Jakarta (ANTARA) - Dari tahun ke tahun, posisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam konteks pertahanan, semakin menguat. Indeks Global Fire Power, mencatat posisi Indonesia secara perlahan terus merangkak naik dari posisi 16 pada 2020 ke posisi 13 pada 2025 (GFP 2025).
Kekuatan militer Indonesia berada pada posisi teratas di antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia unggul dalam main power, alutsista dan anggaran yang terus meningkat.
Inisiasi untuk membangun industri pertahanan nasional sejak 2010 telah menghasilkan kepercayaan internasional terhadap kapasitas dan kapabilitas industri pertahanan dalam negeri.
Keseriusan Presiden Prabowo dalam mengawal Minimum Essential Force (MEF) pada dekade terakhir, kini terlihat buahnya. Alutsista yang dimiliki TNI mengalami peningkatan dari segi jumlah, keberagaman, dan kemampuan.
Di matra darat, TNI memiliki Tank Medium Harimau, produk besutan dalam negeri kerjasama dengan Turki serta sejumlah Kendaraan Ringan Strategis (Rantis). Ditambah dengan kapabilitas produksi persenjataan kelas ringan dan menengah dalam negeri TNI semakin meningkatkan kesiagaannya.
Sebanyak 42 unit Rafale (realisasi 6 unit tahun 2025) yang didatangkan dari Prancis secara signifikan meningkatkan kapabilitas manuver udara kita. Pesawat ini modern, dengan menggunakan teknologi generasi terbaru. Dengan pesawat ini, TNI sejajar dengan Prancis, India dan Qatar.
Di laut tak kalah menonjol. Scorpène-Class Submarine, kapal selam berdaya tahan tinggi memperkuat penguasaan laut dalam Indonesia, khususnya di kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan sejumlah perairan strategis nasional. Ditambah dengan Fregat SIGMA 10514, dukungan untuk pertempuran laut semakin kuat.
Peningkatan kekuatan ini sebagai sebuah capaian yang patut untuk diapresiasi. Tentu saja, perkembangan zaman dan dinamika lingkungan strategis selalu menghadirkan tantangan yang harus dapat dijawab secara akurat dan penuh dengan keseriusan.
Berbagai persenjataan yang didatangkan dari berbagai negara menimbulkan tantangan baru. Selain transfer teknologi, transfer pengetahuan, dan transfer keahlian yang merupakan paket tak terpisahkan dari pembelian paket alutsista, ada hal lain yang seringkali memperoleh porsi paling terakhir, yaitu interoperabilitas.
Setiap produsen persenjataan, terlebih yang berteknologi tinggi, mengembangkan sistem operasinya sendiri. Alasan kerahasiaan dan keamanan menjadi faktor penentunya. Sangat kecil kemungkinan produsen alutsista menggunakan platform yang umum digunakan karena rawan dibajak dan disabotase.
Jika pembelian itu dari satu negara, masalah interoperabilitas kemungkinan besar dapat diatasi. Masalahnya, sejumlah alutsista dengan teknologi tinggi tersebut berasal dari banyak negara dan lintas matra. Inilah yang perlu menjadi perhatian serius.
Akan sangat sulit membangun interoperabilitas sistem operasi antara jet tempur Rafale (Prancis) dengan Sukhoi (Rusia) atau F-16 (Amerika Serikat). Sementara negara-negara tersebut, di luar sana sedang berperang di wilayah perang proksi Rusia-Ukraina. Membuka secara keseluruhan sistem operasinya adalah membuka lebar kebocoran sistem, yang berarti mengirimkan informasi ke pihak lawan.
Perbedaan standar protokol data dan algoritma digital dalam alutsista teknologi tinggi berpotensi menyebabkan terjadinya salah komando di lapangan. Ini terjadi karena ketidakcocokan sistem Komando (Command), Kendali (Control), Komunikasi (Communications), Komputer (Computers), Intelijen (Intelligence), Pengawasan (Surveillance), dan Pengintaian (Reconnaissance) atau dikenal dengan C4ISR antara beberapa jenis alutsista.
Interoperabilitas yang rendah telah terbukti menjadi penyebab utama kegagalan operasi militer di berbagai belahan dunia. Salah satu contoh paling nyata adalah insiden “friendly fire” dalam Perang Teluk 1991, di mana pesawat A-10 Thunderbolt milik Amerika Serikat secara tidak sengaja menembaki kendaraan tempur pasukan Inggris karena sistem IFF (Identification Friend or Foe) yang mengidentifikasi kawan atau lawan tidak kompatibel. Akibatnya, sembilan tentara Inggris tewas dalam serangan tersebut.
Contoh lainnya dapat dilihat dari perang Lebanon 2006, ketika militer Israel gagal menyelaraskan operasi antara pasukan darat dan udara karena sistem komunikasi yang tidak terintegrasi, menyebabkan serangan udara tidak efektif dan hampir mengenai pasukan sendiri.
Insiden pengeboman Kedutaan Besar China oleh NATO pada tahun 1999 di Beograd, Serbia merupakan dampak ketidakcocokan data peta dan sistem navigasi antar unit koalisi NATO.; Pada 2011, pasukan NATO secara tidak sengaja menyerang pos militer Pakistan karena kegagalan dalam berbagi informasi posisi secara real-time. Insiden ini menewaskan 24 tentara sekutu dan memicu krisis hubungan antara Pakistan dan NATO.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi peperangan modern yang sangat bergantung pada kecepatan informasi dan koordinasi lintas satuan, interoperabilitas bukan hanya soal teknis, melainkan menyangkut nyawa manusia, keberhasilan misi, serta hubungan diplomatik antar negara.
Bagi Indonesia, sebagaimana konteks perbedaan asal negara pembelian alutsista tersebut di atas, tantangan interoperabilitas sangat relevan dan mendesak untuk diselesaikan. Tanpa sistem komando dan kendali yang mampu menjembatani perbedaan platform, TNI berisiko mengalami disintegrasi dalam operasi gabungan, baik pada level nasional antar matra (AD, AL, AU), maupun dalam kerja sama internasional.
Pendekatan komprehensif yang mencakup aspek teknologi, kebijakan, sumber daya manusia, serta doktrin dan organisasi militer perlu diupayakan untuk mengatasi persoalan ini.
Pertama, pengembangkan sistem C4ISR nasional yang bersifat mandiri dan terintegrasi. Sistem ini berperan sebagai penghubung antar platform militer yang berbeda, seperti pesawat tempur, kapal perang, dan sistem pertahanan udara, sehingga memungkinkan pertukaran data secara real-time meskipun berasal dari negara produsen yang berbeda.
Industri pertahanan dalam negeri memperoleh porsi yang besar dalam hal ini. Karena pengembangan sistem, standar, protokol data, dan protokol komando dilakukan instalasi pada saat alutsista tersebut diproduksi. Tentu saja, TNI adalah motor utama untuk menentukan standarisasinya sebagai pengguna alutsista.
Kedua, Indonesia perlu menerapkan kebijakan standarisasi dalam proses akuisisi alutsista, dengan berfokus pada satu blok teknologi utama. Bisa dengan mengikuti standar protokol teknologi aliansi NATO, protokol blok Timur, protokol China, protokol Korea, atau pengembangan protokol sendiri. Hal ini penting agar sistem komunikasi, persenjataan, dan logistik dapat saling terhubung dan meminimalkan biaya integrasi. Setiap pembelian alutsista juga harus mempertimbangkan sejauh mana sistem tersebut dapat diintegrasikan dengan platform yang sudah dimiliki.
Ketiga, penguatan sumber daya manusia dan industri pertahanan nasional. Ini mencakup peningkatan kapasitas personel TNI dan tenaga ahli dalam bidang teknologi militer, komunikasi tempur, dan rekayasa sistem informasi. Selain itu, industri lokal harus dilibatkan dalam proses integrasi sistem melalui pengembangan subsistem seperti data-link, enkripsi militer, serta perangkat lunak penghubung antar alutsista.
Keempat, dari sisi organisasi dan doktrin, Indonesia perlu mereformasi struktur komando dan menyusun doktrin operasi gabungan yang lebih solid. Doktrin ini mengatur secara jelas bagaimana matra darat, laut, dan udara beroperasi secara terpadu dalam berbagai skenario tempur.
Visi Asta Cita terkait pertahanan, tak hanya menyebut TNI sebagai basis untuk membangun pertahanan nasional. Ada aspek pangan, energi dan ekonomi sebagai pendukung mewujudkan pertahanan terintegrasi. Peran utama TNI adalah menjaga iklim yang kondusif dengan cara menghalau segala ancaman pertahanan agar program-program pertahanan nasional terintegratif sebagaimana dirumuskan dalam Asta Cita dapat dilaksanakan dalam situasi damai dan selamat.
Meningkatnya kemampuan TNI berperan penting sebagai diplomasi yang dapat menimbulkan deterrence effect (efek jera) bagi musuh-musuh di luar sana. Memperkuat interoperabilitas sama halnya dengan menutup berbagai kemungkinan yang dapat digunakan oleh musuh-musuh negeri untuk melakukan serangan dan mengacaukan komando.
Dus, pada akhirnya peningkatan kekuatan militer dikolaborasikan dengan berbagai potensi sumberdaya dalam negeri, disinergikan dengan berbagai aktor negara dan non negara, adalah modal utama untuk mensukseskan Asta Cita guna mewujudkan Indonesia Emas 2045. Selamat HUT TNI ke-80, terus tingkatkan kekuatan pertahanan!.
*) Ngasiman Djoyonegoro, Analis Pertahanan, Keamanan dan Intelijen)