Meningkatkan Produksi Kakao Saat Pemanasan Global

id kakao

Meningkatkan Produksi Kakao Saat Pemanasan Global

(antara)


Palu, (antarasulteng.com) - Pagi itu sekitar pukul 09.00 WITA, sebagian besar masyarakat Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, masih duduk di teras rumah dengan melipat kaki sembari tubuhnya dibungkus sarung.

Beberapa di antaranya yang tampak hanya wajah dan tangan yang sesekali mengambil minuman panas untuk disodorkan ke mulutnya guna menahan dingin.

Aktivitas warga di dataran tinggi Palolo, sekitar 50 kilometer dari Palu itu baru mulai terlihat menjelang pukul 11.00 WITA. Ada yang berkebun, bersawah, atau menggembalakan ternak.

Sepenggal kisah itu adalah yang dituturkan Darman, ketika ia datang pertama kali di Palolo guna mencari lahan perkebunan kakao 24 tahun silam. Saat itu terdapat puluhan penjelajah seperti Darman di Palolo.

Wilayah Palolo saat itu masih tergolong wilayah hutan dengan pepohonan besar dan tinggi nan rindang.

Pepohonan itulah yang menangkap udara malam sehingga udara pagi berkabut masih terasa dingin hingga menjelang matahari naik.

Pria asal Sulawesi Selatan ini sekarang menetap di Desa Makmur, Kecamatan Palolo. Dia bekerja sebagai petani kakao di lahan seluas tiga hektare.

Saat itu, untuk mencari lahan pertanian di Palolo terbilang mudah. Para pendatang tinggal mematok tanah sesuka hatinya untuk dijadikan perkebunan kakao.

Penduduk asli Palolo saat itu juga masih sangat jarang. Jarak satu rumah dengan rumah lainnya bisa mencapai ratusan meter, bahkan hingga sekitar dua kilometer.

Setelah mematok lahan yang akan digarap, para pendatang harus menebangi pohon dan meratakan lahan agar bisa ditanami bibit pohon kakao atau bibit produktif lainnya. Proses itu bisa memakan waktu hingga satu tahun.

Setelah bertahun-tahun menunggui pohon kakao tumbuh, akhirnya puluhan petani menikmati hasilnya dengan seringnya panen raya dengan hasil menggembirakan.

Di Desa Makmur sendiri terdapat 50 petani kakao yang saat ini bergabung dalam Kelompok Tani Anugerah yang dipimpin Darman. Luas lahan kakao di Desa Makmur mencapai 700 hektare.

Seiring banyaknya hutan dirambah untuk dijadikan perkebunan kakao atau permukiman, kini sejuknya udara di Palolo sudah sangat jarang dirasakan kecuali sedang musim hujan. Kini banyak masyarakat pria berkeliaran sambil bertelanjang dada di pagi hari, berbeda dengan puluhan tahun silam.

Kejayaan kakao

Sejarah mencatat, kejayaan petani kakao di Kabupaten Sigi atau di wilayah Sulawesi Tengah lainnya mencapai puncak pada dekade 2000-an.

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu penghasil kakao terbesar di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu 1994 hingga akhir 2007, kakao merupakan komoditas pernyumbang devisa ekspor nonmigas terbesar di provinsi beribu Kota Palu ini.

Pada 2008, kakao mampu menyumbang pendapatan lebih dari 150 juta dolar AS, sekaligus menempatkan komoditas ini di tempat teratas perolehan devisa.

Areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah juga menunjukkan pertumbuhan pesat. Pada 1990 areal kakao hanya sekitar 15.000 hektare. Satu dasawarsa kemudian luasnya meningkat berlipat-lipat. Pada 2000 luas kebun kakao di Sulawesi Tengah mencapai 180.873 hektare.

Sementara itu produksi kakao provinsi ini pada 1990 hanya 4.845 ton, namun pada 2000 peningkatannya terbilang fantastis, yakni menjadi 60.453 ton atau naik sebanyak sebelas kali lipat. Pada 2006, produksinya kembali menunjukkan kenaikan signifikan menjadi 153.955 ton.

Seiring bertambahnya usia tanaman kakao dan seringnya penggunaan berbagai macam pupuk serta obat-obatan kimia, produksi buah coklat juga mulai menurun. Usia tanaman kakao di Sulawesi Tengah saat ini rata-rata telah mencapai 30 tahun.

Hal itu diperparah dengan serangan berbagai macam hama penyakit yang telah kebal terhadap semprotan obat pabrikan.

Dampak pemanasan global juga turut mempengaruhi ketahanan tanaman kakao karena terus diserang virus yang juga berevolusi seiring perubahan cuaca.

Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah, ekspor kakao terus mengalami penurunan. Volume ekspor kakao Sulawesi Tengah pada 2011 sebanyak 44.751 ton dengan menghasilkan devisa mencapai 132,31 juta dolar AS, sedangkan nilai ekspor kakao pada 2012 hanya tercatat 78,53 juta dolar AS dengan volume 35.336 ton.

Pada triwulan I/2013 total ekspor kakao hanya 2.950 ton, atau menurun 59,5 ton dibandingkan periode sama pada 2012. Namun pada triwulan II/2013 ekspor kakao mencapai 7.523 ton atau melonjak 155 persen dibanding triwulan sebelumnya. Hal itu disebabkan adanya panen raya di sejumlah daerah, serta mulai digunakkannya pupuk organik di sejumlah daerah.

Kembali ke alam

Hama yang menjadi momok petani kakao saat ini adalah VSD (vascular streak dieback). Virus ini menyerang batang pohon kakao yang kemudian menjalar ke buah hingga membusuk.

Petani tak berdaya menghadapai serangan virus ini. Segala cara telah dicoba namun tanpa membuahkan hasil, justru buah kakao menjadi kerdil dan tak layak jual.

Sementara itu, selama sekitar lima tahun ini petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong, tetangga Kabupaten Sigi, mengaku mengalami kemerosotan produksi sehingga mempengaruhi perekonomian rumah tangganya.

Thomas Limbong, petani kakao di Desa Nambaru, Parigi Moutong, mengatakan rata-rata produksi biji kakao di kebunnya saat ini 400 kilogram per hektare. Satu hektare lahan terdapat seribu pohon kakao.

Sebelumnya, satu hektare kebun kakao bisa memproduksi biji cokelat sekitar satu ton hingga 1,5 ton.

"Itu dulu, sekarang pohon cokelat sudah tua dan banyak diserang hama sehingga produksinya menurun drastis," kata Thomas yang juga tinggal di wilayah dataran tinggi.

Tanaman kakao di Kabupaten Parigi Moutong saat ini telah berumur di atas 30 tahun sehingga ketahanan terhadap serangan hama juga semakin menurun.

Selain itu, katanya, seringnya tanaman disemprot pestisida dan diberi berbagai pupuk buatan pabrik lainnya juga membuat hama menjadi kebal.

"Sudah berbagai macam obat dan digunakan tetapi hama tetap saja menyerang bahkan makin ganas," katanya.

Muhammad Asra, petani kakao lainnya, mengaku hampir putus asa menghadapi kenyataan tersebut.

Dia mengatakan, sebagian besar petani kakao mencoba menanami lahannya dengan tomat, cabe, sayur-mayur, bahkan hingga durian untuk tetap bisa bertahan di situasi yang sulit.

Para petani juga membiarkan pohon kakao mereka dimakan hama hingga kering dan akhirnya mati.

"Mau diapakan lagi kalau diberi obat-obatan tidak manjur lagi," kata Asra.

Harapan baru mulai muncul ketika ada teori sambung samping. Sambung samping adalah menyambung pohon yang sudah tua dengan batang baru dari kakao jenis baru yang dianggap lebih produktif.

Teknik sambung samping bisa dilihat hasilnya setelah pohon berusia minimal dua tahun. Setelah berbuah, batang utama pada pohon yang disambung kemudian dipotong.

Sambung samping sudah dimulai sejak tiga tahun silam namun hasilnya belum bisa dirasakan.

Sembari menunggu hasil dari teknik sambung sambing, petani juga membuat pupuk organik untuk meningkatkan produksi kakao.

Ketua kelompok tani "Maju Bersama" Abdul Muis mengatakan penggunaan pupuk ramah lingkungan itu selain murah, juga akan menghasilkan kakao organik.

"Jadi, tidak ada lagi kakao yang mengandung bahan kimia sehingga lebih sehat dikonsumsi," katanya.

Dia menjelaskan, satu batang pohon kakao membutuhkan pupuk organik senilai Rp1.000,00 per pohon, jika menggunakan pestisida maka akan membutuhkan biaya Rp2.000,00 per pohon.

Pupuk organik itu terbuat dari kotoran kambing, kulit kakao, dedaunan, sekam padi, dan batang pisang.

Berbagai bahan tersebut sebelumnya dicincang sebelum dicampur mikroba yang berfungsi sebagai pengurai.

"Selanjutnya ditutup di tempat yang rapat selama tiga pekan hingga bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman," jelas Abdul Muis.

Satu ton pupuk organik bisa digunakan di lahan kakao seluas 2,2 hektare yang berisi 2.200 pohon.

Produksi kakao saat menggunakan pupuk pabrik maksimal hanya 400 kilogram per hektare, dengan biaya pembelian pupuk dan obat-obatan sebesar Rp2 juta per hektare.

Sementara ketika menggunakan pupuk organik produksinya diharapkan bisa meningkat hingga satu ton per hektare dengan biaya sekitar Rp1 juta per hektare.

Petani di Parigi Moutong saat ini mulai menggunakan pupuk organik buatan sendiri.

Di Desa Nambaru sendiri terdapat 340 hektare lahan kakao milik masyarakat yang sudah tergabung dalam Kelompok Tani Maju Bersama.

Luas lahan kakao di Kabupaten Parigi Moutong mencapai 65 ribu hektare yang tersebar di 22 kecamatan dengan jumlah petani sebanyak 39 ribu kepala keluarga.

Sementara luas lahan kakao di Sulawesi Tengah mencapai 221 ribu hektare yang tersebar di 10 kabupaten dan satu kota.

Dengan kembali ke alam diharapkan produksi kakao kian meningkat dengan disertai nilainya yang turut melonjak sehingga berdampak terciptanya kesejahteraan petani.

Dampak pemanasan global yang sebelumnya dikhawatirkan petani diharapkan tidak lagi menjadi ancaman. Caranya yakni dengan kembali alam. (skd)

Pewarta :
Editor : Riski Maruto
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.