Jakarta (ANTARA) - Peringatan Hari Bank Indonesia setiap tanggal 5 Juli bukan hanya momentum simbolik mengenang lahirnya bank sentral, tetapi juga menjadi ruang reflektif atas kontribusinya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat arah pertumbuhan nasional.
Pada tahun 2025 ini, peringatan Hari Bank Indonesia berlangsung di tengah dinamika ekonomi global yang masih penuh tantangan, mulai dari perlambatan ekonomi Tiongkok, proteksionisme negara maju, hingga volatilitas geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter independen, memegang peran strategis dalam mengawal stabilitas harga, menjaga nilai tukar rupiah, memastikan kelancaran sistem pembayaran, serta merumuskan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam konteks semester II 2025, upaya BI semakin krusial untuk mengawal realisasi target pertumbuhan nasional di kisaran 5 persen.
Salah satu indikator paling kasat mata dari keberhasilan peran Bank Indonesia adalah terkendalinya inflasi nasional. Hingga Juni 2025, inflasi tercatat berada di kisaran 2,52 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), selaras dengan target inflasi 2,5 ±1 persen. Kelompok inflasi inti masih terjaga rendah, sementara harga pangan bergejolak berhasil dikendalikan melalui sinergi dengan Tim Pengendali Inflasi pusat dan daerah.
Stabilitas ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif, tanpa mengorbankan daya beli masyarakat. Pada Rapat Dewan Gubernur bulan Mei dan Juni lalu, BI menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) dari 5,75 persen menjadi 5,25 persen. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi atas perlambatan ekonomi global dan sebagai dorongan stimulus bagi sektor riil dan perbankan.
Bank Indonesia juga aktif menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi triple intervention, baik di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), maupun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Meski nilai tukar sempat tertekan hingga menyentuh Rp16.300 per dolar AS pada akhir kuartal I, intervensi BI mampu menjaga fluktuasi agar tetap terkendali, memberikan kepercayaan pada pelaku usaha dan investor.
Untuk menopang pemulihan ekonomi domestik, Bank Indonesia juga memperluas kebijakan makroprudensial longgar. Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) terus diperlonggar untuk mendorong penyaluran kredit oleh perbankan, terutama kepada sektor-sektor produktif, seperti pertanian, industri pengolahan, dan UMKM.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit pada Mei 2025 telah mencapai 10,3 persen yoy, naik dari 8,7 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Dorongan likuiditas yang ditopang kebijakan Bank Indonesia memainkan peran signifikan dalam tren tersebut, terlebih di tengah ketidakpastian global yang cenderung membuat lembaga keuangan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Selain tugas konvensional di bidang moneter, Bank Indonesia juga memperluas perannya dalam transformasi digital sektor keuangan. Penguatan sistem pembayaran digital melalui quick response code Indonesian standard (QRIS) dan perluasan layanan BI-FAST terus mendorong inklusi keuangan dan efisiensi transaksi.
Hingga pertengahan 2025, jumlah merchant yang menggunakan QRIS telah menembus 30 juta, didominasi oleh pelaku UMKM. Transaksi digital di sistem BI-FAST tumbuh hingga 45 persen secara tahunan, menunjukkan percepatan adopsi digital dalam sistem keuangan nasional.
Proyeksi optimistis
Bank Indonesia memproyeksikan bahwa arah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik pada semester II tahun 2025. Optimisme ini didasari oleh berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan tren pemulihan, terutama dari sisi perdagangan luar negeri, konsumsi rumah tangga, serta perbaikan iklim investasi.
Dari sektor eksternal, ekspor nonmigas mencatatkan kinerja yang menggembirakan. Pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekspor nonmigas tercatat sebesar 6,2 persen secara tahunan (year-on-year), meningkat tajam dibandingkan 3,8 persen pada kuartal pertama.
Lonjakan ini sebagian besar didorong oleh meningkatnya permintaan dari sejumlah mitra dagang utama, seperti India, negara-negara ASEAN, serta kawasan Timur Tengah, yang menunjukkan mulai pulihnya aktivitas perdagangan global di tengah pelemahan ekonomi Tiongkok dan ketidakpastian pasar Eropa.
Sementara itu, dari sisi domestik, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mengalami penguatan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang kembali menggulirkan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara, serta percepatan realisasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan.
Ditambah dengan pemberian subsidi untuk sektor transportasi dan energi, kebijakan-kebijakan tersebut menjadi bantalan penting bagi daya beli masyarakat, sekaligus menstimulus permintaan domestik pada paruh kedua tahun ini.
Dari sisi investasi, baik sektor publik maupun swasta, mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Penyesuaian suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, yang kini berada di level 5,25 persen, memberikan ruang bernapas bagi dunia usaha dan memperkuat optimisme pelaku ekonomi terhadap prospek pertumbuhan jangka menengah.
Keyakinan ini juga diperkuat oleh upaya pemerintah dalam mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional serta dukungan kebijakan fiskal yang ekspansif, namun terukur.
Meskipun demikian, tantangan struktural dan risiko eksternal tetap menjadi catatan penting. Konsumsi masyarakat kelas menengah bawah cenderung stagnan, utamanya akibat tekanan inflasi pangan dan upah riil yang belum sepenuhnya pulih. Dunia usaha, terutama sektor manufaktur dan logistik, masih menghadapi beban ongkos operasional yang tinggi, seiring kenaikan biaya distribusi dan energi.
Di sisi lain, ketidakpastian global yang dipicu oleh konflik perdagangan internasional, perang di kawasan Timur Tengah, serta perubahan arah kebijakan moneter di negara-negara maju dapat memicu volatilitas arus modal dan mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Dalam konteks tersebut, konsistensi dan kehati-hatian dalam bauran kebijakan antara Bank Indonesia dan pemerintah menjadi kunci untuk menjaga arah pertumbuhan ekonomi nasional tetap berada pada jalur yang sehat.
Sinergi antara kebijakan moneter yang akomodatif, kebijakan makroprudensial yang inklusif, serta dorongan fiskal yang terukur dan tepat sasaran akan sangat menentukan dalam mengarahkan pemulihan ekonomi Indonesia agar tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga berkelanjutan dan inklusif.
Bank Indonesia memproyeksikan bahwa kinerja ekonomi Indonesia akan membaik pada semester II 2025. Sejumlah indikator menunjukkan arah pemulihan, yakni ekspor nonmigas tumbuh, konsumsi rumah tangga menguat berkat stimulus fiskal, dan investasi mulai bergerak positif.
Meskipun demikian, tantangan masih mengintai. Konsumsi masyarakat kelas menengah bawah cenderung stagnan, tekanan pada dunia usaha masih terasa akibat ongkos logistik tinggi, dan dampak global dari konflik perdagangan serta geopolitik dapat memicu ketidakpastian arus modal.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal. Bank Indonesia mendukung penuh pelaksanaan reformasi fiskal pemerintah melalui kebijakan yang pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan.
Dengan semua perangkat kebijakan tersebut, peran Bank Indonesia ke depan akan semakin penting. Dalam semangat Hari Bank Indonesia, lembaga ini diharapkan terus menjadi jangkar stabilitas ekonomi nasional, sekaligus pendorong pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
*) Dr. M.Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan