Radikalisme dan alat politik melawan pemerintah

id Radikalisme,terorisme,bom bunuh diri,bom gereja katedral makassar

Radikalisme dan alat politik melawan pemerintah

Aparat kepolisian bersenjata lengkap berjaga-jaga usai kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad (28-3-2021).

Jakarta (ANTARA) - Pandemi sejenak saja mengajak bangsa ini lupa pada isu radikalisme dan terorisme, sampai Ahad pagi, 28 Maret 2021, sebuah bom meledak di Gereja Katedral Makassar.

Semua terkejut dan terhenyak, kemudian kembali diingatkan bahwa ancaman terorisme itu masih ada, bahkan di tengah pandemi seperti saat ini.

Bom itu bukan saja telah menewaskan seorang dan belasan lainnya luka-luka, melainkan menorehkan trauma yang tetap akan terekam dalam sejarah perjalanan bangsa ini.

Bom yang diduga sebagai bom bunuh diri tersebut merupakan buah dari bibit radikalisme yang diam-diam berkembang.

Faktanya memang paham dan ajaran yang serupa itu masih saja ada di bumi pertiwi, bahkan diduga merasuk dalam kubu antipemerintah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menyerang pemimpin yang sah.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Ahmad Nurwakhid mengingatkan potensi dan ancaman radikalisme yang menjadi alat politik untuk melawan pemerintah.

“Dari radikalisme ini pula, lahir terorisme. Terorisme itu hilirnya, sementara radikalisme itu hulu. Semua teroris berpaham radikal tetapi tidak semua radikal akan jadi teroris,” kata Ahmad.

Untuk itu, Ahmad meminta masyarakat waspada dan jangan takut karena ketakutan itu yang diharapkan terorisme.

Sejauh ini kelompok penganut paham radikalisme kerap jadi alat politik untuk mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi pemerintah. Paham ini muncul karena adanya politisasi agama yang dipicu sikap benci pemerintah atau pemimpin yang sah.

“Maka ada simbiosis mutualisme antara politisi yang ingin menggunakan politisasi agama dengan kekuatan gerakan radikal,” ungkapnya.

Menurut Ahmad, kelompok gerakan radikalisme cenderung berasal dari orang-orang yang antipemerintah. Sering kali, kata dia, radikalisme ini selalu mengatasnamakan agama, bahkan bukan monopoli satu agama tertentu.

Secara teori, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan atau pembaruan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan.

Selain politisasi agama, menurut Ahmad, radikalisme dipicu sikap intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, pemahaman agama yang tidak benar, ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, hingga rasa benci dan dendam.

"Bahkan, karakteristik kaum radikal terlihat dari sikap intoleransi, ekslusif, klaim kebenaran, merasa dizalimi, hingga playing victim," ujar Ahmad.

Ahmad pun menilai radikalisme menjadi musuh agama dan negara. Pada satu sisi, gerakan radikalisme merusak agama karena bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai beragama. Sementara itu, sisi lain menjadi ancaman negara karena menginginkan perubahan secara inkonstitusional.


Kedok Agama

Radikalisme (paham atau aliran yang radikal dalam politik) umumnya menggunakan agama sebagai topeng dan kedok mereka untuk melancarkan aksinya.

Sebagaimana disampaikan, Ken Setiawan, mantan Komandan NII dan pendiri NII Crisis Center, bahwa radikalisme adalah politik berkedok agama dengan bentuk organisasi sebagai alat propaganda.

Pernyataan Ken tidak lepas dari pengalamannya sebagai mantan Komandan Negara Islam Indonesia (NII).

"Saat itu, bisa dikatakan saya mabuk agama. Mengkaji kitab suci Alquran sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, menghalalkan segala cara untuk menghimpun dana atas nama agama," ungkap Ken.

Ken pun berpendapat bahwa gerakan radikalisme cukup subur pada masa pemerintahan sebelum Presiden RI Joko Widodo. Bahkan, Ken bisa menyebut gerakan radikal diternak karena saling membutuhkan. Dalam hal ini, Ken menyinggung soal eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

"Pada masa pemerintahan sebelum Presiden Jokowi cenderung menerima kelompok, seperti HTI dan FPI. Bahkan, dua organisasi ini diberikan ruang untuk menunjukkan kekuatannya. Saya bisa katakan, ini tragedi kemanusiaan di atas agama," kata Ken.

Hal itu pula yang dianggap Ken sebagai ‘politik yang jahat’. Artinya, siapa yang punya masa besar akan diperhitungkan oleh penguasa. Sebaliknya, pihak yang memiliki masa besar butuh kendaraan untuk menunjukkan kekuatannya.


Tidak Panik

Ledakan bom di Gereja Katedral, Jalan Kajaolalido, Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulsel, memang menyisakan duka dan kekhawatiran yang mendalam bagi bangsa ini.

Namun, Kepala Bidan Humas Polda Sulsel Kombes Pol. E. Zulpan menyarankan agar aksi-aksi berbau terorisme sebagaimana yang baru saja terjadi itu jangan sampai membuat masyarakat menjadi terlampau panik.

Zuipan meminta masyarakat agar masyarakat tidak panik, tetap tenang, dan tidak menyebarkan gambar-gambar korban atau lokasi kejadian justru yang membuat suasana seperti makin mencekam.

Masalahnya, hal seperti itulah yang menjadi tujuan pelaku teror yang sesungguhnya sehingga menimbulkan keresahan yang mencekam di kalangan masyarakat.

Sebagaimana Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang mengutuk keras aksi pengeboman yang diduga dilakukan oleh seseorang di kompleks Gereja Katedral Kota Makassar, Ahad (28/3) pagi itu. Aksi ini dianggap sebagai tindakan keji yang menodai ketenangan hidup bermasyarakat dan jauh dari ajaran agama.

Atas kejadian ini, para tokoh agama pun kemudian diimbau untuk terus meningkatkan pola pengajaran agama secara baik sekaligus menekankan pentingnya beragama secara moderat.

Pasalnya, agama apa pun mengajarkan umatnya untuk menghindari aksi kekerasan karena kekerasan akan menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan pasti merugikan banyak pihak. Kekerasan ini pulalah yang rawan mengoyak tatanan kehidupan masyarakat yang sudah terbina dengan rukun dan baik.

Saat ini memang sudah saatnya mengajak semua pihak untuk mengutamakan jalan damai dalam menghadapi persoalan, seperti dengan dialog, diskusi, dan silaturahmi.

Jika cara itu ditempuh, diyakini semua akan mampu memecahkan masalah yang dihadapi tanpa harus membiarkan tumbuhnya bibit-bibit radikalisme di kalangan masyarakat.