Jakarta (antarasulteng.com) - Komikus Belanda Peter van Dongen menghabiskan waktu tiga tahun
untuk melakukan riset demi membuat "Rampokan Jawa" (1998) dan "Rampokan
Celebes" (2004).
Pria kelahiran Amsterdam tahun
1966 itu awalnya hanya mengenal Indonesia dari cerita-cerita sang ibu
saat dia kecil. Ibu Van Dongen adalah keturunan China-Indonesia yang
sempat tinggal di Manado lalu pindah ke Belanda.
"Ibu saya pernah cerita tentang pengeboman di Manado di masa kolonial," kata dia di Erasmus Huis Jakarta, Kamis.
Berawal
dari sana, Van Dongen berniat membuat karya tentang Indonesia dan
setelah merilis debut Muizentheater (Teater Tikus) pada 1990, niat itu
mulai dilaksanakan dengan mencari beragam referensi tentang Indonesia.
Tiga tahun dia mencari sejarah Indonesia hingga menjelajahi perpustakaan. "Di pelajaran sejarah di sekolah, tidak banyak yang mengisahkan tentang pendudukan Belanda di Indonesia," kata cucu tentara KNIL itu.
Tiga tahun dia mencari sejarah Indonesia hingga menjelajahi perpustakaan. "Di pelajaran sejarah di sekolah, tidak banyak yang mengisahkan tentang pendudukan Belanda di Indonesia," kata cucu tentara KNIL itu.
Komik
karya pria Belanda kelahiran 1966 itu mengambil latar belakang
Indonesia pascamerdeka dari penjajahan kolonial pada 1945-1946.
Berbagai gambar bangunan dan suasana Indonesia jaman dulu berisi tokoh-tokoh fiksi dari Belanda maupun Indonesia.
Van Dongen mengandalkan foto-foto tua dan berbagai literatur untuk menciptakan suasana senyata mungkin.
Berbagai gambar bangunan dan suasana Indonesia jaman dulu berisi tokoh-tokoh fiksi dari Belanda maupun Indonesia.
Van Dongen mengandalkan foto-foto tua dan berbagai literatur untuk menciptakan suasana senyata mungkin.
"Karena
dibuat dengan referensi kisah nyata, maka harus seakurat mungkin," kata
komikus yang dipengaruhi gaya Herge, pencipta Tintin.
Van
Dongen mengaku pernah membaca buku tua Rampokan Macan, tradisi kuno di
Jawa saat orang-orang berkumpul ramai menghabisi macan pada hari
Lebaran.
"Macan dianggap sebagai nasib buruk,
jadi kalau berhasil membunuh macan sama dengan meraih keberuntungan.
Nasib orang Belanda di Indonesia seperti macan itu," ungkap Van Dongen
menjelaskan "Rampokan".
Lewat "Rampokan Jawa" dan "Rampokan Celebes", Van Dongen ingin memberi perspektif baru, terutama kepada pembaca muda Belanda.
"Ini
dibuat untuk memberikan cerita bagi mereka yang tidak tahu bahwa di
luar sana pendudukan Belanda itu pernah terjadi," kata dia.
Pada
2005, 3.000 eksempelar "Rampokan Jawa" dalam Bahasa Indonesia laku
terjual. "Semoga akan ada yang menerbitkan lagi," katanya. (nan)