BI dan Kemenko Marves luncurkan aplikasi Kalkulator Hijau

id BI,Kemenko Marves,Kalkulator Hijau,Emisi,Emisi Gas Rumah Kaca

BI dan Kemenko Marves luncurkan aplikasi Kalkulator Hijau

Deputi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti (kelima dari kanan), Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung (kelima dari kiri), dan pemangku kepentingan terkait foto bersama dalam acara Peluncuran Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 43 dan aplikasi Kalkulator Hijau di Gedung Kantor Pusat BI Jakarta, Rabu (2/10/2024). (ANTARA/Muhammad Baqir Idrus Alatas)

Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) meluncurkan aplikasi Kalkulator Hijau untuk mendukung upaya penghitungan dan pelaporan emisi Gas Rumah Kaca perbankan dan pelaku usaha.

“Selamat kepada seluruh pihak atas peluncuran pedoman dan aplikasi Kalkulator Hijau yang telah disusun atas inisiatif Bank Indonesia bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai national focal point dari NDC (Nationally Determined Contribution) atau target pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca), Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral), serta para pihak yang terlibat dalam tim panel,” ujar Deputi Kemenko Marves Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti di Gedung Kantor Pusat BI Jakarta, Rabu.

Transisi menuju ekonomi netral karbon (net zero emission) disebut membutuhkan peningkatan investasi hijau yang sebagian besar bersumber dari pembiayaan sektor keuangan.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pembiayaan publik ini diperkirakan hanya mampu mendukung sekitar 34 persen dari total kebutuhan investasi berkelanjutan sebesar 280 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk mencapai target yang sudah ditetapkan dalam NDC tahun 2030.

Saat ini, pemerintah sedang menyusun Second NDC sebagai upaya Indonesia meningkatkan komitmen mengatasi dampak perubahan iklim global yang diharapkan dapat selesai pada Februari 2025.

Pembahasan di Second NDC yang masih digodok telah memasuki tahap finalisasi dan sudah melalui proses konsultasi publik.



Prioritas ditekankan antara lain terkait target volume pengurangan dan penguatan adaptasi maupun mitigasi emisi GRK melalui sektor industri, energi, limbah, pertanian, serta tambahan sektor baru, yaitu kelautan.

Ini berarti akan ada peningkatan kebutuhan anggaran, sehingga diperlukan berbagai inovasi guna mengurangi gap pendanaan tersebut.

Dalam menutup kekurangan pembiayaan, kebijakan keberlanjutan menjadi kunci mendorong pembiayaan transisi dan mengatasi perubahan iklim, terutama di negara berkembang.

Melalui koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko Marves, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan strategi pembiayaan campuran (blended finance) dalam bentuk organisasi internasional baru yang dikenal dengan Global Blended Finance Alliance (GBFA) G20 Bali.

Hasil dari Article of Agremeent (AoA) terkait GBFA G20 yang telah disepakati di New York, AS, diharapkan dapat diresmikan sebelum penyelenggaraan COP29 (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) di Baku, Azerbaijan.

Upaya ini merupakan bentuk dukungan pembiayaan transisi guna memitigasi risiko sistemik dari perubahan iklim yang semakin nyata.

“Kita lihat di Indonesia juga dampaknya nyata perubahan pergeseran musim dan sebagainya, dan kalau kita yang baru-baru ini di Brasil ada kebakaran hutan yang sangat luas, sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya 40 tahun terakhir,” ucapnya.

Terkait hal tersebut, berdasarkan penerapan strategi kebijakan dan program keuangan berkelanjutan yang menjadi mandat BI dan Kemenkeu, bank harus meningkatkan porsi pembiayaan rendah emisi dan menurunkan tingkat emisi dari kredit yang diberikan bank.

Laporan keberlanjutan yang berisi informasi tentang emisi karbon debitur disebut dapat menjadi pertimbangan dalam pemberian pembiayaan di masa mendatang.

Karena itu, BI dan Kemenko Marves meluncurkan aplikasi Kalkulator Hijau yang diharapkan menjadi salah satu media perhitungan dan pemantauan emisi karbon untuk sektor industri dalam upaya menuju perbankan hijau, mendorong partisipasi dari industri perbankan guna berkontribusi mencapai target penurunan emisi GRK sesuai komitmen nasional, dan meningkatkan kualitas penyusunan laporan tahunan perusahaan yang selaras dengan International Financial Reporting Standard (IFRS) terkait Sustainability Reporting Standard.

Metodologi yang digunakan untuk menghitung dari Kalkulator Hijau sudah dikonsultasikan dan disetujui oleh KLHK. Kalkulator Hijau versi pertama ini bisa dikembangkan (update) ke versi berikutnya seiring perubahan teknologi dan zaman.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Juda Agung menegaskan bahwa aplikasi Kalkulator Hijau memiliki standar pengukuran emisi karbon guna menghitung jejak karbon.

Tujuan dari pembentukan aplikasi tersebut yaitu memantau tingkat kehijauan dari sebuah aktivitas ekonomi dan tingkat keberhasilan menuju ekonomi hijau.

Kalkulator Hijau diharapkan memberikan kemudahan bagi perbankan dan dunia usaha dalam pemenuhan kebutuhan pelaporan (disclosure) yang sudah mulai dipersyaratkan oleh regulator dan pasar keuangan global.

Dengan adanya disclosure, maka Kalkulator Hijau dinilai dapat membuka akses lebih luas kepada investasi dan pendanaan hijau dari perbankan maupun dari pasar keuangan global.

“Kami berharap kalkulator hijau ini tidak hanya berfungsi sebagai pengukur, tetapi juga sebagai katalis untuk mendorong pengurangan emisi karbon di Indonesia. Ini adalah living tools, versi awal dari Kalkulator Hijau yang mengukur scope 1 (emisi yang muncul langsung dari perusahaan sekaligus entitas yang berada di bawah perusahaan tersebut) dan scope 2 (emisi dari pembangkit energi yang dibeli penyedia utilitas secara tidak langsung),” ungkap Juda Agung.

“Ke depannya, ruang lingkup akan terus diperluas mencakup seluruh aktivitas penghasil emisi secara indirect. Semua aktivitas tentu saja menghasilkan sebuah emisi yang perhitungannya lebih kompleks. Untuk pertama ini scope 1 dan scope 2, scope 3-nya (emisi dari operasi bisnis oleh sumber-sumber yang tidak secara langsung dimiliki atau dikendalikan oleh suatu organisasi, seperti rantai pasokan, transportasi, penggunaan produk, atau pembuangan) akan segera akan dikembangkan,” kata dia.