Surabaya (ANTARA) - Tanggal 19 September memiliki makna historis, yakni perobekan bendera merah-putih-biru (Belanda) di Surabaya (1945). Pada tanggal yang sama belasan tahun sebelumnya, yakni pada 1929, Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif NU berdiri di Semarang, Jawa Tengah.
Pada 18 September 1945 malam, warga Belanda tawanan Jepang di Hotel Yamato mengibarkan bendera triwarna Belanda di puncak menara hotel tersebut tanpa izin Pemerintah Kota Surabaya.
Pada 19 September 1945 pagi, sekitar 15 orang angkatan muda binaan Djohan Sjahroezah mendatangi hotel itu. Semakin lama, barisan kaum muda itu semakin banyak, hingga ratusan orang, menuntut penurunan bendera tersebut.
Wartawan senior LKBN ANTARA Boyke Soekapdjo mencatat kekerasan sempat terjadi setelah warga Belanda menolak menurunkan bendera itu, hingga berujung tewasnya W.V.Ch Ploegman, pemimpin kelompok itu.
Baku tembak terjadi dan sekelompok pemuda kemudian naik ke menara hotel tersebut, menurunkan Triwarna Belanda, merobek warna birunya dan menaikkan kembali merah-putih.
Awak ANTARA banyak berkiprah dalam perobekan bendera triwarna Belanda pada 19 September 1945 itu, bahkan menjadi sosok kunci dalam peristiwa itu.
Mereka adalah Abdoel Wahab Saleh, Djohan Sjahroezah, Soekarni, dan Loekitaningsih. Abdoel Wahab Saleh adalah jurufoto perekam kejadian itu.
Djohan Sjahroezah, adalah penggalang kekuatan di Surabaya atas dasar penugasan oleh Sjahrir, yang memperkirakan Belanda masuk Indonesia lewat Surabaya untuk kembali menjajah dengan membonceng Sekutu, yang akan melucuti balatentara Jepang.
Soekarni, wartawan, adalah pengirim pejuang ke Surabaya untuk membantu Djohan. Selain itu, Loekitaningsih adalah wartawan ANTARA dan ketua Pemuda Puteri, satu-satunya perempuan berpidato dalam rapat akbar di Tambaksari, Surabaya, pada 21 September 1945.
Sementara itu, 16 tahun sebelumnya, pada tanggal yang sama, yakni 19 September 1929, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan dalam Muktamar IV NU di Kota Semarang untuk mendirikan lembaga yang bertugas mengelola program pendidikan.
Melalui tiga tokoh NU, saat itu (1929) yakni KH Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur), KH Abdullah Ubaid dan KH Mahfudz Siddiq menerima perintah dari Rais Akbar Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari untuk menjelaskan inovasi pendidikan yang sudah dilakukan di Pesantren Tebuireng agar dikembangkan menjadi program jamiyah NU.
Pada tahun 1935, NU telah merintis pendidikan di luar pesantren, untuk memenuhi kebutuhan agar pendidikan keagamaan juga dapat diterima oleh masyarakat di luar pesantren. Inovasi pendidikan adalah model pendidikan swasta yang berbasis agama juga memiliki misi untuk membendung masyarakat dari budaya kolonial.
"Perobekan" kebodohan
LP Ma'arif NU berperan dalam "perobekan" kebodohan dan peran itu senada dengan pernyataan Kaisar Jepang saat Hiroshima dan Nagasaki dibumihanguskan. Kala itu, Kaisar Jepang bertanya, berapa jumlah guru yang meninggal dan yang masih selamat.
Kata Mendikbud Prof Dr Daoed Joesoef (2011), Kaisar Jepang tidak bertanya berapa jumlah tentara atau jenderal yang menjadi korban. Hal itu menunjukkan betapa tingginya kesadaran bangsa Jepang tentang pendidikan.
Peran LP Ma'arif NU itu, kata pegiat LP Ma'arif NU Jatim, Sunan Fanani, cukup panjang dengan pasang surut perjuangan dalam mengabdi untuk ikut mencerdaskan bangsa dan "merobek" kebodohan bangsa.
Artinya, sudah 94 tahun LP Maarif NU mengabdi untuk membangun akar insan yang cerdas, berjiwa tangguh serta berlandaskan agama bagi bangsa ini, melalui jalur pendidikan swasta yang mewadahi ribuan sekolah dan madrasah yang tersebar di seluruh Tanah Air.
Fungsi pendidikan itu mengemban perjuangan Nahdlatul Ulama dalam menjaga tradisi keagamaan melalui kaidah Al mukhafadlatu ‘ala qadimis al-shalih wa al-akhdzu bi al jadid al aslah (memelihara khazanah lama yang baik dan mengambil pembaharuan yang lebih baik).
LP Maarif NU memiliki tugas yang sangat berat dalam mewujudkan idealitas fungsi pendidikan NU, yakni menjamin pendidikan yang mengolaborasikan moralitas agama yang dibungkus ahlusunnah wal jamaah an Nahdliyah dan membentuk manusia yang pembelajar yang up to date (fi kulli zaman wa makan).
Apa yang dilakukan LP Ma'arif NU itu dinilai Guru Besar ITS Surabaya Prof. Dr. Mahmud Mustain sebagai embrio sinergi iman dan logika (akal) yang menjadi daya tarik tersendiri bagi saintis-saintis dunia.
Iman berfungsi membatasi keserakahan untuk menguasai sesama, sedangkan akal berfungsi merealisasi perjalanan revolosi saintifik. Sinergi Iman dan logika adalah suatu hal yang sangat besar dan tidak mudah, tetapi ada peluang untuk membuat rintisan ke arah sana.
Lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian yang berbasis agama, pondok pesantren, madrasah, dan PT berbasis agama, menjadi pusat sumber daya yang bisa mewakili basis iman, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian yang selama ini ada menjadi perwakilan dari basis logika.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2022 mencatat jumlah pesantren di negeri ini nyaris mencapai 36.000 unit, dengan jumlah santri 3,4 juta santri (Kemenag, April 2022), sedangkan jumlah PTN dan PTS adalah 3.107 buah, dengan jumlah mahasiswa hampir 8 juta yang persisnya 7.875.281.
Saat ini, embrio membangun saintifik baru harus segera dimulai dan pendidikan NU memiliki peluang besar untuk memulai dan memelopori gerakan revolusi saintifik ini.
Sebagaimana induknya, NU, yang telah menorehkan sejarah besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga mengisi kemerdekaan, LP Ma'arif juga telah membuktikan sebagai mitra pemerintah dalam ikut mencerdaskan bangsa.