Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Indonesia tampaknya makin menaruh minat pada investasi surat berharga negara (SBN). Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, jumlah investor SBN per akhir Januari 2024 telah mencapai 1.015.531 investor, baik individu maupun institusi. Dari jumlah tersebut, sebesar 97,84 persen merupakan investor individu.
Meski jumlah investor SBN itu masih kalah jika dibandingkan dengan investor pasar modal yang mencapai 12.326.700 penanam modal, investor SBN terus tumbuh dari tahun ke tahun. Pada 2020, KSEI mencatat sebanyak 460.372 investor menanamkan dananya di SBN. Angka itu tumbuh menjadi 611.143 investor pada 2021, kemudian 831.455 investor pada 2022, dan melonjak menjadi 1.002.727 investor pada akhir Desember 2023. Dari tahun ke tahun, porsi investor individu tetap mendominasi.
Indonesia memiliki cita-cita untuk mengubah paradigma dari masyarakat yang gemar menabung (saving society) menuju masyarakat gemar investasi (investment society). Maka, Pemerintah pun telah menyediakan opsi instrumen investasi berisiko rendah kepada masyarakat melalui penerbitan obligasi pemerintah terutama SBN ritel.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan masyarakat juga bisa ikut ambil bagian dalam mendukung pembiayaan pembangunan negara saat berinvestasi di SBN.
“(Dengan SBN), harapannya visi Pemerintah atau negara ini bisa mendapatkan pendanaan dengan jangka waktu lebih panjang. Selain itu, masyarakat bisa menyiapkan hari tuanya secara lebih baik dengan berinvestasi di instrumen-instrumen yang menguntungkan dan aman,” kata Deni.
SBN ritel, yang bisa dibeli oleh masyarakat perseorangan atau individu tanpa sistem lelang, memiliki berbagai keuntungan dibanding instrumen investasi lainnya termasuk pokok dan imbalan yang dijamin negara. Pada awal tahun ini, Pemerintah menawarkan SBN ritel perdananya kepada masyarakat, yaitu Obligasi Negara Ritel seri 025 (ORI025), dengan kupon atau imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat bunga deposito bank BUMN.
Pemesanan ORI025 -- baik tenor 3 tahun maupun 6 tahun -- per 15 Februari 2024 mencapai Rp10,87 triliun yang dihimpun dari 37.371 investor. Hingga penutupan pada 22 Februari 2024, Kemenkeu berharap pemesanan ORI025 bisa mencapai Rp15 - Rp20 triliun.
Adapun sepanjang tahun ini, Kemenkeu menargetkan penerbitan SBN ritel dapat menembus senilai Rp140 - Rp160 triliun. Target itu meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencapai sekitar Rp147 triliun dan tahun 2022 sekitar Rp107 triliun. Pada setiap penerbitan SBN ritel, kementerian membidik 16 hingga 20 ribu investor baru.
Pemerintah akan menerbitkan beberapa jenis SBN ritel selain ORI, usai penutupan ORI025. Pada awal Maret, sukuk ritel (SR) dijadwalkan bakal terbit. Produk ORI dan SR dengan seri lain direncanakan terbit pada semester II 2024. Masyarakat juga dapat menantikan SBN ritel lainnya pada tahun ini termasuk satu seri savings bond ritel (SBR) dan dua seri sukuk tabungan (ST).
Prospek tahun ini
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) masih menahan suku bunga acuan pada kisaran 5,25 - 5,5 persen. Para analis memproyeksikan suku bunga global akan turun pada semester II 2024.
Sementara hingga saat ini, Bank Indonesia (BI) juga menjaga suku bunga acuan pada level 6 persen. Potensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed diperkirakan menjadi pertimbangan BI dalam membuka opsi penurunan BI rate pada periode yang sama.
Pemerintah Indonesia kemungkinan juga akan memangkas dan menyesuaikan besaran imbal hasil (yield) pada SBN, baik ritel maupun non-ritel, sejalan dengan potensi perubahan kebijakan global dan dalam negeri pada semester II mendatang.
Dengan terbitnya penawaran ORI025 pada semester I, hal ini menjadi peluang bagi masyarakat yang belum memiliki instrumen SBN ritel dengan kupon tetap (fixed rate), mengingat saat ini imbal hasil yang ditawarkan masih tinggi. ORI seri 025 dengan tenor 3 tahun ditawarkan dengan kupon 6,25 persen per tahun, sementara tenor 6 tahun ditawarkan dengan kupon 6,40 persen per tahun.
“Ini sebuah kesempatan untuk bisa mengunci imbal hasil di level yang masih tinggi, sebelum nanti untuk yang SBN ritel berikutnya kemungkinan sudah sedikit menurun (imbal hasilnya),” kata Deni.
Senada dengan Deni, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan imbal hasil SBN akan menurun. Pada penutupan perdagangan Jumat (16/2), imbal hasil obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun tercatat sebesar 6,62 persen. Angka ini meningkat sekitar 14 basis poin jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
Apabila mempertimbangkan potensi penurunan suku bunga BI sekitar 50 basis poin atau 0,5 persen pada semester II hingga akhir tahun 2024, Josua memproyeksikan imbal hasil surat utang Pemerintah Indonesia dengan tenor 10 tahun menjadi sekitar 6,3 persen dari sebelumnya 6,62 persen.
Obligasi atau surat utang dinilai menjadi instrumen investasi yang paling stabil di tengah perubahan arah kebijakan global dan domestik. Penyesuaian imbal hasil instrumen ini tidak mengalami penurunan ataupun kenaikan yang terlalu signifikan. Pada saat suku bunga acuan turun, terdapat potensi penguatan obligasi dengan harga yang akan meningkat dibandingkan dengan posisi saat ini.
Obligasi, khususnya yang diterbitkan Pemerintah, juga menjadi instrumen investasi yang cocok bagi generasi muda yang rata-rata dikategorikan sebagai investor pemula. Melihat berbagai potensi yang ada, generasi muda diharapkan dapat mengambil peluang tersebut sehingga turut mendorong peralihan paradigma menuju masyarakat gemar investasi.
Dari sisi jumlah investor ritel, DJPPR Kemenkeu memperkirakan partisipasi Generasi Z mulai terlihat meskipun Generasi Milenial tetap mendominasi dalam instrumen SBN. Namun jika ditilik dari sisi besaran nominal kepemilikan, Generasi X dan Boomers-lah yang mendominasi.
Merujuk laporan DJPPR Kemenkeu, per 13 Februari 2024 tercatat total kepemilikan SBN domestik yang dapat diperdagangkan pada investor individu mencapai Rp441,85 triliun atau 7,71 persen dari keseluruhan kepemilikan SBN. Kepemilikan individu atas SBN juga terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat kepemilikan naik sebesar 4,33 poin dari 3,39 persen pada 2020 menjadi 7,72 pada akhir 2023.
Data tersebut menegaskan adanya pertumbuhan minat yang cukup baik pada investor ritel atau individu terhadap obligasi pemerintah. Apalagi pada SBN ritel, modal minimal yang ditanamkan calon investor tidak begitu besar, yaitu mulai dari Rp1 juta sehingga menarik minat masyarakat.
Pada era yang serba mengandalkan teknologi, pemesanan SBN ritel juga makin dimudahkan. Menimbang berbagai sisi keuntungan, gairah masyarakat terhadap obligasi Pemerintah diperkirakan bakal terus meningkat pada masa mendatang masa.