Sindikat penjahat lingkungan incar satwa lindung di Aceh
Banda Aceh (ANTARA) - Aktivis Lingkungan, Tezar Pahlevi, menyatakan bahwa satwa lindung di Aceh kerap menjadi incaran utama sindikat kejahatan lingkungan untuk diperjualbelikan ke pasar gelap domestik hingga internasional.
“Ini karena Aceh masih memiliki hutan yang masih bagus dibanding daerah lain, begitu juga dengan satwa yang kita punya dan tergolong ke dalam satwa endemik, seperti gajah, harimau, badak dan orang utan masih hidup berdampingan di satu kawasan,” kata Tezar Pahlevi, di Banda Aceh, Jumat.
Dia mengungkapkan satwa lindung di Aceh telah masuk ke pasar domestik di Pulau Jawa yang kemudian berakhir di tangan kolektor dan pengrajin seni untuk dijual kembali.
"Dalam dua tahun belakangan, satwa lindung di Aceh langsung dikirim ke Jawa tidak lagi melalui Medan. Para broker di Aceh langsung terhubung dengan penampung yang ada di Jawa," ujarnya.
Alur perdagangan satwa itu didapatkan setelah pemetaan keterlibatan terdakwa dan tersangka penjual kulit harimau di Aceh Timur yang ternyata terhubung dengan penampung di Surabaya.
"Dalam kasus itu bisa kita klasifikasi penjahat lingkungan mulai dari tingkat bawah pemburu yang berada dekat dengan lokasi, penjahat tingkat menengah yakni broker, kemudian penampung yang berada di luar provinsi Aceh," katanya.
Tidak hanya di pasar domestik, dirinya juga menemukan kasus perdagangan orang utan sumatra (Pongo Abelii) asal Aceh yang dikirim langsung dari Aceh menuju Thailand dan Timur Tengah melalui jalur laut.
"Sekali dikirim minimal enam ekor dalam keadaan hidup, langsung ke Thailand melalui pelabuhan tikus untuk dibawa ke timur tengah. Pemain menilik Aceh sebagai target berburu. Terkait dengan aktor cukup banyak," ujarnya.
Karena itu, Tezar meminta agar aparat penegak hukum dapat melakukan penanganan kejahatan terhadap satwa lindung secara komprehensif dari hulu ke hilir. Terlebih lagi, selama ini, pemain utama masih belum tersentuh.
"Kami melihat dari sisi penegakan hukum, masih belum optimal seluruh pelaku yang diduga terlibat dalam perdagangan satwa. Kebanyakan pemburu dan broker, belum menemukan king campaign," katanya.
Dalam kesempatan ini, dirinya juga mendorong agar APH dapat menjerat pelaku perdagangan satwa tidak hanya dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi juga dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena diyakini kejahatan tersebut berkaitan erat dengan korupsi.
"Jumlah perputaran uang hasil dari perdagangan satwa lindung menempati urutan ketiga terbesar di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal. Karena itu, Kejahatan satwa liar harusnya juga bisa terjerat tindak pidana pencucian uang," demikian Tezar Pahlevi.
Sebagai informasi, Polda Aceh mencatat ada 28 kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang ditangani sepanjang 2020-2023 dengan jumlah tersangka 36 orang.
Perburuan dan perdagangan satwa lindung tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor, seperti adanya permintaan pasar seperti untuk dikonsumsi, obat-obatan dan peliharaan.
Selain itu, juga karena memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, ditambah dengan rendahnya kepedulian dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar.*
“Ini karena Aceh masih memiliki hutan yang masih bagus dibanding daerah lain, begitu juga dengan satwa yang kita punya dan tergolong ke dalam satwa endemik, seperti gajah, harimau, badak dan orang utan masih hidup berdampingan di satu kawasan,” kata Tezar Pahlevi, di Banda Aceh, Jumat.
Dia mengungkapkan satwa lindung di Aceh telah masuk ke pasar domestik di Pulau Jawa yang kemudian berakhir di tangan kolektor dan pengrajin seni untuk dijual kembali.
"Dalam dua tahun belakangan, satwa lindung di Aceh langsung dikirim ke Jawa tidak lagi melalui Medan. Para broker di Aceh langsung terhubung dengan penampung yang ada di Jawa," ujarnya.
Alur perdagangan satwa itu didapatkan setelah pemetaan keterlibatan terdakwa dan tersangka penjual kulit harimau di Aceh Timur yang ternyata terhubung dengan penampung di Surabaya.
"Dalam kasus itu bisa kita klasifikasi penjahat lingkungan mulai dari tingkat bawah pemburu yang berada dekat dengan lokasi, penjahat tingkat menengah yakni broker, kemudian penampung yang berada di luar provinsi Aceh," katanya.
Tidak hanya di pasar domestik, dirinya juga menemukan kasus perdagangan orang utan sumatra (Pongo Abelii) asal Aceh yang dikirim langsung dari Aceh menuju Thailand dan Timur Tengah melalui jalur laut.
"Sekali dikirim minimal enam ekor dalam keadaan hidup, langsung ke Thailand melalui pelabuhan tikus untuk dibawa ke timur tengah. Pemain menilik Aceh sebagai target berburu. Terkait dengan aktor cukup banyak," ujarnya.
Karena itu, Tezar meminta agar aparat penegak hukum dapat melakukan penanganan kejahatan terhadap satwa lindung secara komprehensif dari hulu ke hilir. Terlebih lagi, selama ini, pemain utama masih belum tersentuh.
"Kami melihat dari sisi penegakan hukum, masih belum optimal seluruh pelaku yang diduga terlibat dalam perdagangan satwa. Kebanyakan pemburu dan broker, belum menemukan king campaign," katanya.
Dalam kesempatan ini, dirinya juga mendorong agar APH dapat menjerat pelaku perdagangan satwa tidak hanya dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi juga dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena diyakini kejahatan tersebut berkaitan erat dengan korupsi.
"Jumlah perputaran uang hasil dari perdagangan satwa lindung menempati urutan ketiga terbesar di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal. Karena itu, Kejahatan satwa liar harusnya juga bisa terjerat tindak pidana pencucian uang," demikian Tezar Pahlevi.
Sebagai informasi, Polda Aceh mencatat ada 28 kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang ditangani sepanjang 2020-2023 dengan jumlah tersangka 36 orang.
Perburuan dan perdagangan satwa lindung tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor, seperti adanya permintaan pasar seperti untuk dikonsumsi, obat-obatan dan peliharaan.
Selain itu, juga karena memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, ditambah dengan rendahnya kepedulian dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar.*