Jakarta (ANTARA) - Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Wiwid Kartika ketika rencana pertunjukan yang telah disusunnya dari jauh-jauh hari harus dibatalkan karena alasan yang terpaksa harus diterima.
Pimpinan Sanggar Pelangi ini mengulang kembali ingatannya pada kurun waktu satu tahun yang lalu sesaat sebelum wabah pandemi COVID-19 mematikan jalan rezekinya melalui kesenian tradisional.
Kala itu, Wiwid bersama dengan timnya dari Sanggar Pelangi tengah bersiap mengadakan pementasan sendratari Pangeran Astawana yang mengangkat kisah salah satu tokoh besar bagi masyarakat Condet, Jakarta Timur.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang menyebutkan bahwa Pangeran Astawana berhasil mempersunting seorang gadis bernama Maemunah setelah berhasil mewujudkan keinginannya.
Sang pangeran dengan kesaktiannya berhasil membangun sebuah rumah dan bale di pinggir Kali Ciliwung yang nantinya dipercaya menjadi asal usul nama daerah di kawasan ini.
Untuk menghubungkan rumah itu dengan kediaman pangeran, maka dibuatlah jalan yang dilapisi (diampari) batu yang disebut Batu Ampar, serta sebuah balai (bale) peristirahatan yang seolah mengambang di atas air yang disebut Balekambang.
Wiwid menjelaskan bahwa saat itu segala persiapan sudah dilakukan, seperti latihan rutin hingga mengeluarkan biaya operasional untuk kebutuhan pementasan.
"Itu sudah latihan, sudah keluar biaya banyak. Dua minggu sebelum tampil di stop karena COVID-19," kata Wiwid.
Jalan hidup
Bagi Wiwid, kesenian tradisional khususnya Betawi menjadi jalan hidup yang telah ia pilih. Semuanya bermula di tahun 2007 ketika ia pertama kali memutuskan untuk membentuk kelompok seni sendiri yang kemudian dinamakan Sanggar Pelangi.
Wiwid mengatakan saat itu dirinya masih tergabung dengan kelompok seni Betawi lain. Namun keinginan untuk membentuk sanggar seni sendiri mencuat dalam dirinya.
Akhirnya dengan bantuan beberapa rekannya dari kelompok seni sebelumnya, dia pun berhasil membentuk Sanggar Pelangi yang bermarkas di Condet, Jakarta Timur.
Di sanggar ini, Wiwid fokus dengan seni musik tradisional Betawi seperti Samrah, hingga kemudian dalam perjalanannya berkembang ke Gambang Kromong, bahkan hingga seni tari.
"Ya itu sesuai nama pelangi, kita enggak ingin hanya satu jenis musik saja. Akhirnya saya merambah ke Gambang Kromong, saya merambah juga ke tarian, kadang lagu-lagu pop," ujar Wiwid.
Sanggar Pelangi kini telah memiliki sekitar 60 anggota yang tak hanya berasal dari Jakarta Timur, melainkan juga sejumlah wilayah seperti Depok dan Bekasi.
Dalam menjalankan Sanggar Pelangi, Wiwid dibantu oleh ketiga anak-anaknya yang juga mengikuti jejak langkahnya di dunia kesenian tradisional Betawi.
Mpok Wiwid begitu--dia akrab disapa--mengatakan anggota di Sanggar Pelangi kebanyakan adalah anak-anak muda mulai dari usia sekolah SMA hingga yang sudah berkeluarga. Kehadiran generasi muda di Sanggar Pelangi membuktikan bahwa kesenian tradisional masih memiliki tempat di hati anak zaman sekarang.
Perempuan asli Betawi ini dalam menjalankan sanggar kesenian tradisionalnya kerap memadukan unsur-unsur masa kini, seperti lagu-lagu populer yang diaransemen ulang dengan musik tradisional.
Tidak ada promosi khusus yang dilakukannya guna menarik perhatian anak muda untuk bergabung dalam sanggar pimpinannya. Menurut dia kebanyakan anggota yang datang ke Sanggar Pelangi mengetahui informasi dari mulut ke mulut.
Mengandalkan halaman rumahnya yang berada di kawasan Balekambang, Wiwid rutin menggelar latihan setiap Rabu dan Jumat dari sore hingga malam hari.
Berkat konsistensi dan kualitas yang ditunjukkan, Sanggar Pelangi juga kerap menerima undangan untuk tampil dalam berbagai acara kesenian baik di Jakarta hingga ke berbagai kota.
"Acara luar kota sebelum pandemi ini sering, kita pernah ke Karawang, Padang, pokoknya sudah hampir keliling Indonesia," katanya.
Adaptasi baru
Namun karena adanya pembatasan aktivitas dan larangan berkerumun, kegiatan seperti pertunjukan kesenian pun terpaksa tidak dapat dilakukan saat masa pandemi.
Tak ingin pasrah oleh keadaan dan berdiam diri, Wiwid pun mulai mencari cara untuk setidaknya menghidupkan kembali asa berkarya di tengah keadaan yang serba terbatas akibat pandemi.
Pertunjukan kesenian secara daring pun ia coba dengan memanfaatkan teknologi yang diakui olehnya baru pertama kali dilakukan sejak sanggar tersebut berdiri.
Pada April 2020 lalu, Sanggar Pelangi sukses membuat sebuah pentas seni virtual melalui YouTube yang dikemas berupa penggalangan dana dengan dukungan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur.
Kegiatan ini sukses mengumpulkan dana yang hasilnya dibagikan bagi para anggota Sanggar Pelangi yang terdampak akibat pandemi COVID-19. Hingga Maret tahun ini, Sanggar Pelangi telah empat kali menggelar pementasan amal secara virtual.
Tak hanya pementasan virtual, Sanggar Pelangi juga membuat film pendek berjudul "Pangeran Astawana" yang hasilnya dapat disaksikan melalui aplikasi Karyakarsa. "Karena kita enggak bisa di panggung akhirnya bikin dalam film pendek," kata Wiwid.
Meskipun tak sebanyak biasanya, Wiwid tetap bersyukur karena masih dapat berkesenian di masa pandemi. Dia juga bersyukur bahwa di masa sulit ini anggota Sanggar Pelangi tetap bisa solid.
Menurut dia, hal yang paling utama dalam membangun kekompakan adalah komunikasi. Wiwid mengatakan sebisa mungkin dengan anggota sanggar lainnya bertemu untuk berbicara langsung di sela kegiatan latihan.
Wiwid mengungkapkan bahwa beberapa anggota sanggarnya terpaksa harus mencari pekerjaan sambilan lain di luar kesenian, seperti ojek daring (online) untuk sekadar menyambung hidup sehari-hari karena sepinya tawaran menggelar pementasan di masa pandemi ini.
Bahkan dia juga mengaku kesulitan untuk menutup biaya operasional sanggar yang saat ini masih mengandalkan uang pribadinya. Untuk itu, dia pun berharap bisa mendapatkan donatur bagi sanggarnya.
"Kita berupaya mencari donatur tetap untuk Sanggar Pelangi ini. Setelah pandemi ini karena tidak ada pemasukan untuk modal awal pun terseret-seret," katanya.
Kolaborasi
Wiwid juga bersyukur di tengah kesulitan akibat pandemi ini masih ada perhatian yang diberikan oleh pemerintah daerah bagi para pelaku kesenian tradisional seperti dirinya.
Kesuksesan Sanggar Pelangi menggelar pementasan amal secara virtual diakui olehnya tak lepas dari dukungan pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur.
Wiwid mengatakan saat menggelar pementasan amal secara virtual mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah berupa fasilitas seperti tempat hingga akses internet yang dibutuhkan untuk menggelar pementasan daring.
Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur Hasanuddin mengapresiasi langkah yang diambil oleh Sanggar Pelangi yang tetap bersemangat untuk berkarya di tengah pandemi dengan menggelar pementasan secara virtual.
"Ini sudah yang keempat. Artinya mereka selalu berkoordinasi dan kami memotivasi bagaimana untuk bergerak. Alhamdulillah sinergi itu terwujud," kata Hasanuddin.
Jangan Menyerah
Hasanuddin juga berpesan kepada para pelaku seni khususnya kesenian tradisional agar tetap tenang dan jangan menyerah karena pandemi. Menurut dia, pemerintah daerah akan selalu memberikan dukungan dan fasilitas bagi pelaku kesenian tradisional untuk tetap dapat berkarya di masa pandemi.
"Kami dari Sudin selalu memotivasi mereka untuk tetap bersemangat. Jangan gara-gara ini mereka kehilangan motivasi untuk berkarya. Itu sudah kita lakukan sejak bulan April 2020 hingga sekarang," ujarnya.
"Kami juga rutin lakukan kunjungan, pembinaan ke sanggar-sanggar di Jakarta Timur. Alhamdulillah mereka sadar dengan apa yang pemerintah sampaikan," katanya.
Apa yang dilakukan oleh Sanggar Pelangi menjadi salah satu contoh bahwa di tengah kesulitan masih ada secercah harapan. Tanpa banyak mengeluh dengan keadaan, para seniman tradisional ini berjuang dan saling menguatkan melalui masa sulit ini.
Layaknya pelangi yang selalu setia menunggu hujan reda untuk kembali memancarkan keindahan spektrum warnanya di angkasa.