Ombudsman RI soroti masalah limbah medis semasa pandemi COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyoroti masalah dalam pengelolaan limbah medis pada masa pandemi COVID-19 dalam tinjauannya.
"Kesadaran tentang pengelolaan limbah medis ini belum merata di Indonesia," kata anggota Ombudsman RI Alvien Lie saat menyampaikan keterangan pers mengenai tinjauan Ombudsman RI via daring di Jakarta, Kamis.
Dalam tinjauannya, Ombudsman RI memperkirakan timbulan limbah medis meningkat pada masa pandemi dan menyebutkan bahwa timbulan limbah medis dari kegiatan penanganan COVID-19 saja bisa mencapai 138 ton per hari.
Kendati demikian, menurut Ombudsman, pemahaman pemerintah daerah mengenai pengelolaan limbah medis masih minim dan sebagian daerah belum memiliki peraturan mengenai pengelolaan limbah medis.
"Di beberapa daerah kami menemukan, misalnya, antara Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup memiliki pemahaman yang berbeda tentang limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun)," kata Pelaksana Tugas Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama Substansi 6 Ombudsman RI Mory Yana Gultom saat memaparkan temuan.
Saat melakukan peninjauan ke daerah, Ombudsman masih mendapati tempat penampungan sampah yang tidak berizin dan tidak memenuhi standar serta praktik pengumpulan limbah dari depo tidak berizin.
Produsen alat kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, menurut Ombudsman, belum melakukan upaya konkret untuk mengurangi timbulan limbah medis, yang termasuk kategori B3.
Menurut tinjauan Ombudsman, masih ada penghasil limbah yang tidak mencatat timbulan limbah medis dan penyelenggara pelayanan kesehatan yang tidak melakukan pemilahan limbah medis.
Ombudsman juga mendapati masalah pengelolaan limbah medis berupa metode penyimpanan yang tidak sesuai standar, volume limbah yang melebihi kapasitas tempat penampungan, fasilitas pengolahan yang tidak memadai, pengangkutan yang tidak terjadwal, alat angkut tidak sesuai standar, petugas pengangkut tanpa alat pelindung diri, dan ketiadaan jalur khusus pengangkutan.
Di samping itu, Ombudsman menemukan masalah dalam pencatatan pengelolaan limbah medis dan pengawasan dalam proses pengolahan limbah medis, utamanya di fasilitas yang tidak berizin.
Ombudsman juga menyoroti bagaimana pemerintah daerah tidak memiliki data timbulan limbah medis terperinci, mulai dari volume limbah medis yang dihasilkan, diangkut, sampai diolah.
Beberapa pemerintah daerah, menurut Ombudsman, tidak menindak lanjuti Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan COVID-19.
Surat edaran itu berisi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menangani limbah infeksius dari fasilitas kesehatan, limbah infeksius dari rumah tangga, serta sampah rumah tangga dan sejenisnya.
"Kesadaran tentang pengelolaan limbah medis ini belum merata di Indonesia," kata anggota Ombudsman RI Alvien Lie saat menyampaikan keterangan pers mengenai tinjauan Ombudsman RI via daring di Jakarta, Kamis.
Dalam tinjauannya, Ombudsman RI memperkirakan timbulan limbah medis meningkat pada masa pandemi dan menyebutkan bahwa timbulan limbah medis dari kegiatan penanganan COVID-19 saja bisa mencapai 138 ton per hari.
Kendati demikian, menurut Ombudsman, pemahaman pemerintah daerah mengenai pengelolaan limbah medis masih minim dan sebagian daerah belum memiliki peraturan mengenai pengelolaan limbah medis.
"Di beberapa daerah kami menemukan, misalnya, antara Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup memiliki pemahaman yang berbeda tentang limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun)," kata Pelaksana Tugas Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama Substansi 6 Ombudsman RI Mory Yana Gultom saat memaparkan temuan.
Saat melakukan peninjauan ke daerah, Ombudsman masih mendapati tempat penampungan sampah yang tidak berizin dan tidak memenuhi standar serta praktik pengumpulan limbah dari depo tidak berizin.
Produsen alat kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, menurut Ombudsman, belum melakukan upaya konkret untuk mengurangi timbulan limbah medis, yang termasuk kategori B3.
Menurut tinjauan Ombudsman, masih ada penghasil limbah yang tidak mencatat timbulan limbah medis dan penyelenggara pelayanan kesehatan yang tidak melakukan pemilahan limbah medis.
Ombudsman juga mendapati masalah pengelolaan limbah medis berupa metode penyimpanan yang tidak sesuai standar, volume limbah yang melebihi kapasitas tempat penampungan, fasilitas pengolahan yang tidak memadai, pengangkutan yang tidak terjadwal, alat angkut tidak sesuai standar, petugas pengangkut tanpa alat pelindung diri, dan ketiadaan jalur khusus pengangkutan.
Di samping itu, Ombudsman menemukan masalah dalam pencatatan pengelolaan limbah medis dan pengawasan dalam proses pengolahan limbah medis, utamanya di fasilitas yang tidak berizin.
Ombudsman juga menyoroti bagaimana pemerintah daerah tidak memiliki data timbulan limbah medis terperinci, mulai dari volume limbah medis yang dihasilkan, diangkut, sampai diolah.
Beberapa pemerintah daerah, menurut Ombudsman, tidak menindak lanjuti Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan COVID-19.
Surat edaran itu berisi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menangani limbah infeksius dari fasilitas kesehatan, limbah infeksius dari rumah tangga, serta sampah rumah tangga dan sejenisnya.