Palu (ANTARA) - Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Tengah menyarankan kepada pemerintah daerah agar pelaksanaan penanggulangan bencana dan pascabencana untuk pemulihan dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak keperdataan penyintas bencana di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo).
"Penanggulangan pascagempa, bukan hanya mengenai hunian tetap, jaminan hidup, stimulan rumah rusak, dan santunan duka, melainkan ada hal lain yang penting yang sangat mendasar untuk diperhatikan," ucap Asisten Ombudsman RI Perwakilan Sulteng Nasrun di Palu, Minggu.
Nasrun menyebutkan terdapat lima komponen hak keperdataan penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan perbankan serta pemberi asuransi.
Lima komponen itu terdiri atas hak keperdataan menyangkut administrasi kependudukan, keperdataan mengenai dokumen pendidikan berupa ijazah, keperdataan mengenai tanah/lahan, hak keperdataan menyangkut dengan tabungan di perbankan dan asuransi, dan terakhir menyangkut dengan perwalian dan perwarisan.
Berdasarkan temuan Omdusman RI Perwakilan Sulteng, menyangkut dengan hak keperdataan atas administrasi kependudukan bahwa pemerintah tidak membuka posko layanan menyangkut dengan penyintas yang kehilangan administasi kependudukan.
Penyintas yang kehilangan KTP, kartu keluarga, buku nikah, akta kelahiran, dan sebagainya. Dokumen itu hilang karena terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi tidak mendapat informasi pemda mengenai hal itu.
"Pernahkah pemerintah di daerah ini membuka posko pengaduan dan layanan mengenai penyintas yang kehilangan administrasi atau dokumen kependidikan berupa ijazah dan lainnya?" kata Nasrun.
Selanjutnya, menyangkut dengan keperdataan atas tanah, pemda dinilai tidak pernah menjelaskan mengenai bagaimana tanah-tanah milik warga penyintas yang terdampak bencana pada tanggal 28 September 2018.
Berikutnya, yang berkaitan dengan perbankan yang menyangkut dengan simpanan dan kredit. Idelanya, pihak perbankan harus berkoordinasi dengan pemda dan pihak-pihak terkait untuk mengcek data korban.
Data korban tersebut kemudian dicocokkan dengan data nasabah. Apabila ada korban bencana yang juga nasabah di bank dan memiliki tabungan, pihak perbankan wajib untuk mengumumkan tabungan korban selama 2 tahun.
"Begitu pula, dengan kredit di perbankan, apabila nasabah meninggal karena terdampa bencana, harus ditanggulangi oleh asuransi bila dalam kreditnya diikutkan dengan program asuransi. Nah, ini harus terbuka dan diketahui oleh publik yang dilakukan oleh perbankan," kata Nasrun.
Terakhir menyangkut dengan perwalian dan perwarisan, pihak perbankan harus proaktif memberikan solusi agar ahli waris bisa menerima warisan bila nasabah terdampak bencana pada tanggal 28 September 2018.
"Misalnya orang tua meninggal karena terdampak bencana, lalu orang tua itu punya tabungan di bank, sementara anaknya masih kecil, maka tentu yang mengurusi hal itu ialah neneknya, sementara neneknya tidak termasuk sebagai ahli waris. Nah, ini butuh proaktif pihak perbankan untuk menyelesaikan masalah ini," katanya.