD 60. 

"Materinya (besi cor) sangat getas, bisa pecah seketika. Kami menyebutnya 'patah getas'. Besi cor seperti itu tidak memperlihatkan gejala atau tanda akan pecah, sangat berbeda dengan baja yang akan menggalami proses ulur terlebih dulu sehingga akan terlihat gejala pecahnya," ujar dia.

Jembatan Kutai Kartanegara memiliki area gantung tanpa penyangga mencapai 270 meter, sedangkan total panjang  710 meter. Jembaran ini dibangun mulai 1995 hingga 2001 oleh PT Hutama Karya, sedangkan pemeliharaan rutin diserahkan kepada PT Bukaka.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo kala itu mengatakan tidak akan terburu-buru memberi penilaian dalam peristiwa ambruknya jembatan yang menghilangkan nyawa lebih dari 17 orang tersebut November 2011 lalu. 

Meski demikian, Hadi mengaku BPK sedang "mengincar" jembatan-jembatan di seluruh Indonesia yang panjangnya lebih dari 400 meter.

Kesaksian di persidangan

Begitu banyak kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang masih dalam tahap telaah, pengumpulan data, penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan di negeri ini. 

Bahkan dugaan tindak pidana pun berlangsung pada saat proyek pengadaan barang dan jasa itu ada, ketika anggaran baru diajukan oleh pemerintah ke DPR.

Kasus yang saat ini masih bergulir di tahap penuntutan seperti dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigarasi tahun 2008 dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, kasus dugaan suap pengurusan Hak Izin Usaha perkebunan sawit di Buol dengan terdakwa Bupati Buol Amran Batalipu dan Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantation Hartati Murdaya Poo, kasus dugaan penggiringan anggaran proyek Wisma Atlet Jakabaring Palembang dan beberapa universitas di Indonesia dengan terdakwa Angelina Sondakh.

Dugaan korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang dengan tersangka Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Dedy Kusdinar dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng selalu kuasa pengguna anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga, dugaan korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama dengan tersangka anggota DPR Fraksi Partai Golkar Zulkarnaen Djabar, dan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo.

Hampir senada dengan kesaksian mantan Menteri BUMN Sofjan Djalil dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, mantan Direktur Pemasaran PT Anugerah Nusantara Mindo Rosalina Manulang yang bersaksi untuk terdakwa Angelina Sondakh mengungkapkan adanya penghubung (calo) di setiap Komisi di DPR untuk menggiring anggaran di Kementerian.  Dan pemberian fee untuk penggiringan anggaran untuk satu kementerian di DPR tersebut biasa terjadi.

Ia mengaku sudah pernah berhubungan dengan "calo-calo" di setiap Komisi DPR tersebut terkait penggiringan anggaran kementerian untuk meloloskan proyek tertentu, seperti yang ia lakukan dalam proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Palembang dan proyek pengadaan barang dan jasa di beberapa universitas.

Sayang, Rosalina tidak berani mengungkap siapa saja yang biasa menjadi "calo" anggaran itu.

Kesaksian mantan staf Muhammad Nazaruddin masih berlanjut, bagaimana kelanjutan dari penggiringan anggaran proyek dari satu kementerian di Komisi DPR hingga akhirnya disetujui dan menang dalam tender.

Untuk proyek Wisma Atlet Jakabaring, Rosa mengaku berkomunikasi dengan mantan Sesmenpora Wafid Muharam yang kemudian menyarankan untuk menghubungi pengusaha lain bernama Paul Nelwan.

Menurut Rosalina, PT Anugerah Nusantara harus mengeluarkan sejumlah uang kepada Paul Nelwan untuk bisa mendapatkan proyek wisma atlet di Palembang itu karena dia lah yang "memegang proyek" di Kementerian Pemuda dan Olahraga. 

Sementara Paul Nelwan dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor menolak disebut terlibat dalam sejumlah proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga.  Dia mengaku hanya dimintai tolong oleh Rosalina untuk dikenalkan kepada Sesmenpora Wafid Muharam.

Sedangkan dari kesaksian mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai untuk terdakwa Angelina Sondakh, Yulianis, terlontar beberapa nama anggota dewan yang kerap menjadi perantara untuk menggiring proyek di DPR.

"Untuk di Kejaksaan itu Pak Azis Syamsuddin dari Komisi III. Pak Zulkarnain Djabbar dan Pak Abdul Kadir Karding untuk di Kementerian Agama," kata Yulianis.

Muhammad Nazaruddin pun saat membela diri pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta dari tuntutan kasus korupsi Wisma Atlet Jakabaring berulang kali menyebut tidak tahu menahu soal proyek fasilitas olahraga di Palembang tersebut. Ia justru mengetahui soal proyek Hambalang.

"Kalau proyek Hambalang saya tahu Yang Mulia karena Mas Anas (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) yang menugaskan saya, tapi kalau Wisma Atlet mana ada saya menerima uang, saya tidak tahu apa-apa soal Wisma Atlet," ujar dia.

Soal menggiring anggaran di Gedung DPR diperkuat pula oleh kesaksian-kesaksian dalam kasus suap yang melibatkan mantan anggota Badang Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati dan pengusaha Fadh El Fouz. Keduanya menyebut ada keterlibatan para pimpinan Badan Anggaran DPR yang kini telah banyak mengundurkan diri dari jabatannya tersebut.

Entah berapa banyak lagi yang akan "tersentuh" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena lembaga antikorupsi ini berkomitmen mengembangkan penyelidikan baru terkait kasus pembahasan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan Wa Ode Nurhayati.

Yang jelas, pembersihan negeri dari oknum-oknum korup yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus korupsi yang telah ada dan tidak jera merugikan negara terus dilakukan KPK di tengah gencarnya "gempuran" terhadap lembaga antikorupsi yang diduga dilakukan koruptor-koruptor. (V002/Z003/SKD)