Kasus kekerasan terhadap perempuan-anak di Sulteng meningkat

id dp3a

Kasus kekerasan terhadap perempuan-anak di Sulteng meningkat

Kasubbid Perlindungan Hak Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulteng Irmawati Sahi, menyampaikan laporan pada pembukaan pelatihan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan pendekatan kekeluargaan, di Banggai Laut, 10 - 13 Mei 2018. (Ist) (Ist/)

Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, (Antaranews Sulteng) - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat di provinsi tersebut.

"Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Tengah terus mengalami peningkatan," kata Kasubbid Perlindungan Hak Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah Irmawati Sahi, di Parigi Moutong, Rabu.

Irma sapaan akrab Irmawati Sahi memaparkan berdasarkan data yang diinput kabupaten/kota melalui aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) mencatat terdapat 702 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulteng sepanjang tahun 2017.

Berdasarkan data per-kabupaten dan kota, kata dia, Kota Palu menjadi daerah tertinggi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 385 kasus.

Sementara berdasarkan data Survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, menunjukkan Usia Kawin Pertama (UKP) atau pernikahan dini Provinsi Sulteng masih sangat tinggi atau sekitar 20,19 persen dari semua daerah di Sulteng.

Dari situ, katat dia, angka tertinggi adalah Kota Palu sebesar 21,20 persen dan Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) sebesar 19,74 persen.

"Ini menjadi tantangan kita bersama untuk lebih giat dan maksimal mempromosikan dan menyosialisasikan dampak pernikahan dini," katanya.

Dia mengatakan menikah di usia muda atau pernikahan dini menyebabkan banyak hal negatif, diantaranya rentan terhadap perceraian karena tanggung jawab yang kurang, dan bagi perempuan beresiko tinggi terhadap kematian saat melahirkan.

Perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan ketimbang yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggal bisa lima kali.

Ia mengatakan perempuan muda yang sedang hamil berdasarkan penelitian akan mengalami beberapa hal, seperti akan mengalami pendarahan, keguguran, dan persalinan yang lama atau sulit. Kondisi inilah yang menyebabkan ibu yang akan melahirkan bisa meninggal.

Sedangkan dampak bagi bayi, kemungkinannya adalah akan lahir prematur, berat badan kurang dari 2.500 gram, dan kemungkinan cacat bawaan akibat asupan gizi yang kurang karena ibu muda belum mengetahui kecukupan gizi bagi janin, di samping ibu muda juga cenderung stres.

Selain itu, dampak psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau di bawah 20 tahun, secara mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan.

Hal ini, terutama adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga yang baru menikah.

"Pernikahan dini juga berdampak buruk ditinjau dari sisi sosial, yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian," katanya. 

Baca juga: DP3A latih warga advokasi perempuan-anak korban kekerasan