Tokoh Islam moderat Sulteng: Agama bukan alat politik
Palu (ANTARA) - Tokoh Islam moderat Sulawesi Tengah, Profesor Sagaf S Pettalongi, mengemukakan, agama bukanlah alat atau media politik, sehingga tidak boleh dipolitisasi oleh siapapun dalam proses dan tahapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah 2024.
"Jangan jadikan agama sebagai alat untuk memuluskan kepentingan politik di pemilu dan pilkada 2024," kata Profesor Sagaf S Pettalongi, dihubungi dari Palu, Sulawesi Tengah, Kamis.
Pernyataan Pettalongi seiring dengan ada potensi penggunaan politik identitas oleh kelompok dan pihak tertentu pada pemilu 2024.
Pernyataan ini, sejalan dengan pernyataan pihak KPU Provinsi Sulawesi Tengah yang menyatakan bahwa politik identitas masih cenderung ada dan digunakan oleh oknum dan kelompok tertentu dalam kontestasi pada momentum pemilu dan pilkada.
KPU Sulteng menyebut politik identitas menjadi satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan serentak kepala daerah.
Pettalongi yang juga rektor UIN Datokarama mengajak tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju bertarung pada pemilihan legislatif DPRD tingkat kabupaten/kota, provinsi dan DPR-RI, agar mengedepankan politik gagasan membangun rakyat, bukan politik identitas.
Begitu pula, kepada para tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju bertarung pada pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten dan kota pada 2024, agar mengedepankan gagasan program membangun.
"Pemilu yang aman dan damai, menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan tanggung jawab masyarakat semata. Partai politik, politisi, pemerintah dan masyarakat harus bergandengan tangan, bahu membahu wujudkan hal ini," kata dia.
Guru besar sekaligus pakar manajemen pendidikan ini mengemukakan bahwa UIN Datokarama berkontribusi membangun politik santun, beretika, dan bermartabat yang tidak terjebak dalam praktik politik identitas.
Hal itu karena, politik identitas atau politisasi SARA berpotensi memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia mengemukakan momentum suksesi kepemimpinan, apalagi pemilu dilakukan serentak, sangat berpotensi dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menceraiberaikan anak bangsa. "Maka upaya mengedukasi masyarakat tentang pemilu demi mencegah masyarakat terpapar dari informasi hoaks dalam kepemiluaan dan politisasi SARA penting dilakukan dan digencarkan," ujarnya.
Ia juga mengimbau kepada umat beragama dari semua agama, agar bersatu padu mencegah politisasi SARA.
"Jangan jadikan agama sebagai alat untuk memuluskan kepentingan politik di pemilu dan pilkada 2024," kata Profesor Sagaf S Pettalongi, dihubungi dari Palu, Sulawesi Tengah, Kamis.
Pernyataan Pettalongi seiring dengan ada potensi penggunaan politik identitas oleh kelompok dan pihak tertentu pada pemilu 2024.
Pernyataan ini, sejalan dengan pernyataan pihak KPU Provinsi Sulawesi Tengah yang menyatakan bahwa politik identitas masih cenderung ada dan digunakan oleh oknum dan kelompok tertentu dalam kontestasi pada momentum pemilu dan pilkada.
KPU Sulteng menyebut politik identitas menjadi satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan serentak kepala daerah.
Pettalongi yang juga rektor UIN Datokarama mengajak tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju bertarung pada pemilihan legislatif DPRD tingkat kabupaten/kota, provinsi dan DPR-RI, agar mengedepankan politik gagasan membangun rakyat, bukan politik identitas.
Begitu pula, kepada para tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju bertarung pada pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten dan kota pada 2024, agar mengedepankan gagasan program membangun.
"Pemilu yang aman dan damai, menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan tanggung jawab masyarakat semata. Partai politik, politisi, pemerintah dan masyarakat harus bergandengan tangan, bahu membahu wujudkan hal ini," kata dia.
Guru besar sekaligus pakar manajemen pendidikan ini mengemukakan bahwa UIN Datokarama berkontribusi membangun politik santun, beretika, dan bermartabat yang tidak terjebak dalam praktik politik identitas.
Hal itu karena, politik identitas atau politisasi SARA berpotensi memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia mengemukakan momentum suksesi kepemimpinan, apalagi pemilu dilakukan serentak, sangat berpotensi dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menceraiberaikan anak bangsa. "Maka upaya mengedukasi masyarakat tentang pemilu demi mencegah masyarakat terpapar dari informasi hoaks dalam kepemiluaan dan politisasi SARA penting dilakukan dan digencarkan," ujarnya.
Ia juga mengimbau kepada umat beragama dari semua agama, agar bersatu padu mencegah politisasi SARA.