Lhasa, Tibet (ANTARA) - Pada pagi buta itu Bandar Udara Internasional Ibu Kota Beijing sangat sibuk. Orang-orang dari berbagai arah berdatangan ke terminal keberangkatan.
Konter-konter check-in sudah dihiasi antrean para calon penumpang, padahal bukan musim liburan.
Antrean makin panjang, sedangkan petugas check-in di bandara terbesar kedua di ibu kota China itu belum juga datang.
Ada satu konter yang lowong. Seorang petugas di konter itu memanggil dengan cara melambaikan tangan.
Jalur bebas antrean terkadang memang diperuntukkan bagi pemegang paspor. Penjaga konter ini sudah tentu bisa bercakap dalam bahasa Inggris, tidak seperti konter-konter lainnya.
"Do you have an invitation letter?" tanya seorang petugas konter tadi.
Pertanyaan tersebut tidak saja sangat mengejutkan. Melainkan juga seakan membangunkan dari mimpi, padahal semalam tak bisa tidur nyenyak karena dini hari sudah harus berangkat ke bandara.
Apakah karena di paspor tertempel visa dan residen permit jurnalis, sehingga petugas konter menanyakan surat undangan?
Lalu dia menjelaskan bahwa siapa saja warga negara asing yang hendak ke Tibet harus menunjukkan surat undangan dari otoritas setempat.
Dua kali ke Xinjiang pada 2019 dan 2021 tidak pernah ditanyakan surat undangan, meskipun saat check-in tidak didampingi oleh pihak pengundang atau otoritas setempat.
Xinjiang dan Tibet merupakan dua daerah otonomi setingkat provinsi di China yang tidak sembarang orang asing bisa berkunjung.
Petugas check-in di bandara Beijing itu tetap saja tidak mau mengeluarkan boarding pass meskipun telah ditunjukkan beberapa formulir isian dari penyelenggara hajatan Xizang (Tibet) Development Forum.
Tidak perlu berdebat dan berargumentasi lebih lama dengan petugas konter check-in maskapai terbesar di China itu, apalagi jika melihat antrean di belakang yang makin panjang dengan wajah-wajah sudah mulai tak sabar.
Meskipun telah dihubungkan dengan pihak pengundang, petugas masih tidak juga bersedia mengeluarkan boarding pass dari Beijing menuju Nyingchi, kota kecil di tengah lembah di tenggara Tibet.
Tidak hanya jurnalis, beberapa diplomat dan akademisi asing juga mendapatkan perlakukan yang sama.
Pihak maskapai berunding sejenak dengan panitia penyelenggara forum yang pada 16 Mei 2023 pagi itu juga sama-sama hendak berangkat ke Tibet dengan para tamu asingnya.
Perundingan singkat itu menghasilkan satu konter di tempat terpisah di terminal kedatangan bandara itu yang dikhususkan bagi delegasi asing yang berjumlah 35 orang dengan latar belakang diplomat, jurnalis, dan akademisi.
Namun masalah belum usai. Saat hendak memasuki lorong pemeriksaan keamanan, terjadi kesalahpahaman antarpetugas bandara itu sendiri. Sampai-sampai delegasi harus berpindah-pindah jalur pemeriksaan karena ada beberapa petugas yang secara terus terang menolak menjalankan tugasnya.
Disiplin dalam menjalankan tugas sangat diperhatikan oleh aparatur di China dan setiap kesalahan harus ditanggung secara personal.
Hal itu yang menyebabkan kenapa di antara mereka saling menolak karena merasa tidak mampu atau takut berbuat salah saat memeriksa beberapa orang berkewarganegaraan asing yang hendak terbang menuju salah satu daerah sensitif di China, yang mayoritas warganya penganut Buddha itu.
Tentu di bayangan mereka adalah sanksi disiplin yang maha berat kalau saja mereka meloloskan orang asing masuk ke wilayah yang sangat terbatas itu secara tidak prosedural.
Super Prioritas
Sejak beberapa bulan yang lalu, otoritas China telah menggencarkan promosi pariwisata Tibet, termasuk bagi wisatawan asing.
Namun insiden yang terjadi di konter check-in bandara Beijing pada Selasa (16/5) pagi buta itu menimbulkan keraguan tersendiri akan dibukanya akses menuju kampung halaman para Dalai Lama tersebut.
Dunia Barat selama ini menyoroti daerah berpenduduk 3,6 juta jiwa itu, khususnya terkait dengan isu-isu hak asasi manusia. Wilayah barat daya di daratan luas Tiongkok yang berbatasan langsung dengan Nepal, Bhuton, dan India itu memiliki sejarah yang sangat panjang dan turut berandil besar terhadap terbentuknya peradaban China.
Jauh sebelum berakhirnya perang saudara yang menandai berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, Tibet merupakan negara yang lebih dulu ada.
Pada 1950, setelah tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) di bawah rezim Komunis berhasil menguasai Tibet terjadilah perundingan dengan pemerintahan Dalai Lama ke-14 yang menegaskan kedaulatan RRC terhadap Tibet sebagai daerah otonomi.
Berstatus otonomi, karena daerah-daerah tersebut mayoritas penghuninya adalah suku-suku minoritas di China. Tibet atau Tibetan merupakan suku minoritas yang menghuni Daerah Otonomi Xizang. Sama halnya dengan Daerah Otonomi Xinjiang yang dihuni suku minoritas Muslim Uighur, Daerah Otonomi Mongolia Dalam sebagai rumah bagi suku minoritas Mongol, dan Daerah Otonomi Guangxi karena mayoritas populasinya dari kalangan suku minoritas Zhuang.
Di Tibet, Dalai Lama tidak hanya pemimpin politik, melainkan juga pemimpin spiritual.
Pada tanggal 10 Maret 1959 meletuslah pemberontakan di Lhasa, ibu kota Tibet, dipicu oleh gerakan revolusi anti-China dan anti-Komunis.
Pemberontakan tersebut menyebar ke berbagai wilayah di daerah setingkat provinsi terluas kedua di China daratan itu.
Dalai Lama ke-14 melarikan diri ke Dharamsala, India, dan membentuk pemerintahan Tibet tandingan.
Sampai saat ini Dalai Lama ke-14 yang juga dikenal dengan nama Tenzin Gyatso masih berada di pengasingannya di India.
Pemimpin spiritual Tibet yang kini berusia 88 tahun itu merupakan satu-satunya Dalai Lama yang mengunjungi dunia Barat.
Pada 1989, Dalai Lama ke-14 itu menerima penghargaan Nobel Perdamaian.
Tibet telah lama menjadi komoditas politik bagi Amerika Serikat dan sekutunya dalam menyerang China. Sama halnya dengan isu-isu terkait pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang. Belakangan isu pemberangusan kebebasan berpendapat di Hong Kong juga menjadi senjata bagi Amerika Serikat dan sekutunya dalam membendung pengaruh China di dunia global.
Saat ini Xinjiang relatif lebih terbuka, apalagi dalam empat hingga lima tahun terakhir seiring dengan pesatnya pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Demikian pula dengan Hong Kong, setelah para aktivis yang selama ini menentang setiap kebijakan Beijing ditangkapi, situasinya telah berangsur normal.
Bagaimana dengan Tibet yang katanya akan memberikan kemudahan akses bagi warga negara asing itu?
Kalau melihat rumitnya proses keberangkatan warga negara asing menuju daerah otonomi khusus di barat daya China yang nama resminya Xizang itu tampaknya belum sepenuhnya terbuka. Pemeriksaan bagi orang asing yang hendak menuju kota-kota di Tibet tidak semudah menuju Xinjiang.
Sejak meletusnya kerusuhan sosial di Lhasa pada 14 Maret 2008 atau lima bulan menjelang pembukaan Olimpiade Musim Panas di Beijing, Tibet belum membuka diri bagi media asing. Kerusuhan yang kemudian meluas ke berbagai kabupaten hingga menewaskan sedikitnya 400 orang itu mengesankan Tibet sebagai daerah terisolasi.
Ketegangan dengan India terkait dengan isu perbatasan yang sampai sekarang masih berlangsung menjadikan keamanan Tibet menjadi super prioritas bagi Beijing. Personel PLA bersenjata lengkap banyak dijumpai berkeliaran di tempat-tempat umum dan objek wisata di Lhasa, ibu kota Tibet.
Banyak ditemukan instalasi dan objek vital militer di wilayah terluar di China itu. Lalu-lalang kendaraan pengangkut logistik militer juga sering kali terlihat di sekitar Bandar Udara Internasional Gonggar, Lhasa.
Tibet surga bagi pelancong. Daerah yang dijuluki "Atap Dunia" karena ketinggian rata-rata di atas 4.000 meter dari permukaan laut itu menyimpan pesona wisata yang melimpah, mulai wisata religi, hingga wisata alam.
Istana Potala, tempat bertakhtanya Dalai Lama dari generasi ke generasi, dan kuil Jokhang di Lhasa tidak pernah sepi pengunjung.
Gunung Himalaya di Tibet bisa didaki dari dua sisi, timur dan selatan. Puncak Namcha Barwa di Kabupaten Nyingchi dan Puncak Qomolangma atau Everest di Kabupaten Shigatze. Kedua sisi puncak tersebut terpisah oleh jarak sekitar 650 kilometer hampir sama dengan jarak Jakarta-Madiun (Jatim).
Tibet yang dibentengi Pegunungan Himalaya dari ujung timur hingga ujung selatan tersebut selalu menarik bagi awak media sebagai bahan eksploitasi liputannya.
Latar belakang sejarah dan situasi politik global menjadikan Beijing sangat berhati-hati dalam memperlakukan Tibet. Namun melalui Forum Pembangunan Tibet di Beijing pada 23 Mei 2023 yang didahului dengan kunjungan lapangan selama tujuh hari oleh 35 delegasi asing, otoritas China ingin menunjukkan bahwa program pembangunan infrastruktur dan pembangunan kapasitas masyarakat Tibet dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan hasil.
Forum tersebut tertunda sekian lama karena semula dilangsungkan pada Oktober 2022, namun dibatalkan setelah muncul gelombang baru kasus positif COVID-19 yang melanda Tibet.
Pameran pariwisata Tibet yang digelar setelah forum tersebut menjadi gebrakan baru dari rezim Komunis hasil Kongres Nasional ke-20 untuk mengikis tuduhan isolasi.
Namun upaya menghapus stigma itu memerlukan bukti nyata dan keseriusan pemerintahan Xi Jinping dalam lima tahun mendatang, terutama untuk mengakhiri era isolasi Tibet karena hanya media-media tertentu saja yang bisa mendapatkan akses masuk ke wilayah yang menjadi pergunjingan internasional tersebut.