13 juta hektare lahan gambut rusak
Jakarta (ANTARA) - Tim Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyatakan saat ini sekitar 13 juta hektare lahan gambut yang ada dalam kondisi rusak.
"Jumlah yang rusak itu merupakan 50 persen dari total lahan gambut kita saat ini, 2,6 juta hektare," kata Kepala Kelompok Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, lahan gambut yang rusak tersebar di tujuh provinsi mulai dari Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, Riau, dan Sumatera Selatan.
Tim lapangan BRGM menemukan kerusakan lahan gambut di tujuh daerah tersebut yang paling umum disebabkan oleh kebakaran, dan aktivitas industrialisasi.
Industrialisasi yang dimaksud seperti perluasan perkebunan kelapa sawit yang membuat air di kawasan gambut semakin kering.
Selanjutnya ada beberapa faktor lain seperti pembukaan lahan budaya ladang berpindah, perambahan liar oleh kelompok masyarakat juga menjadi penyebab kerusakan lahan gambut, namun persentase yang ditemukan tim BRGM terbilang kecil.
Ia mengakui upaya restorasi gambut belum maksimal karena sebagian besar berada di dalam konsesi perusahaan. BRGM membutuhkan penguatan melalui pengaturan ulang beberapa regulasi untuk merestorasi lahan gambut tersebut.
Senada dengan itu, Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah mengungkapkan bahwa ekspansi perkebunan skala besar seringkali menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Hal demikian ditemukan misalnya seperti di Desa Lukun dan Temusai, Provinsi Riau, yang telah ada aktivitas perkebunan skala besar. Pembukaan lahan oleh perusahaan ini menyebabkan terjadinya perubahan hidrologi air di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Laely menyebutkan bahwa warga desa setempat pun mengakui ekosistem gambut yang telah mengalami perubahan menimbulkan kekeringan dan rawan terjadi kebakaran.
"Walaupun mungkin di sisi lain mereka menyebutkan bahwa sawit itu menguntungkan bagi mereka secara ekonomi," kata dia.*
"Jumlah yang rusak itu merupakan 50 persen dari total lahan gambut kita saat ini, 2,6 juta hektare," kata Kepala Kelompok Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, lahan gambut yang rusak tersebar di tujuh provinsi mulai dari Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, Riau, dan Sumatera Selatan.
Tim lapangan BRGM menemukan kerusakan lahan gambut di tujuh daerah tersebut yang paling umum disebabkan oleh kebakaran, dan aktivitas industrialisasi.
Industrialisasi yang dimaksud seperti perluasan perkebunan kelapa sawit yang membuat air di kawasan gambut semakin kering.
Selanjutnya ada beberapa faktor lain seperti pembukaan lahan budaya ladang berpindah, perambahan liar oleh kelompok masyarakat juga menjadi penyebab kerusakan lahan gambut, namun persentase yang ditemukan tim BRGM terbilang kecil.
Ia mengakui upaya restorasi gambut belum maksimal karena sebagian besar berada di dalam konsesi perusahaan. BRGM membutuhkan penguatan melalui pengaturan ulang beberapa regulasi untuk merestorasi lahan gambut tersebut.
Senada dengan itu, Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah mengungkapkan bahwa ekspansi perkebunan skala besar seringkali menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Hal demikian ditemukan misalnya seperti di Desa Lukun dan Temusai, Provinsi Riau, yang telah ada aktivitas perkebunan skala besar. Pembukaan lahan oleh perusahaan ini menyebabkan terjadinya perubahan hidrologi air di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Laely menyebutkan bahwa warga desa setempat pun mengakui ekosistem gambut yang telah mengalami perubahan menimbulkan kekeringan dan rawan terjadi kebakaran.
"Walaupun mungkin di sisi lain mereka menyebutkan bahwa sawit itu menguntungkan bagi mereka secara ekonomi," kata dia.*