Itulah pernyataan paling keras Fransikus I tentang kondisi ketenagakerjaan di Bangladesh sejak dia terpilih pada 13 Maret lalu. Keadilan sosial, bagi dia, sangat penting untuk selalu dikedepankan dalam segala keadaan; terkhusus dalam kedudukannya sebagai gembala umat, Bapa Suci Gereja Katolik Roma.
"Hidup hanya dengan 50 dolar Amerika
Serikat sebulan --upah para pekerja yang meninggal itu, bisa disebut
sebagai budak," kata Fransiskus I, dalam kotbah pada misa pagi pribadi
di kediamannya, Radio Vatikan melaporkan.
Jumlah korban jiwa akibat gedung tempat kerja -- di Rana Plasa di kawasan niaga Dhaka yang tidak memiliki izin, -- ambruk pekan lalu, telah meningkat menjadi 411 orang pada Rabu dan sekitar 40 korban tak dikenal telah dimakamkan.
Fransiskus I memberikan khotbahnya pada Hari Buruh Internasional (May Day) dengan mengatakan "Tidak memberikan upah yang pantas sebagai biaya perusahaan, karena hanya mengejar untung adalah sama dengan menentang Allah." Itu adalah dosa kepada Allah Tuhan.
Fransiskus I mengemukakan, masih banyak orang di dunia ini yang hidup dalam kondisi sebagai budak.
"Dewasa ini di dunia masih ada perbudakan yang dilakukan terhadap anugerah Tuhan yang paling indah bagi manusia: kemampuan untuk berkarya, bekerja dan menentukan martabatnya sendiri," kata Fransiskus I.
"Berapa banyak saudara-saudari kita yang hidup dalam keadaan seperti ini karena kebijakan ekonomi, sosial dan politik?"
Di negara asalnya, Argentina, Fransiskus I kerap membela kaum papa, kaum tertindas dan pengangguran, berselisih pendapat dengan kebijakan ekonomi pemerintah dan membela harkat dan martabat anggota masyarakat yang paling lemah.
"Martabat bukanlah berkat dari kekuasaan, oleh uang, dan oleh budaya. Bukan! Martabat ditentukan oleh sistem kerja, sosial, politik dan ekonomi yang dipilih untuk memanfaatkan orang,"ujarnya.