Eropa Bisa Larang Pestisida Karena Bunuh Lebah

id pestisida, lebah

Eropa Bisa Larang Pestisida Karena Bunuh Lebah

(reuters)

Saat ini sejumlah negara telah memberlakukan larangan terbatas terhadap bahan kimia jenis Neonikotinoids, seperti Prancis, Jerman, Italia dan Slovenia.

Jakarta (antarasulteng.com) - Negara-negara anggota Uni Eropa bakal segera memutuskan mengenai usulan pembatasan penggunaan pestisida terkait hasil kajian ilmiah mengenai kematian-kematian lebah.

Ada kekhawatiran yang besar di seluruh Eropa terhadap runtuhnya populasi lebah. Bahan kimia pestisida neonikotinoid dalam semprotan diyakini berbahaya bagi lebah, seperti dilansir BBC, Senin.

Komisi Uni Eropa menyatakan pestisida-pestisida tersebut harus dibatasi dan dilarang digunakan pada tanaman atau tumbuhan yang selama ini dikunjungi lebah atau serangga lain yang bermanfaat bagi penyerbukan, seperti kupu-kupu.

Meski begitu, banyak petani maupun ahli pertanian menilai, Uni Eropa tidak punya data yang meyakinkan.

Komisi Uni Eropa akan memberlakukan larangan selama dua tahun terhadap bahan kimia neonikotinoid, jika negara-negara di Eropa gagal mencapai kesepakatan.

Para peneliti mengatakan selama ini spesies liar seperti lebah madu merupakan binatang yang paling bertanggung jawab dalam proses penyerbukan produksi tanaman pangan di sepertiga wilayah dunia. Karena itu keberadaan lebah harus dijaga.

Saat ini sejumlah negara telah memberlakukan larangan terbatas terhadap bahan kimia jenis Neonikotinoids, seperti Prancis, Jerman, Italia dan Slovenia.

Dukungan terhadap Uni Eropa datang dari tiga juta tanda tangan yang dikumpulkan untuk mendesak pelarangan pestisida jenis neonikotinoid.

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa bahan kimia yang dibuat oleh Bayer dan Syngenta, memang memiliki dampak negatif pada lebah.

Satu penelitian menyarankan bahwa neonicotinoids mempengaruhi kemampuan untuk menghasilkan sarang ratu lebah. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa pestisida merusak otak mereka.

Namun Departemen Inggris untuk Lingkungan, Pangan dan Urusan Pedesaan (Defra) berpendapat bahwa studi ini hanya dilakukan di laboratorium dan tidak mencerminkan kondisi lapangan secara akurat.