Kota Palu (ANTARA) - Buaya muara yang terjerat ban motor bekas di Sungai Palu, Sulawesi Tengah, akhirnya bisa diselamatkan. Ban itu dilepas dengan cara dipotong menggunakan gergaji setelah buaya berhasil dijerat oleh Tili warga Kota Palu pada Senin, 7 Februari 2022.
Dalam waktu tiga minggu, Tili, “sang penyelamat”, beraksi dalam senyap. Cerita operasi penyelamat yang dilakukan Tili menyebar hingga ke berbagai belahan dunia, lewat platform media sosial maupun media mainstream seperti Reuters.
Jeratan ban itu telah melingkar di leher buaya sejak tahun 2016 silam. Ukuran buaya itu terus membesar hingga diperkirakan mencapai 5 meter.
Tili sendiri sudah merencanakan penangkapan ini sejak tiga minggu sebelumnya.
Dalam ceritanya, pria 35 tahun ini awalnya tak mengetahui pasti perihal adanya buaya yang terjerat ban sepeda motor di Palu. Sekadar hanya mendengarkan dari mulut ke mulut, lalu kemudian mendatangi langsung ke tepian sungai Palu yang kerap menjadi tempat munculnya predator itu.
Tili yang berdomisili di Kota Palu selama lima bulan itu langsung menguatkan tekadnya untuk membebaskan buaya berkalung ban. Tahap awal Tili menggunakan biaya seadanya dan mempersiapkan seluruh peralatan yang digunakan untuk menjerat buaya.
Selain tali, Tili juga menggunakan bambu untuk membuat jerat. Lalu ia memakai beberapa jenis unggas sebagai umpannya.
Ia mengaku menghabiskan biaya sekitar Rp4 juta karena umpannya berganti-ganti, apalagi beberapa kali peralatannya hilang dicuri orang.
Usaha pria asli Sragen ini akhirnya berbuah manis. Reptil yang tampak kelaparan dan kesusahan mencari makan itu, langsung melahap dua ayam dan satu bebek yang disediakan Tili. Jerat yang dipasang langsung mengikat buaya pada bagian perutnya dan dua kaki depannya.
Warga yang sudah mulai berkerumun, membantu Tili menyeret buaya ke tepi sungai selanjutnya dilepaskan jeratan ban yang melingkar di bagian leher. Sebagai imbalan, Tili menyorak kepada warga untuk menyimpan ban itu.
Aksi heroik Tili semacam menjadi magnet baru agar masyarakat bisa memperlakukan satwa dengan baik.
Tidak hanya itu, aksi Tili ini juga tidak mengharapkan imbalan apapun. Ia mengaku punya tujuan satu yaitu ingin menyelamatkan buaya dari jeratan ban.
"Peduli dan kasihan karena bannya sudah lama menjerat leher buaya itu," kata Tili.
Setelah ‘predator berkalung ban’?
Salah satu yang menjadi daya tarik mata dunia tentang predator ganas yang satu ini adalah ban yang melingkar di lehernya. Tidak hanya melingkar selama enam tahun lamanya, keberadaan ban bekas juga dinilai sebagai simbol ketidakpedulian dan pencemaran di habitat hewan reptil berdarah dingin.
Misalnya dalam bentuk kecil seperti sampah plastik di aliran sungai akan mempengaruhi kualitas kejernihan air serta menutupi sinar matahari sehingga menyebabkan menurunnya suhu. Padahal, hal ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas dan metabolisme reptil, termasuk pada proses penetasan telur.
Hingga saat ini kondisi sungai Palu terbilang memprihatinkan. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diamini oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota setempat, ada 44 ton sampah yang tidak terangkut setiap hari di Kota Palu tahun 2021, alibinya karena keterbatasan armada pengangkut.
Angka 44 ton itu berasal dari total sampah yang dihasilkan setiap hari mencapai 168 ton, sedangkan yang berhasil diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Kawatuna hanya 142 ton.
Kepala Bidang Persampahan DLH Kota Palu, Hisyam mengkategorikan 44 ton itu sebagai sampah liar, yang letaknya tersebar luas, termasuk yang menjadi titik letak penyebarannya adalah sungai yang membelah Kota Palu bermuara ke teluk itu.
Soal ban atau karet yang melingkar di leher buaya enam tahun itu, ia juga yakin itu masuk dalam kategori sampah yang umumnya dihasilkan oleh industri atau penyedia jasa perbaikan kendaraan, seperti bengkel-bengkel kecil yang tersebar banyak di Kota Palu.
Namun, dari total ratusan ton sampah yang dihasilkan setiap hari itu, persentase sampah industri masih dalam batas toleransi. Hanya saja, Hisyam tak menampik akan adanya oknum-oknum pemilik jasa perbaikan kendaraan yang kurang memperhatikan pembuangan limbahnya seperti oli bekas ke drainase, serta ban bekas ke sungai.
Pun begitu, hiruk pikuk Kota Palu dalam pengelolaan sampah telah berlangsung bertahun-tahun. Puncaknya pada penilaian Adipura periode 2017-2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menempatkan Kota Sorong serta Kupang dengan luas wilayah yang sedang, masuk sebagai kota terkotor di Indonesia bersama Kota Palu. Hal itu berdasarkan pada aspek penilaian secara fisik, yang meliputi tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah.
Kemudian ditunjang dengan sistem pembuangan sampah yang terbuka, belum membuat kebijakan dan strategi pengelolaan sampah rumah tangga dan rendahnya partisipasi publik dalam pengelolaan sampah, serta kurang berkomitmen dan tidak menyediakan anggaran cukup untuk pengelolaan lingkungan.
Dengan total persentase yang terbilang masih kecil tetap saja sampah industri telah memberikan dampak buruk, bahkan mengancam kelangsungan hidup satwa.
Bisnis menangkar predator dari sampah
Dalam data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah, hingga kini tak kurang dari 36 ekor buaya hidup di Sungai Palu dengan arus yang tenang serta makanan yang melimpah. Jumlah itu berkurang drastis dari sebelumnya yang diperkirakan oleh pecinta reptil Panji Petualang mencapai 100 ekor.
Kendati jumlahnya yang sudah jauh lebih sedikit, hal itu tetap saja menjadi salah satu kekhawatiran pihak BKSDA, sebab konflik manusia dan reptil berdarah dingin ini cukup intens terjadi antara tahun 2019 hingga 2022.
Dalam beberapa catatan ANTARA, dua konflik manusia dan buaya di Palu terjadi pada Desember 2020, kala itu korban atas nama Aris hampir mengalami putus tangan usai diserang buaya muara saat melakukan pengobatan terapi di Pantai Talise Palu.
Sedang kasus lainnya terjadi pada November 2021. Peristiwa naas itu menimpa warga asal Desa Dalaka bernama Ahlan (45) sekira pukul 02.00 WITA. Korban yang tengah memanah ikan tiba-tiba berteriak meminta pertolongan, ditengarai saat itu telah diseret buaya ke arah lautan.
Berdasarkan keterangan saksi mata, korban baru ditemukan hampir satu jam dari teriakan minta tolong korban. Akan tetapi, saat itu Ahlan telah kehilangan nyawanya dengan sejumlah luka bekas gigitan buaya.
Paling anyar saat reptil buas ini meringsek masuk ke pelataran parkir Palu Grand Mall (PGM), November 2020 silam. Kala itu membuat para pengunjung heboh, namun buaya itu berhasil ditangkap petugas pemadam kebakaran, serta kepolisian setempat untuk dibawa ke Kantor BKSDA di Jalan Moh Yamin, Kota Palu, Sulteng.
Menurut BKSDA Sulteng, fenomena itu selain disebabkan karena air laut yang sedang pasang, juga diantaranya dipicu pemberian makan di pinggir sungai yang acap kali dilakukan masyarakat setempat.
Buaya jenis Crocodylus porosus ini karena jika sudah satu kali diberi makan ditempat itu dia akan datang lagi ke situ, lambat laun itu akan terbiasa. Jika di situ tidak ada lagi makanannya yang ada manusia justru manusia yang akan diincarnya, bisa konflik lagi nanti, kata Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni H.
Berangkat dari prahara sampah yang mengancam kelangsungan hidup satwa, serta pencegahan konflik dengan manusia, menjadi pertimbangan yang kuat bagi Hasmuni membuka ruang komunikasi dengan Pemerintah kota setempat, guna membuka peluang untuk mendatangkan investor membangun penangkaran buaya yang bersifat wisata bagi masyarakat umum. Sayangnya hingga kini komunikasi itu kembali meredup.
Padahal, BKSDA Sulteng menilai potensi yang dimiliki Kota Palu cukup menjanjikan dalam hal wisata penangkaran satwa. Sebab, antusiasme masyarakat tidak hanya akan berhenti setelah melihat secara kasat mata satwa-satwa yang ada.
Lebih dari itu, juga akan menjadi kredit poin bagi Sulawesi Tengah yang saat ini telah memiliki keunggulan dalam wisata bahari serta wisata sejarahnya.
Dalam pengelolaan penangkaran satwa, misalnya buaya, ada lubang lain yang dapat memberikan nilai ekonomi yang lebih dari sekedar tiket pada pintu masuk penangkaran. Ialah pemanfaatan terhadap buaya itu sendiri, sembari menjaga keseimbangan pertumbuhan predator ganas tersebut.
BKSDA mencatat baru ada satu penangkaran reptil ganas itu yang berizin, berada di Desa Beka, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi. Saat ini penangkaran itu sudah menampung 5 sampai 6 ekor buaya, dan kondisinya disebut telah kelebihan kapasitas. Hal itu dinilai tak lepas dari karakter buaya sebagai satwa teritorial.
Pengelolaan yang dilakukan secara mandiri oleh sang pemilik serta belum menjadi sebagai destinasi wisata satwa, membuat penangkaran itu tak begitu berkembang pesat. Hal itu membuat BKSDA tidak menutup diri bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mengeruk potensi tersebut.
“Bahkan kalau ada yang ingin buka wisata penangkaran satwa ini saya segera siapkan izinnya,” kata Hasmuni sambil terkekeh.
Prinsipnya pengurusan izin untuk menangkarkan hewan buas itu, kata Hasmuni, terbilang mudah. Kesiapan lahan dengan kolam-kolam kecil yang akan dipakai si predator berendam menjadi kunci utamanya.
Tawaran BKSDA itu sudah sepantasnya disambut karena penangkaran hewan melata itu urgensinya tidak kalah dengan penuntasan sampah di berbagai sudut kota ini. Bahkan menjadi lebih urgen ketika predator itu kembali memangsa manusia.
Urgensi penangkaran
Urgensi penangkaran satwa tidak hanya berasal dari BKSDA yang notabene sebagai pihak berwenang dalam pengurusan izin. Akan tetapi juga datang dari salah satu Pemerhati Reptil Kota Palu, yaitu Gunanta.
Gunanta memulainya dengan penjelasan jenis Crocodylus porosus atau buaya muara yang terkenal pemangsa manusia itu, telah masuk dalam daftar appendix 1 atau satwa yang dilindungi dengan pemanfaatan terbatas.
Namun, kata Gunanta dalam menyikapi status itu dengan kondisi sungai serta teluk Palu yang menjadi salah satu pusat aktivitas masyarakat, menjadi berbeda sekaligus rumit.
Selain fenomena memberi makan buaya liar oleh masyarakat serta keberadaan wisata gratis seperti anjungan Pantai Talise, juga di sepanjang bibir sungai berjejer rapi mesin-mesin pengeruk pasir yang tentu dioperasikan secara manual oleh manusia.
Siapapun tidak pernah berharap konflik manusia dan buaya itu terjadi lagi, akan tetapi perilaku kita sendiri yang kadang jumawa saat berhadapan dengan satwa membuat resiko konflik itu bisa terjadi kapan saja dan akibatnya dapat menimpa siapa saja.
Gunanta menilai ada dua opsi yang bisa ditempuh guna mengurai konflik tersebut agar tidak terulang kembali, yakni pengurangan aktivitas pada sungai atau membangun penangkaran.
Dalam pengurangan aktivitas masyarakat baik di teluk maupun sungai Palu, akan memunculkan berbagai penolakan. Terlebih dua wilayah itu menjadi salah satu sumber mata pencaharian bagi masyarakat Kota Palu, namun tidak menjadi sebanding jika sampai mengancam keselamatan.
Sedangkan dalam upaya pembuatan penangkaran, teori simbiosis mutualisme akan menjadi syarat penting. Namun hal itu dimungkinkan menjadi jaminan tidak akan ada lagi konflik antar manusia dan buaya sekaligus populasinya yang akan terus terjaga serta seimbang sebagai salah satu keanekaragaman hayati.