Ekonom: Insentif pajak dan daya saing SDM kunci tingkatkan FDI RI
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Yusuf Rendy Manilet menilai insentif pajak dan peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM) jadi kunci untuk meningkatkan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) masuk ke Indonesia.
Menurut Yusuf, hal itu perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi meningkatnya aliran FDI ke ASEAN, kendati Singapura masih di urutan teratas penerima aliran modal tersebut.
“Sebenarnya insentif pajak itu umum dan lumrah dipakai untuk menarik minat investor. Tapi jangan sampai kita terjebak tarif pajak murah dengan negara yang tidak tepat, salah satunya Singapura,” kata ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia itu yang dihubungi di Jakarta, Minggu.
Yusuf menyebut Singapura memang lebih unggul dibandingkan Indonesia soal insentif dan tarif pajak yang relatif lebih rendah.
Namun, ia mengingatkan Indonesia perlu hati-hati agar tidak terjebak perang tarif pajak yang rendah untuk memikat investor jika terus membandingkan diri dengan Singapura.
“Dan sekali lagi kalau komparasi dengan Singapura, harus hati-hati karena Singapura banyak perbedaannya. Ketika kita tidak bisa mengejar dan hanya andalkan tarif pajak yang rendah, khawatirnya kita justru akan menggerus potensi pajak yang seharusnya bisa kita dapatkan. Saya kira itu perlu menjadi catatan,” katanya.
Yusuf menilai Indonesia perlu memberikan insentif yang tepat dan sesuai dengan karakteristik ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, ia tidak menampik Indonesia perlu belajar dari Singapura yang dikenal sebagai hub perdagangan internasional soal efisiensi logistik. Begitu pula soal stabilitas hukum, politik dan HAM Singapura yang relatif lebih unggul.
Yusuf menambahkan, daya saing SDM Indonesia juga perlu ditingkatkan untuk bisa menarik lebih banyak FDI ke Tanah Air.
Terakhir, regulasi yang sesuai dan konsisten juga mendapat sorotan penting untuk bisa menarik minat investasi asing. Menurut dia, penting untuk menciptakan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan investor tetapi di saat bersamaan juga dapat diterima semua kepentingan.
“Artinya konsisten dan dapat diterima itu, dia berlaku tidak hanya pada periode pemerintahan tertentu saja tetapi juga dalam jangka menengah hingga panjang. Dan dapat diterima. Jangan sampai regulasinya bagus untuk menarik investor tapi ada poin-poin yang tidak bisa diterima pekerja. Memang jadi tantangan tapi ya itulah faktanya,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, hal itu perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi meningkatnya aliran FDI ke ASEAN, kendati Singapura masih di urutan teratas penerima aliran modal tersebut.
“Sebenarnya insentif pajak itu umum dan lumrah dipakai untuk menarik minat investor. Tapi jangan sampai kita terjebak tarif pajak murah dengan negara yang tidak tepat, salah satunya Singapura,” kata ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia itu yang dihubungi di Jakarta, Minggu.
Yusuf menyebut Singapura memang lebih unggul dibandingkan Indonesia soal insentif dan tarif pajak yang relatif lebih rendah.
Namun, ia mengingatkan Indonesia perlu hati-hati agar tidak terjebak perang tarif pajak yang rendah untuk memikat investor jika terus membandingkan diri dengan Singapura.
“Dan sekali lagi kalau komparasi dengan Singapura, harus hati-hati karena Singapura banyak perbedaannya. Ketika kita tidak bisa mengejar dan hanya andalkan tarif pajak yang rendah, khawatirnya kita justru akan menggerus potensi pajak yang seharusnya bisa kita dapatkan. Saya kira itu perlu menjadi catatan,” katanya.
Yusuf menilai Indonesia perlu memberikan insentif yang tepat dan sesuai dengan karakteristik ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, ia tidak menampik Indonesia perlu belajar dari Singapura yang dikenal sebagai hub perdagangan internasional soal efisiensi logistik. Begitu pula soal stabilitas hukum, politik dan HAM Singapura yang relatif lebih unggul.
Yusuf menambahkan, daya saing SDM Indonesia juga perlu ditingkatkan untuk bisa menarik lebih banyak FDI ke Tanah Air.
Terakhir, regulasi yang sesuai dan konsisten juga mendapat sorotan penting untuk bisa menarik minat investasi asing. Menurut dia, penting untuk menciptakan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan investor tetapi di saat bersamaan juga dapat diterima semua kepentingan.
“Artinya konsisten dan dapat diterima itu, dia berlaku tidak hanya pada periode pemerintahan tertentu saja tetapi juga dalam jangka menengah hingga panjang. Dan dapat diterima. Jangan sampai regulasinya bagus untuk menarik investor tapi ada poin-poin yang tidak bisa diterima pekerja. Memang jadi tantangan tapi ya itulah faktanya,” kata Yusuf.