Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Berdasarkan catatan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, 65 persen penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Pantai memang mempunyai peran ekonomi, sosial, dan ekologi.
Hal ini menyebabkan tekanan terhadap pantai sangat tinggi.
Selain itu, keberadaan aktivitas manusia di daerah pesisir mempunyai kerentanan yang tinggi.
Sebagai negara yang berada di cincin api atau ring of fire menyebabkan seringnya terjadinya gempa Bumi yang dapat diikuti oleh tsunami. Daya rusak gelombang tsunami dapat dikurangi dengan mengatur tata ruang wilayah pesisir agar keberadaan bangunan tidak terlalu dekat dengan pantai.
Salah satu benteng alam dari keberadaan tsunami adalah vegetasi pantai dalam bentuk hutan mangrove maupun hutan pantai. Kedua jenis tipe vegetasi ini mempunyai perbedaan yang cukup jelas.
Apabila hutan mangrove merupakan vegetasi yang terkena pengaruh genangan air laut dan adanya lumpur endapan sungai, hutan pantai berada di wilayah pesisir daratan.
Sebagian ahli menyebutkan bahwa hutan bakau tersusun dari mangrove sejati, yaitu vegetasi yang terpengaruh oleh pasang surut laut dan keberadaan lumpur serta mangrove semu yaitu vegetasi yang berada di belakang vegetasi mangrove sejati, yang pada umumnya di wilayah daratan.
Pengelolaan wilayah pesisir
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Pada Bab 1 yang memuat tentang Ketentuan Umum, pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Mangrove adalah vegetasi pantai yang memiliki morfologi khas dengan sistem perakaran yang mampu beradaptasi pada daerah pasang surut dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir.”
Sedangkan terkait hutan pantai yang berada di wilayah daratan berpasir tidak disebutkan.
Beberapa jenis tanaman mangrove yang kita kenal antara lain, rizopora, avicenia, nipah, dan lain sebagainya, sedangkan jenis tanaman pantai yang tumbuh di daerah berpasir antara lain waru, ketapang, nyamplung, malapari, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hutan dengan keanekaragaman jenis pohon tersebut disebut sebagai hutan pantai.
Hutan yang demikian banyak dijumpai di sebagian besar pantai di Indonesia, misalnya, di sepanjang pantai selatan Jawa, di pantai barat Sumatra, dan pantai-pantai lainnya.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 telah membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang bertujuan untuk merehabilitasi hutan gambut dan mangrove yang rusak.
Rencana Strategis BRGM menargetkan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare selama 5 tahun ke depan.
Kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir selama ini lebih banyak diarahkan pada hutan mangrove, sedangkan hutan pantai belum banyak mendapatkan perhatian.
Pentingnya pengaturan tentang hutan pantai dan keberadaan hutan pantai yang merupakan vegetasi wilayah kering, masih kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan belum adanya peraturan yang menetapkan tentang definisi hutan pantai.
Suatu komunitas sosial mendefinisikan secara khusus tentang hutan pantai. Hutan pantai adalah wilayah hutan yang tumbuh berkembang di muara sungai, tepi laut, atau daerah yang memiliki pasang surut, sedangkan hutan pesisir dapat diartikan sebagai hutan yang tumbuh berkembang di garis pantai yang memiliki batas pasang tertinggi.
Menurut artikel tersebut, hutan pantai juga dapat diartikan sebagai vegetasi yang tumbuh berkembang di wilayah pantai berpasir dan terletak di atas garis pasang tertinggi di daerah beriklim tropis.
Hutan pesisir kebanyakan tumbuh berkembang di daerah tepi pantai yang tidak terpengaruh sama sekali oleh pergantian iklim, terletak di tanah kering yang berpasir dan berbatu serta tepat di atas garis pasang yang tertinggi (https://rimbakita.com/hutan-pantai/, 2019).
Menurut Prisambodo (2018), seluruh bentang alam dan kelompok flora yang tumbuh mulai dari kawasan pantai (daerah pertemuan laut dan darat) daerah pesisir wilayah daratan yang masih mendapat pengaruh dari lingkungan laut, pada umumnya di pantai berpasir atau berbatu.
Otoritas statistik di Filipina menyebutkan secara spesifik tentang definisi hutan pantai, yaitu sebidang hutan sempit di sepanjang pantai berpasir dan berkerikil di pantai yang didominasi oleh Terminalia catappa, Casuarina equisetifolia, Barringtonia asiatica, Sonneratia caseolaris, Acacia farnesiana, dan Erythrina orientalis (Phillipine Statistics Authority, 2017).
Keberadaan nomenklatur hutan pantai perlu dicantumkan secara spesifik dalam regulasi sebagai dasar bagi semua pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan terkait kawasan pesisir khususnya dalam hal penetapan tata ruang yang berbasis kebencanaan, di antaranya bencana tsunami, yang memerlukan pola ruang sepanjang pantai untuk perlindungan terhadap aktivitas masyarakat di wilayah pesisir.
Pengelolaan Hutan Pantai Kolaboratif
Pasca-tsunami di pantai selatan Jawa Barat pada 17 Juli 2006, berbagai upaya penanaman kawasan pesisir pantai dilakukan, seperti di daerah Cilacap Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat, dengan jenis pepohonan yang berakar kuat, yang tumbuh dengan cepat, seperti cemara udang, ketapang, waru, nyamplung, dan jenis pepohonan lainnya.
Namun, upaya penghijauan wilayah pantai menghadapi banyak kendala apalagi selama ini penanaman hutan pantai berpasir belum banyak dilakukan.
Kendala utama dari penanaman di wilayah pantai berpasir adalah kondisi lahan yang didominasi pasir dengan kemampuan menahan air yang rendah serta pengaruh angin laut yang menyebabkan beberapa jenis tanaman tidak dapat bertahan.
Teknologi untuk keberhasilan pembangunan hutan pantai perlu terus dikembangkan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Upaya kolaborasi riset terkait hutan pantai sudah dimulai sejak tahun 2013 yang melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hasil dari riset tersebut dapat menjadi bahan kebijakan bagi pengelolaan wilayah pantai yang memasukkan upaya mitigasi terhadap bencana tsunami.
Pada penelitian tersebut dilakukan penyelidikan tentang media tanam, jaraknya dari garis pantai, dimensi hutan, pengukuran parameter masing-masing pohon, seperti diameter batang pohon, tinggi pohon, jarak tanam, lebar kanopi, dan profil pantai.
Hasil Penelitian tersebut telah dipublikasikan secara nasional maupun internasional. Kerja sama antar lembaga/kementerian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional diharapkan akan memperkuat kolaborasi riset dan kajian tentang hutan pantai.
*) Yudhicara adalah peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi-KESDM
**) Aditya Hani adalah peneliti dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN