Gong Perdamaian Nusantara Menggema Di Palu

id gong

Gong Perdamaian Nusantara Menggema Di Palu

Sejumlah aparat mengawal Gong Perdamaian Nusantara yang dikirab di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (10/3). Gong Perdamaian Nusantara ke-empat yang sebelumnya sudah dipasang di Jogjakarta, Kupang dan Bengkulu itu akan dipasang di tugu perdamaian bukit Tondo, Palu sebagai salah satu simbolisasi perdamaia

Palu,  (antarasulteng.com) - Pada awal Maret 2014, tawuran antarkampung berkecamuk di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Satu orang tewas akibat kejadian itu.

Peristiwa itu adalah buntut dari beberapa tawuran antarkampung sebelumnya yang dipicu masalah sepele. Kondisi itu diperkeruh adanya pengaruh minuman keras yang merasuki pelaku tawuran.

Berbagai upaya pemerintah dan pihak keamanan keamanan setempat dilakukan untuk meredakan dan menenangkan warga agar tidak terjadi bentrok susulan.

Pada Senin sore (10/3), sebuah gong ukuran raksasa diarak keliling Kota Palu. Gong berdiameter dua meter yang melambangkan perdamaian itu diarak menggunakan kendaraan terbuka melewati sejumlah daerah yang kerap terjadi bentrok antarkampung di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini.

Daerah yang sering dilanda tawuran itu antara lain perbatasan Kelurahan Nunu dan Kelurahan Tavanjuka, perbatasan Kelurahan Duyu dan Kelurahan Pengawu, serta perbatasan Kelurahan Tatanga dan Kelurahan Palupi.

Deputi Bidang Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Anggit Purnomo Adi dalam acara itu berharap kirab gong tersebut mampu menjaga perdamaian serta kerukunan di Kota Palu dan sekitarnya.

Dia mengatakan, semua warga dunia pada hakikatnya adalah satu kesatuan. "Kita menghirup udara dan minum air yang sama. Kita juga akan mati di bumi yang sama," kata Anggit.

Menurutnya, semua penduduk di dunia ini merindukan hal yang sama, yakni perdamaian.

Dia juga mengatakan, gong perdamaian berwarna kuning keemasan itu menjadi simbol kedamaian dunia yang bisa memberikan motivasi warga untuk saling mencintai dan saling mengikat semua elemen bangsa.

Gong perdamaian di Kota Palu tersebut adalah yang ke empat yang ada di Indonesia. Gong serupa sebelumnya ada di Yogyakarta, Kupang, dan Singkawang.

"Satu gong perdamaian di Bangka Belitung sedang dalam proses penyelesaian," katanya.

Pembuatan gong perdamaian itu diprakarsai oleh Dewa Parsana, mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah yang saat ini menjadi Ketua Pembina Yayasan Peduli Perdamaian.

Pada lingkaran luar gong perdamaian dunia itu terdapat 444 logo dan nama kabupaten dan kota di Indonesia. Sementara di lingkaran dalam juga terdapat 33 nama dan logo provinsi di Tanah Air.

Pada bagian tengah gong juga terdapat simbol lima agama di Indonesia dan gambar bungga yang melambangkan perdamaian.

Gong Perdamaian Nusantara itu akhirnya dipasang di Bukit Tondo Kota Palu. Di tempat itu juga dibangun tugu perdamaian "Nosarara Nosabatutu" atau Bersama Kita Satu.

Sejarah gong

Diciptakannya Gong Perdamaian Nusantara itu berawal dari ide Presiden Komite Perdamaian Dunia Djuyoto Suntani pada awal 2000.

Dia merasa prihatin dengan kondisi Indonesia, tanah tumpah darahnya, yang sering terjadi keributan dan dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan negara.

Ia mengingatkan pada sejarah runtuhnya kerajaan Sriwijaya setelah menguasai Nusantara selama ratusan tahun. Proses runtuhnya kerajaan itu membutuhkan waktu sekitar 70 tahun setelah berdiri pada abad keenam.

Tujuh abad setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya, terbentuklah kerajaan besar lainnya yakni Majapahit pada tahun 1293. Wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Jawa Timur ini menyerupai cakupan Indonesia sekarang.

Proses runtuhnya kerajaan Majapahit diperkirakan juga mencapai 70 tahun, tepatnya pada 1527. Majapahit akhirnya pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Tujuh abad setelah terbentuk kerajaan Majapahit, lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945.

Djuyoto Suntani khawatir setelah 70 tahun merdeka atau tepatnya pada 2015, Indonesia akan dideru perpecahan, mengingat tahun sebelumnya dikenal sebagai tahun politik yang terdapat Pemilihan Umum.

"Saat ini pemekaran ada di mana-mana. Jangan sampai ada pemekaran negara," katanya.

Kajian itu pernah ditulis Djuyoto Suntani ke dalam sebuah buku berjudul Tahun 2015 Indonesia "Pecah" yang dicetak 10 ribu eksemplar dan dibagikan kepada masyarakat. Tujuannya pembagian buku itu untuk memberikan peringatan dan kewaspadaan masyarakat agar tetap teguh menjaga keutuhan NKRI.

Penulisan buku itu dilakukan secara cermat dengan memperhatikan siklus alam, peranan konspirasi jaringan internasional, fenomena alam, sejarah politik Nusantara, telaah ilmiah, hingga rumusan rumit prediksi spiritual.

Olehnya, dia Djuyoto berharap semua ego-ego manusia diakomodir di Gong Perdamaian Nusantara. "Membangun negara haruslah dengan hati, bukan dengan kekuasaan," katanya.

Pada 2010, mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Dewa Parsana mempunyai gagasan untuk membuat Gong Perdamaian Nusantara yang ke empat untuk ditempatkan di Kota Palu.

Gong tersebut dibuat di lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, yang merupakan tempat bersejarah para wali penyebar agama Islam untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa.

Setelah selesai, gong tersebut dijemput ke Palu oleh Wakapolri saat itu Komjen Pol Nanan Sukarno didampingi Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudarto, Presiden Komite Perdamaian Dunia Djuyoto Suntani dan Kapolda Sulawesi Tengah kala itu Brigjen Pol Dewa Parsana.

Sebelum dibawa ke Palu, gong seberat lebih 100 kg itu singgah di sejumlah kota di Pulau Jawa dengan harapan segala perbedaan bisa terikat dalam satu kesatuan.

Kini Gong Perdamaian Nusantara itu telah dipasang di Kota Palu. Gong tersebut juga telah ditabuh dan diharapkan gemanya memancarkan semangat perdamaian. "Dari Kota Palu semangat perdamaian semoga bisa terpancar ke seluruh Nusantara," kata Djuyoto berharap. (skd)