Bondowoso (ANTARA) - Berita politik, khususnya terkait Pemilihan Presiden 2024, dihangatkan kembali oleh kabar mengenai pilihan bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan dan Persatuan Anies Baswedan menggandeng Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden.
Tentu saja wajar kalau itu menjadi heboh. Kabar itu memang di luar dugaan karena Anies dengan Cak Imin sebelumnya berada di koalisi berbeda. Anies Baswedan didukung oleh koalisi yang di dalamnya ada Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sedangkan Cak Imin berada di barisan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang merupakan gabungan Partai Gerindra dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang Cak Imin menjadi ketua umum.
Perkiraan masyarakat, Anies Baswedan akan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, sedangkan Prabowo Subianto akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar.
Meskipun pasangan Anies dengan Cak Imin belum dideklarasikan resmi, Partai Demokrat sudah mutung alias patah hati dan mengambil sikap keluar dari Koalisi Perubahan dan Persatuan. Partai Demokrat merasa ditinggalkan oleh Anies dan partai pendukung.
Wajar kalau petinggi dan kader Partai Demokrat kecewa dengan kenyataan pilihan Anies itu. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu memberikan dukungan kepada Anies dan bersatu dalam barisan Koalisi Perubahan mulai dari awal dibentuk. AHY dan Anies sudah 5 bulanan ke mana-mana bersama dalam satu gerbong.
Pilihan Anies kepada Cak Imin itu menginspirasi banyak kreator untuk membuat meme di media sosial, dengan latar foto Cak Imin yang sedang tertawa lepas. Kalimat yang disematkan pada meme itu adalah, "Tetap tenang, ini bukan akhir dari segalanya, tapi ini akhir bulan".
Frasa "Bukan akhir dari segalanya" di meme itu cukup relevan untuk menyikapi pilihan Anies dan Partai Nasdem. Realitas itu memang tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi kemudian memantik permusuhan dari kelompok yang tidak diuntungkan.
Bagi Partai Demokrat, misalnya, ketika AHY sebagai ketua umum tidak dipilih untuk menjadi bacawapres, mestinya tidak menjadikan partai yang pernah menjadi penguasa itu seolah-olah dikhianati. Bukankah politik memang penuh strategi dan pada kondisi tertentu harus realistis dengan memutuskan sesuatu yang tidak mesti menyenangkan semua kelompok.
Ketika prediksi dari ikhtiar memenangi pertandingan tidak menunjukkan kemenangan, wajar kalau politikus dan partai politik memilih satu sikap dan sikap itu tidak mungkin menguntungkan semua pihak.
Lepas dari pemandangan di atas panggung dan pembicaraan Anies dan partai pendukung Koalisi Perubahan dengan petinggi Partai Demokrat, bukankah sejak awal deklarasi memang tidak pernah diungkap bahwa bacawapres Anies adalah AHY, sehingga tidak pas jika pilihan Anies kepada Cak Imin digolongkan sebagai tindakan pengkhianatan.
Pilihan Anies kepada Cak Imin, politikus asal Jawa Timur dan dari partai politik berbasis pendukung Nahdlatul Ulama (NU) ini mengandung makna proses pendewasaan bagi masyarakat, termasuk bagi partai politik untuk menerima semua keadaan dengan legawa. Bukankah koalisi dibangun juga berdasarkan kesepakatan-kesepakatan, bukan satu pihak memaksakan kehendak.
Ketika awal bergabung dengan koalisi, Partai Demokrat sudah memasang target AHY sebagai bacawapres, dan di Koalisi Perubahan tampaknya hal itu tidak berterima, muruah Partai Demokrat dan sosok AHY akan tetap tinggi kalau keluar dari koalisi itu jauh-jauh hari atau jauh-jauh bulan sebelum Anies menetapkan pilihan pada Cak Imin.
Nasi sudah menjadi bubur, Demokrat adalah partai besar yang harus berpartisipasi dalam Pemilu 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden, termasuk mengantar para calon anggota legislatifnya di berbagai tingkatan.
Dari pada sibuk mencari kambing hitam atas gagalnya AHY menjadi pendamping Anies, apalagi sampai melebar dengan tuduhan cawe-cawe istana, lebih baik segera mencari koalisi baru yang pas untuk segera menyusun strategi baru.
Seperti bermain lempar bola kasti ke dinding, semakin santer politikus yang merasa dirugikan melempar kesalahan kepada pihak lain, semakin keras pula pukulan balik kepada partai itu sendiri untuk kemudian terperosok ke jurang kekalahan.
Partai dengan tampilan politikusnya yang dewasa dan elegan akan memiliki nilai tambah di mata masyarakat sehingga harapan dilirik oleh calon pemilih menjadi kenyataan dan suara rakyat dititipkan kepada partai itu.
Untuk menghadapi realitas politik ke depan, bisa jadi akan mengubah pilihan tema "kampanye" AHY dan Partai Demokrat, dari sebelumnya lebih sering mempersoalkan kinerja pemerintah menjadi harus realistis mengakui keberhasilan yang telah ditorehkan oleh duet Presiden Jokowi dengan Wapres Maruf Amin.
Dari tiga bacapres yang saat ini sudah muncul ke permukaan, satu pasangan mengusung tema besar "perubahan", yakni Anies Baswedan, dan dua lainnya mengusung tema keberlanjutan dari sukses yang dicapai pemerintah saat ini, yakni bacapres Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo serta bacapres Prabowo Subianto yang didukung oleh Partai Gerindra, Golkar, PAN, dan PBB.
Kasus Anies tidak jadi berpasangan dengan AHY adalah pembelajaran besar bahwa dinamika politik begitu besar, sehingga setiap saat bisa berubah. Kini di media sosial sudah bertebaran foto pasangan Anies-Cak Imin dan poster pasangan Ganjar Pranowo-Prabowo Subianto. Politik memang serba banyak kemungkinan.
Setiap saat, keadaan bisa berubah, tapi keteduhan hati demi Indonesia yang damai dan sejahtera tidak boleh tergoyahkan oleh kondisi apapun. Rakyat Indonesia sudah semakin cerdas, mereka tidak mudah terhanyut oleh ucapan-ucapan yang isinya menuduh dan mencari kesalahan pihak lain.