Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai partisipasi investor milenial atau generasi muda yang berinvestasi di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) ritel diharapkan menjadi modal bagi pemerintah untuk mengurangi pembiayaan yang bersumber dari luar negeri.
“Ini menjadi modal bagi negara agar lebih mandiri dari sisi pembiayaan pembangunan,” kata Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Deni Ridwan pada peluncuran virtual Obligasi Negara Ritel (ORI) seri 019 di Jakarta, Senin.
Dengan begitu, lanjut dia, manfaat dari investasi dalam SBN ritel itu juga diterima oleh investor dalam negeri.
Deni mencatat pada penerbitan ORI seri 017 menarik 42 ribu orang investor dan ORI seri 018 menarik 26 ribu investor karena pada saat itu mendekati akhir tahun sehingga jumlahnya berkurang.
Dari dua penerbitan SBN ritel itu, lanjut dia, sebanyak 45 hingga 46 persen merupakan investor baru.
Sedangkan jika dicermati dari sisi usia, kisaran 30-40 persen merupakan investor generasi milenial.
Baca juga: Menkeu tegaskan literasi rendah tantangan kembangkan ekonomi syariah
Baca juga: Menkeu ungkap urgensi pembentukan LPI
Meski jumlah investor milenial terbilang banyak, namun ia mengakui dari segi nilai masih lebih kecil dibandingkan investor senior yang menanamkan dananya dalam jumlah lebih besar.
“Ini sesuatu yang positif karena harapannya generasi milenial punya budaya dan kesadaran mengenai manfaat investasi. Ke depan ketika dewasa, penghasilan meningkat, dia akan meningkatkan porsi investasinya,” imbuhnya.
Tahun ini pemerintah berencana menawarkan enam seri SBN ritel yang dijual daring dengan penerbitan pedana ORI seri 019 ini.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan tujuh SBN ritel pada 2020 yaitu SBR009, SR012, ORI017, SR013, ORI018, ST007 dan Cash Waqf SWR001, dengan total perolehan dana mencapai Rp76,93 triliun.
Selain sebagai instrumen investasi yang aman dan menguntungkan, pembelian SBN itu juga digunakan untuk membiayai APBN 2021 termasuk di dalamnya penanganan pandemi salah satunya untuk vaksinasi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang per akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun atau 38,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Persentase itu masih di bawah batas maksimal sesuai UU Nomor 17 tahun 2003 yang mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen.
Dari jumlah utang itu, sebesar Rp5.221,65 triliun bersumber dari penerbitan surat berharga negara (SBN) atau mencapai 85,96 persen, yang terdiri dari domestik atau rupiah sebesar Rp4.025,62 triliun dan valuta asing Rp1.196,03 triliun.
Sedangkan sisanya berasal dari pinjaman sebesar Rp852,91 triliun atau 14,04 persen, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp11,97 triliun dan pinjaman luar negeri Rp840,94 triliun.