Jakarta, (antarasulteng.com) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan pemerintah akam mengembangkan Lapangan Abadi Blok Masela di Maluku dengan skenario pembangunan kilang gas alam cair (liquefied naturan gas/LNG) di darat atau "on shore".
Keputusan itu diambil setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak, kata Rizal melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Pertimbangannya, lanjut dia, pemerintah sangat memperhatikan "multiplier effects" (dampak ganda) serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya dan Indonesia timur pada umumnya.
Menurut mantan Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid itu, keputusan tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk konsekuen melaksanakan konstitusi, yakni pemanfaatan sumber daya alam (SDA) sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Presiden RI Jokowi, lanjut Rizal, juga berkali-kali menegaskan pemanfaatan ladang gas abadi Masela tidak sekadar sebagai penghasil devisa, tetapi juga harus menjadi motor percepatan pembangunan ekonomi Maluku dan Indonesia timur.
"Inilah yang menjelaskan mengapa Presiden menginginkan pembangunan kilang Masela di darat. Beliau sangat memperhatikan manfaatnya dan 'multiplier effect'-nya yang jauh lebih besar daripada jika kilang dibangun di laut. Dengan pembangunan kilang di darat, akan lahir industri pupuk dan petrokimia. Kita bisa mengembangkan Kota Balikpapan baru di Selaru yang berjarak 90 km dari Blok Masela," ujarnya.
Berdasarkan kajian pihaknya, biaya pembagunan kilang darat sekitar 16 miliar dolar AS.
Di sisi lain, biaya pembangunan kilang apung di laut (offshore) mencapai 22 miliar dolar AS.
Rizal menganggap perhitungan tersebut sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell yang menyatakan pembangunan kilang di laut hanya sebesar 14,8 miliar dolar AS dan pembangunan kilang di darat mencapai 19,3 miliar dolar AS.
"Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut. Untuk memastikan kebenarannya, kita tantang mereka," ujarnya.
Tantangan tersebut, lanjut Rizal, adalah jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi 14,8 miliar dolar AS, Inpex dan Shell harus bertanggung jawab membiayai kelebihannya dan tidak diperkenankan lagi dibebankan pada "cost recovery".
"Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat," imbuhnya.
Menurut Rizal, pemerintah telah belajar dari pengalaman pembangunan kilang "offshore" di Prelude, Australia, yang mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya relatif cukup besar karena menghabiskan biaya 12,6 miliar dengan kapasitasnya hanya 3,6 juta ton/tahun, atau 48 persen dari kapasitas di Blok Masela sebesar 7,5 juta ton/tahun.
Dalam perhitungannya, seandainya pembangunan kilang dilaksanakan di laut, Indonesia akan menerima pemasukan 2,52 miliar dolar AS/tahun dari penjualan LNG dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS per barel.
Sebaliknya, dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia.
"Dengan cara ini, negara bisa memperoleh pendapatan mencapai 6,5 miliar dolar AS per tahun," katanya.
Terkait dengan kekhawatiran Inpex akan keluar dari proyek pengembangan Blok Masela juga dinilai Rizal terlalu berlebihan. Pasalnya, Inpex sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan investasi sekitar 2 miliar dolar AS.
Perusahaan itu, diyakini Rizal, tidak akan meninggalkan Blok Masela yang memiliki cadangan lebih dari 20 tcf (trilion cubic feet).
Dengan asumsi diproduksi 1,2 juta kaki kubik/hari, cadangan yang bisa dimanfaatkan bisa mencapai hingga 70 tahun.
Rizal juga yakin jika investor asal Jepang itu benar-benar keluar, banyak investor dari negara lain yang sangat berminat meneruskannya.
"Pemerintah Indonesia sangat menghargai hubungan strategis dan jangka panjang dengan Jepang. Kita juga memahami kebutuhan Jepang akan sumber energi berjangka panjang yang 'reliable'. Kita percaya Inpex akan sangat berkepentingan dengan pembangunan kilang di darat yang jauh lebih murah dan menguntungkan Indonesia dan Jepang," pungkas Rizal.