PPP: Putusan MK soal sistem pemilu hentikan spekulasi

id PPP,Achmad Baidowi,Mahkamah Konstitusi,Sistem pemilu,Pemilu 2024

PPP: Putusan MK soal sistem pemilu hentikan spekulasi

Achmad Baidowi. (ANTARA FOTO/Ho-dok.)

Jakarta (ANTARA) - Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menghentikan spekulasi di tengah masyarakat terkait wacana perubahan sistem pemilu.
 
"Maka kini tak ada lagi spekulasi terkait sistem pemilu," kata Awiek, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Sehingga, menurut dia, putusan MK tersebut memberikan dampak positif baik bagi penyelenggara pemilu, partai politik (parpol) peserta pemilu, hingga para calon anggota legislatif (caleg) yang akan ikut berkontestasi.
 
"Penyelenggara pemilu bisa lebih fokus tanpa terbayang-bayangi oleh perubahan sistem. Begitu pun parpol sebagai peserta pemilu akan lebih maksimal mempersiapkan langkah-langkah menuju pemilu 2024, termasuk para caleg," ujarnya.
 
PPP, kata dia, menghormati putusan MK yang konsisten dalam mendukung penerapan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009.

Menurut dia, sistem proporsional terbuka merupakan representasi pilihan rakyat terhadap wakilnya di parlemen.
"Selanjutnya adalah tugas memperkuat pelembagaan parpol kepada kader," ucap dia.

Sebelumnya, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
 
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis.
 
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
 
Menurut Mahkamah, tuturnya melanjutkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
 
"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra