Haji Bintoro, miliuner dari kawasan perkebunan sawit Astra Agro

id astra,sawit,bintoro

Haji Bintoro, miliuner dari kawasan perkebunan sawit Astra Agro

Haji Bintoro alias Ahmad Sutriman (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Nama aslinya Ahmad Sutriman. Namun, warga setempat mengenalnya dengan nama Haji Bintoro.

Ia kini dikenal luas di wilayah perkebunan kelapa sawit, Kabupaten Pasangkayu (Sulawesi Barat) dan Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) karena selain kaya raya, dia adalah perantau sukses dari Jawa yang memiliki kepedulian sosial cukup tinggi.

Dibutuhkan waktu sekitar 90 menit dengan mobil dari Kota Pasangkayu, ibu kota Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, untuk tiba di kediaman Haji Bintoro, di Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, yang cukup besar itu.

Sebetulnya, jarak perjalanan hanya sekitar 30 kilometer. Namun sebagian besar badan jalan berlubang-lubang dengan melintasi kawasan perkebuhan sawit yang produktif milik Astra Agro Lestari (AAL).

Di teras rumahnya yang sekaligus menjadi toko bahan bangunan itu, lelaki kelahiran Demak, Jawa Tengah, 53 tahun lalu tersebut menceriterakan suka-duka keluarganya sejak menginjakkan kaki di kawasan yang dahulu bernama Lalundu tersebut.

Ayah tiga anak dan dua cucu dari seorang istri ini memang cukup kaya. Namun dia enggan untuk menceriterakan kekayaannya saat ini.

Di garasi mobilnya yang berukuran sekitar 15x5 meter, misalnya, terparkir sebuah mobil jenis Toyota Fortuner, sebuah Toyota Rush jenis terbaru 2018, sebuah truk, sebuah mobil pick-up ukuran kecil, tumpukan besi beton yang cukup banyak, dan ratusan karung pupuk.

"Saya memang punya dua mobil truk lagi selain yang di garasi ini. Kalau kebun sawit, saat ini kami punya 30 hektare," ujar Bintoro setelah sedikit dipaksa untuk menyebutkan.

Kehidupannya yang berkecukupan secara ekonomi itu semuanya berkat hasil kebun sawit, yang mulai dibangunnya saat PT AAL mulai membuka perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu dan Donggala 2004.

"Sebelumnya, saya ini berkebun kakao. Namun ketika perkebunan kelapa sawit masuk, saya ganti seluruh tanaman saya dengan sawit karena PT Astra saat itu memberikan bantuan bibit sawit lewat program Income Generating Activity (IGA)," ujar perantau asal Demak, Jateng itu.

PT Mamuang, salah anak perusahaan AAL waktu itu, membagi-bagikan bibit kepada warga yang berminat menanam sawit dan harganya akan dikembalikan secara mengansur ke perusahaan melalui pemotongan harga pembelian tandan buah segar (TBS) setelah kebun itu berbuah.

Baca juga: Astra Agro kembali raih penghargaan CSR terbaik

Awalnya, Haji Bintoro hanya memiliki dua hektare kebun cokelat. Namun, kemudian lahan itu terus bertambah hingga saat ini menjadi 30 hektare setelah secara bertahap membeli lahan-lahan penduduk eks transmigrasi Lalundu, Kabupaten Donggala, yang kembali ke daerah asal mereka di Jawa.

"Semua lahan itu kini menjadi kebun sawit. Hasil panennya setiap tahun rata-rata Rp1 miliar. Untuk mengolah dan memelihara kebun tersebut, saya mengeluarkan biaya sekitar Rp30 juta setiap bulan," ujarnya kepada dua jurnalis yang didampingi Manager Eksternal Relation PT AAL Mohamad Husni dan Buchori, seorang staf PT Mamuang pada Selasa (17/4).
         
Haji Bintoro alias Ahmad Sutriman (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Dagang alat sepeda
    
Ahmad Sutriman yang sehari-hari menjadi pedagang alat sepeda ontel di daerahnya di Kabupaten Demak, menginjakkan kakinya di daerah transmigrasi Lalundu, yang kini menjadi desa definitif bernama Polanto Jaya pada 1994.

"Saya bukan transmigran. Saya datang sendiri ke sini untuk berdagang alat sepeda dengan naik kapal kayu dari Kota Palu ke Mamuju, lalu berjalan kaki ke sini melewati hutan yang saat itu sedang dikembangkan menjadi kawasan permukiman transmigrasi," ujar lelaki yang mengaku memiliki rumah di kampung halamannya di Demak dan juga di Kota Palu itu.

Dengan sedikit modal dari daerah asal, Sutriman kemudian membuka kios kecil yang dia beri nama Kios Bintoro. Di sinilah awal ketenarannya dengan nama Bintoro, hingga kemudian masyarakat tidak mengenal lagi nama aslinya.

Baca juga: Putri binaan Astra Agro raih emas Kejurnas Inkado

Dahulu, kata lelaki yang menunaikan ibadah haji 8 tahun lalu itu, wilayah Lalundu itu sangat sulit. Sedikit saja hujan, wilayah ini akan tertimpa banjir dan genangan air bisa berhari-hari baru surut. Akibatnya, banyak transmigran tidak mampu bertahan, lalu kembali ke daerah asal dengan menjual murah lahan dan rumah mereka.

Namun, setelah perkebunan Astra Agro Lestari masuk, kondisi mulai berubah dan makin baik. Jalan raya mulai terbuka meski belum beraspal, saluran air dibangun sehingga banjir tidak lagi menjadi momok bagi masyarakat.

Sampai sekarang pun, kata Ketua Kelompok Tani Sawit di Kecamatan Rio Pakava itu, kondisi masyarakat sebenarnya masih cukup sulit. Jalan raya menuju ke sini masih berat karena berlubang-lubang dan belum sepotong pun yang beraspal.

"Listrik PLN saja baru 2 bulan ini bisa menjangkau daerah kami. Begitu pula, jaringan telepon seluler, baru sekitar sebulan lalu bisa kami nikmati," ujar Haji Bintoro, pengelola Pondok Pesantren dengan santri ratusan orang mulai dari tingkat sanawiah (tingkat menengah pertama) sampai aliah (tingkat pendidikan menengah atas) itu.
 
Areal perkebunan kelapa sawit milik PT. Mamuang, salah satu perusahaan milik Astra Agro Lestari Group di Kabupaten Donggala, Sulteng yang baru ditanami. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Ketika ditanya apa rahasia suksesnya di daerah yang sulit dan terpencil selama bertahun-tahun tanpa listrik dan telepon itu, Haji Bintoro menjawab singkat, "Tidak melalaikan salat, bekerja keras, dan peduli orang lain."

Bersama seorang istri dan dua anaknya yang sudah sarjana serta satu anak lagi yang kuliah di Kota Palu, Haji Bintoro mengaku setiap tahun bisa pulang kampung menengok orang tua dan keluarga di Jawa dan hampir setiap bulan menggelar silaturahmi dngan keluarga yang tinggal di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah.  

Baca juga: PT.Pasangkayu gelar 'Gema Pena' untuk cerdaskan anak bangsa

Meski tampak begitu bahagia, Haji Bintoro yang kini merintis usaha sarang burung walet itu mengaku bahwa kesuksesannya saat ini masih kalah dengan warga lain di kawasan itu.

"Masih banyak yang lebih sukses daripada saya di daerah ini," ujarnya merendah.

Ia mengaku tidak berambisi besar untuk menambah kekayaannya selain memajukan pondok pesantren yang dibangunnya sejak beberapa tahun lalu agar lebih baik lagi untuk menampung anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Lelaki yang sudah dua kali menunaikan ibadah umrah itu mengaku sangat berterima kasih atas kehadiran perkebunan sawit Astra Agro Lestari Group karena kondisi kesejahteraan masyarakat berubah sangat drastis. 

"Semua warga yang memiliki kebun sawit di sini, pasti sudah punya rumah yang layak dan kendaraan bermotor, bahkan banyak yang punya mobil," katanya.

Baca juga: Siswa Binaan Astra Agro Juara LPSN Tingkat Nasional

Manajer Eksternal Relation AAL Group Moh. Husni mengaku bangga atas sukses yang diraih Haji Bintoro serta banyak warga lainnya di Kabupaten Pasangkayu dan Donggala setelah kehadiran perkebunan dan industri kelapa sawit AAL.

"Ini memang tujuan utama perusahaan kami seperti yang termaktub dalam moto perusahaan 'proper with the nation' (sejahtera bersama rakyat)," ucapnya.

Dari segi ekonomi, Astra Agro Lestari mengeluarkan dana rata-rata Rp50 miliar setiap bulan untuk membeli produksi kelapa sawit rakyat di Kabupaten Pasangkayu dan Donggala untuk memasok dua pabrik CPO dan sebuah pabrik minyak goreng yang sudah berdiri di kawasan itu.

AAL Group sendiri memiliki enam anak perusahaan yang membangun perkebunan sawit dan industri CPO di Pasangkayu dan Donggala dengan total areal sekitar 30-an ribu hektare. 
 
Kapal-kapal tangker minyak sawit (CPO) antre menunggu pengisian CPO untuk diekspor langsung ke negara tujuan dari Pelabuhan Khusus milik AAL Group di Pasangkayu, Selasa (17/2) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)