Palu (ANTARA) - Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP menilai industrialisasi udang di Indonesia harus dipercepat untuk memberikan nilai tambah yang berlipatganda terhadap nilai udang di tengah masih lambannya peningkatan produksi dan produktivitas di sektor budidaya.
"Industrialisasi sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi investasi teknologi di bidang produksi dan industri pengolahan juga harus digenjot," katanya di Palu, Selasa, sehubungan dengan workshop percepatan industrialisasi udang yang digelar Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng di Palu, belum lama ini.
Ia memberi contoh di Sulawesi Selatan, pembuatan shrimp burger bisa meningkatkan nilai tambah udang dari 0,25 dolar AS menjadi 2 dolar AS, dan masih banyak lagi jenis industri yang mampu meningkatkan nilai tambah udang dalam jumlah yang signifikan.
Menurut doktor perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu, ada tiga prinsip industrialisasi udang yang harus dikerjakan secara simultan yakni adanya intervensi kebijakan dari pemerintah, pengembangan atau inovasi teknologi serta terbukanya pasar.
Hasanuddin Atjo yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng itu menyebutkan intervensi pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyiapkan infrastruktur yang memadai serta akses permodalan ke lembaga keuangan dengan bunga yang lebih menarik.
"Di Malaysia, bunga bank hanya sekitar empat persen, tapi di Indonesia masih 12 persen. Ini sebuah tantangan dalam meningkatkan investasi di sektor produksi dan industrialisasi atau pengolahan," ujarnya.
Dari sisi inovasi teknologi, kini sudah tersedia teknologi budidaya yang paling produktif di dunia yakni teknologi supra intensif Indonesia yang mencatat produktivitas 153 ton/hektare.
Baca juga: Tambak udang supra intensif skala rakyat hasilkan 700 kg (Vidio)
Baca juga: DKP Sulteng galang dukungan perbankan kembangkan teknologi supra intensif skala kecil
Baca juga: Hasanuddin Jual Mobil Demi Teknologi Supra Intensif
"Teknologi ini pun telah direkayasa sedemikian rupa sehingga kini telah diluncurkan budidaya supra intensif skala kecil yang investasinya rendah namun produktivitasnya tinggi, sehingga bisa dikembangkan secara masif oleh pengusaha kecil dan menengah," ujar Atjo, sang penemu teknologi budidaya udang supra intensif Indonesia itu.
Mengenai pasar, kata pengusaha tambak udang modern di Kabupaten Barru, Sulsel ini, tidak ada masalah karena pasar udang Indonesia terbuka lembar, belum lagi pasar di dalam negeri untuk menyuplai industri pengolahan yang bisa meningkatkan nilai tambah berlipat kali.
"Meskipun bisnis udang ini menghadapi risiko besar yakni intervensi pemerintah belum maksimal, bunga bank masih tinggi dan margin relatif rendah sektiar 20 sampai 40 persen, namun investasi cenderung meningkat. Ini menunjukkan bahwa sektor perudangan tetap menarik dan merupakan masa depan Indonesia bila kendala-kendala itu bisa diatasi secara bertahap," ujar Atjo yang juga Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Provinsi (Ispikani) Sulteng itu.
Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia saat ini merupakan produsen udang terbesar kedua di dunia setelah China dengan jumlah produksi 1.124.294 ton pada 2017 dan pertumbuhan rata-rata produksi 10 persen/tahun selama 2010-2017.
Dari jumlah itu, Indonesia mencatat ekspor udang sekitar 180.000 ton dengan nilai devisa yang dihasilkan 1,75 miliar dolar AS.