Kambing perah potensial penuhi kebutuhan susu nasional
Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Yustina Yuni Suranindyah mengatakan kambing perah potensial memenuhi kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,4 juta ton atau 11 ton per hari.
Yustina di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Selasa, menuturkan kambing perah dapat menjadi salah satu alternatif penghasil susu di Indonesia selain sapi perah.
"Ukuran tubuh yang kecil, cepat dewasa, waktu buntingnya pendek serta prolifik (dapat beranak lebih dari dua ekor) menjadikan kambing cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan modal yang besar," kata dia.
Meski kebutuhan susu nasional mencapai 4,4 juta ton, Yustina menyebutkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi susu nasional baru mencapai 968.980 ton pada 2022 yang dihasilkan oleh 569,43 ribu ekor sapi.
"Kondisi tersebut menunjukkan produksi susu sapi perah belum dapat mencukupi kebutuhan susu nasional," kata Yustina dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu peternakan.
Dengan laju pertumbuhan penduduk disertai meningkatnya daya beli dan minat konsumsi susu kambing, menurut Yustina, produksi susu kambing memiliki potensi besar sebagai tumpuan pendapatan peternak.
Oleh karena itu, ternak ruminansia kecil terutama kambing perah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia.
Dia menyebutkan jenis kambing yang paling dominan di Indonesia pada awalnya adalah kambing kacang dan kambing etawa.
Kambing kacang, merupakan ternak asli Indonesia, yang tersebar di pulau Jawa dan Sumatera, tetapi pendapat lain mengatakan kambing kacang dibawa masuk oleh orang Hindu, kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan dipelihara secara turun-temurun di wilayah Indonesia.
Sedangkan, kambing etawa berasal dari India yang diimpor oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan menghasilkan susu bagi orang-orang Belanda sekitar tahun 1925.
Menurut dia, kambing etawa masuk pertama kali di Pulau Jawa dan dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Yogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo.
Seiring dengan perjalanan waktu terjadi perkawinan silang antara etawa dengan kambing lokal yang menghasilkan kambing peranakan etawa (PE).
Dari aspek genetik, Yustina menuturkan kambing PE memiliki potensi tinggi sebagai penghasil susu dengan produksi susu mencapai 0,96 sampai 1,34 liter per hari selama lima sampai tujuh bulan.
Yustina menambahkan, pada kambing PE, masa laktasi dapat diperpanjang sampai lebih dari satu tahun, dengan cara menunda perkawinan setelah beranak.
"Peternak dapat memanfaatkan kambing laktasi yang sudah tua sebagai penghasil susu dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memperpanjang masa laktasinya, sedangkan induk kambing yang masih muda digunakan untuk tujuan breeding," kata dia.
Di sebagian daerah, susu kambing sudah dikenal sejak lama, salah satunya dengan memanfaatkan kambing hasil persilangan yaitu peranakan etawa sebagai kambing penghasil susu terbaik di daerah tropis.
Meski potensi kambing perah cukup besar, Yustina menuturkan peternak kecil perlu dukungan dengan diperkuat melalui kelembagaan sehingga mampu mengatasi keterbatasan penyediaan bibit.
"Perkembangan ini memerlukan dukungan yang kuat dan pendampingan dari pemerintah termasuk perguruan tinggi dan melembaga agar produktivitas meningkat dan dapat meyakinkan konsumen dengan standar kualitas yang benar," kata dia.
Yustina di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Selasa, menuturkan kambing perah dapat menjadi salah satu alternatif penghasil susu di Indonesia selain sapi perah.
"Ukuran tubuh yang kecil, cepat dewasa, waktu buntingnya pendek serta prolifik (dapat beranak lebih dari dua ekor) menjadikan kambing cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan modal yang besar," kata dia.
Meski kebutuhan susu nasional mencapai 4,4 juta ton, Yustina menyebutkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi susu nasional baru mencapai 968.980 ton pada 2022 yang dihasilkan oleh 569,43 ribu ekor sapi.
"Kondisi tersebut menunjukkan produksi susu sapi perah belum dapat mencukupi kebutuhan susu nasional," kata Yustina dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu peternakan.
Dengan laju pertumbuhan penduduk disertai meningkatnya daya beli dan minat konsumsi susu kambing, menurut Yustina, produksi susu kambing memiliki potensi besar sebagai tumpuan pendapatan peternak.
Oleh karena itu, ternak ruminansia kecil terutama kambing perah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia.
Dia menyebutkan jenis kambing yang paling dominan di Indonesia pada awalnya adalah kambing kacang dan kambing etawa.
Kambing kacang, merupakan ternak asli Indonesia, yang tersebar di pulau Jawa dan Sumatera, tetapi pendapat lain mengatakan kambing kacang dibawa masuk oleh orang Hindu, kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan dipelihara secara turun-temurun di wilayah Indonesia.
Sedangkan, kambing etawa berasal dari India yang diimpor oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan menghasilkan susu bagi orang-orang Belanda sekitar tahun 1925.
Menurut dia, kambing etawa masuk pertama kali di Pulau Jawa dan dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Yogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo.
Seiring dengan perjalanan waktu terjadi perkawinan silang antara etawa dengan kambing lokal yang menghasilkan kambing peranakan etawa (PE).
Dari aspek genetik, Yustina menuturkan kambing PE memiliki potensi tinggi sebagai penghasil susu dengan produksi susu mencapai 0,96 sampai 1,34 liter per hari selama lima sampai tujuh bulan.
Yustina menambahkan, pada kambing PE, masa laktasi dapat diperpanjang sampai lebih dari satu tahun, dengan cara menunda perkawinan setelah beranak.
"Peternak dapat memanfaatkan kambing laktasi yang sudah tua sebagai penghasil susu dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memperpanjang masa laktasinya, sedangkan induk kambing yang masih muda digunakan untuk tujuan breeding," kata dia.
Di sebagian daerah, susu kambing sudah dikenal sejak lama, salah satunya dengan memanfaatkan kambing hasil persilangan yaitu peranakan etawa sebagai kambing penghasil susu terbaik di daerah tropis.
Meski potensi kambing perah cukup besar, Yustina menuturkan peternak kecil perlu dukungan dengan diperkuat melalui kelembagaan sehingga mampu mengatasi keterbatasan penyediaan bibit.
"Perkembangan ini memerlukan dukungan yang kuat dan pendampingan dari pemerintah termasuk perguruan tinggi dan melembaga agar produktivitas meningkat dan dapat meyakinkan konsumen dengan standar kualitas yang benar," kata dia.