Fenomena lempar anjing ke buaya serta perlunya mengasah empati

id lempar anjing hidup ke buaya,Pemuda lempar anjing hidup,anjing

Fenomena lempar anjing ke buaya serta perlunya mengasah empati

Ilustrasi. Seekor anjing di permukiman penduduk. ANTARA/Benny Jahang

Bondowoso (ANTARA) - Dunia media sosial dalam beberapa pekan ini ramai dengan adanya tingkah tiga anak muda (ditambah satu orang merekam video) melempar anjing hidup ke danau berisi buaya.

Perilaku pemuda itu dinilai sebagai sikap kejam, karena jika memang berniat memberi makan pada buaya, bukan dengan melempar anjing masih hidup.

Belakangan diketahui bahwa para pelaku adalah pekerja subkontraktor pada pengerjaan proyek PT Pertamina di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Karena itu, Menteri BUMN Erick Thohir marah melihat perilaku pekerja yang melanggar undang-undang itu.

Selain Menteri BUMN, aktivis pecinta satwa juga memberikan perhatian pada kasus ini dan mendukung para pihak agar para pelaku ditindak secara hukum.

Polres Nunukan kemudian menyelidiki dan menetapkan para pelaku sebagai tersangka setelah personel satuan reserse kriminal menggelar perkara.

Oleh polisi, para pelaku dijerat Pasal 302 KUHP dan atau Pasal 91 B ayat 1 juncto Pasal 66 A ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Meskipun telah berstatus sebagai tersangka, pelaku tidak ditahan oleh polisi. Dari hasil pemeriksaan terungkap, alasan melempar anjing itu karena pelaku kesal alias dendam pada si anjing yang telah memakan jatah katering untuk para pelaku. Anjing itu sebelumnya merupakan satwa peliharaan dari para pekerja itu.

Pentingnya empati

Kasus pelemparan anjing hidup ke sarang buaya yang sempat viral di media sosial itu menjadi pelajaran bersama serta menjadi pengingat bahwa kita harus menyayangi binatang.

Kasus itu, di satu sisi seolah-olah menunjukkan "kepedulian" pelaku kepada buaya yang membutuhkan makan. Hanya saja, tindakan yang keliru itu justru menunjukkan adanya sikap kejam terhadap anjing.

Bisa jadi, tindakan para pelaku itu menggambarkan ekspresi dari doktrin yang menancap di hati mereka bahwa anjing itu binatang najis. Namun jangan lupa juga banyak cerita hikmah yang dengan perantara anjing justru membawa keselamatan, bahkan hingga ke surga bagi seseorang yang menunjukkan kepedulian dan empati.

Cerita sufi mengabarkan ada seorang perempuan yang hidupnya banyak berbuat maksiat, namun semua dosanya diampuni oleh Allah hanya karena kepedulian si perempuan pada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan. Si perempuan kemudian memberi minum hingga si anjing terselamatkan nyawanya.

Kisah yang diabadikan dalam hadits oleh Bukhari itu menggambarkan bahwa dengan status anjing yang mengandung najis, bukan berarti kita bisa berbuat semena-mena kepadanya, apalagi berbuat kejam.

Kisah-kisah yang tidak terlalu masyhur banyak bertebaran di lingkungan Islam tradisional, yakni bagaimana seorang ulama alim tidak berani berbuat zalim pada binatang, meskipun pada seekor semut.

Misalnya, kisah seorang kiai alim di salah satu pesantren di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang rela meluangkan waktu dan tenaganya untuk mengembalikan seekor semut yang tersangkut di dalam mobilnya dalam suatu perjalanan.

Khodam atau pendamping kiai merasa heran ketika gurunya itu minta diantar kembali ke suatu tempat saat dalam perjalanan pulang sempat berhenti untuk buang hajat.

"Saya mau mengembalikan semut ini agar berkumpul kembali dengan keluarganya. Kalau punya anak, mungkin anaknya sedang bingung mencari ibunya," begitu pesan kiai pada si khodam.

Berkaca dari kasus pelemparan anjing ini, sifat empati perlu ditanamkan sejak dini kepada anak oleh lingkungan keluarga.

Terhadap anjing atau binatang lainnya, bahkan kepada tumbuhan juga, kita harus menunjukkan empati untuk tidak berbuat sesuka hati.

Hewan dan tumbuhan adalah sama-sama ciptaan Tuhan dan manusia diamanahi oleh Sang Pencipta untuk memeliharanya. Bukan malah menyiksa.

Di luar masalah empati yang melatih anak atau seseorang untuk berhati lembut, perbuatan semena-mena kepada binatang bisa memiliki konsekuensi hukum, yang selama ini mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Kalau saja, para pelempar anjing itu tahu dan sadar bahwa perbuatan kejam--bukan hanya kepada manusia--bisa berurusan dengan aparat penegak hukum, mungkin peristiwa itu tidak akan terjadi. Setidaknya, salah satu atau beberapa dari mereka akan mengingatkan atau mencegah agar peristiwa itu tidak terjadi, apalagi sampai direkam dalam bentuk video.

Karena itu tindakan kepolisian yang menyelidik dan menyidik kasus itu sekaligus memiliki manfaat ganda. Langkah Polres Nunukan itu, di satu untuk penegakan hukum, di sisi lain juga memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk tidak berbuat zalim kepada binatang. Binatang juga punya hak hidup dan kesejahteraan.

Andai saja polisi tidak melakukan tindakan hukum pada pelaku kasus ini, maka sebaran video pelemparan anjing menjadi semacam pelajaran yang menjadi massal bahwa setiap orang atau sekelompok orang bisa memperlakukan binatang dengan semena-mena. Karena itu, kalau banyak pihak mendorong agar pelakunya ditindak secara hukum, itu bukan sekadar aksi "balas dendam" kepada para pelaku.

Karena itu, publik berterima kasih kepada sejumlah pihak yang memberikan perhatian pada kasus ini, khususnya kepada aparat kepolisian di Polres Nunukan yang cepat bertindak, sehingga diharapkan kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang. Lewat perhatian Menteri BUMN dan tindakan kepolisian, ini menunjukkan bahwa negara hadir untuk menangani persoalan di masyarakat.