Sigi, Sulteng (ANTARA) - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengajak pemerintah desa (Pemdes) di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk bersama-sama berperan aktif dalam pembangunan, baik di daerah maupun secara nasional.
Direktur Pengawasan Deputi Akuntan Negara BPKP, Indra Khaira Jaya mengatakan setiap desa harus menerapkan dua hal agar dapat membangun daerah, yakni berbasis gotong royong dan tata kelola.
"Desa merupakan ujung tombak pembangunan nasional dan desa berperan penting dalam membangun fondasi sosio-ekonomi serta budaya bangsa," kata Indra saat menjadi pemateri workshop evaluasi pengelolaan keuangan dan pembangunan desa di Kabupaten Sigi, Sabtu.
Ia mengemukakan peran desa dalam pembangunan cukup penting, yakni penyokong ketahanan pangan, sebab mayoritas produksi pangan, seperti beras, jagung, sayuran hingga buah-buahan berasal dari sektor pertanian di pedesaan.
"Jadi, juga ada peran lainnya, seperti sumber desa menyediakan sebagian besar tenaga kerja produktif yang dibutuhkan berbagai sektor, baik pertanian, industri maupun jasa serta menjadi penjaga tradisi, adat istiadat dan kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa dan unit pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat," ucapnya.
Ia menuturkan pemerintah pusat selalu memberikan perhatian dan dukungan bagi desa-desa melalui berbagai kegiatan, seperti program dana desa, program keluarga harapan, bantuan pangan nontunai, air bersih dan sanitasi, bantuan langsung tunai, dan jaminan kesehatan.
"Tapi, hasil pengawasan BPKP menunjukkan masih banyak permasalahan di desa karena lemahnya tata kelola, sehingga banyak terjadi penyimpangan keuangan desa," sebutnya.
Berdasarkan data BPKP, sejak tahun 2019 hingga 2023 hasil pengawasan BPKP atas 889 desa mendapati penyimpangan keuangan desa dengan jumlah temuan 1.155 kejadian yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp339 miliar.
"Ini penyebabnya, salah satunya perencanaan desa tidak memadai dan tanpa roadmap capaian yang jelas serta tidak selaras dengan perencanaan pemerintah daerah, bahkan keterlambatan perencanaan dan penganggaran desa serta Musdes atau Musrenbang desa tidak memadai," katanya.
Menurut dia, tingginya belanja aparatur desa dan operasional desa pada bidang pemberdayaan masyarakat belum menjadi fokus Pemdes serta pelaporan dan penatausahaan tidak tertib, sehingga masih menjadi masalah di setiap desa.
"Hal paling penting adanya praktik pengadaan barang dan jasa (PBJ) tidak sesuai ketentuan, hasil evaluasi secara sampel pada 2.077 paket kegiatan di 660 desa menunjukkan 1.914 kegiatan atau 93 persen memiliki permasalahan dalam proses pengadaan barang dan jasa," ujarnya.