"Atas perbuatan tersangka negara mengalami kerugian sekitar Rp5 miliar," ujarnya.
Polda Sulteng tetapkan dua tersangka PETI di Morowali Utara
Palu (ANTARA) - Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) menetapkan dua tersangka kasus pertambangan tanpa izin (PETI) di Kabupaten Morowali Utara.
"Setelah melakukan pemeriksaan puluhan saksi, ahli, penyidik telah menetapkan AT (31) Direktur Utama PT. GPS dan S (46) Komisaris Utama PT. Garuda Perkara Sulawesi (GPS) sebagai tersangka kasus pertambangan tanpa izin di Kabupaten Morowali Utara," kata Kabidhumas Polda Sulteng Kombes Pol. Djoko Wienartono saat kegiatan konferensi pers di Palu, Selasa.
Ia menjelaskan penindakan PT. GPS berdasarkan laporan PT. Bukit Makmur Istindo Nikeltama (PT. Bumanik) yang menduga operasional PT. GPS tidak memiliki izin.
PT. GPS diduga melakukan kegiatan pertambangan nikel yang berada di dalam area wilayah kawasan hutan dan wilayah Izin Usaha Produksi (IUP) PT. Bumanik.
Djoko menyebut penindakan PT. GPS dilakukan tim Ditreskrimsus Polda Sulteng sebanyak dua kali, dengan penindakan pertama pada tanggal 7 Februari 2024 dan penindakan kedua tanggal 25 Maret 2024 di Desa Towara, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.
"Dalam penindakan PETI oleh PT. GPS tanggal 7 Februari 2024, kepolisian menyita 17 unit alat berat excavator, 99 tumpukan material ore nikel, dokumen pertambangan dan surat keterangan tanah (SKT)," katanya.
Sedang untuk penindakan kedua, kata dia, penyidik telah menyita enam unit alat berat excavator, dua unit dump truck roda 10 dan 12 dome atau tumpukan ore nikel.
Ia mengatakan kedua tersangka dijerat pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
"Atas perbuatan tersangka negara mengalami kerugian sekitar Rp5 miliar," ujarnya.
"Atas perbuatan tersangka negara mengalami kerugian sekitar Rp5 miliar," ujarnya.
Selain itu, kata Djoko, tersangka juga dijerat pasal 89 ayat (1) huruf a dan b Undang Undang RI nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan pidana singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.