Polri di persimpangan reformasi dan ujian kepercayaan publik

id Transformasi polri,kepercayaan publik,reformasi birokrasi,transparansi,akuntabilitas,polri,Penegakan hukum

Polri di persimpangan reformasi dan ujian kepercayaan publik

Dialog Publik di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Rabu (8/10). Polri menyatakan diri siap menerima kritik dan terbuka pada masukan publik. ANTARA/HO-Syahganda Nainggolan.

Jakarta (ANTARA) - Transformasi Polri dalam menghadapi perubahan sosial semestinya memang bukan sekadar jargon birokrasi, melainkan bentuk adaptasi nyata terhadap dinamika masyarakat yang kian cepat berubah.

Dalam forum Dialog Publik di Jakarta belum lama ini, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko sempat menegaskan bahwa Polri kini membuka diri terhadap kritik dan saran dari masyarakat.
Pernyataan itu mengandung makna penting bahwa kepolisian tidak lagi menempatkan diri sebagai institusi yang kebal terhadap pandangan publik, melainkan sebagai lembaga negara yang sadar bahwa kepercayaan hanya bisa dibangun lewat transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi dua arah.
Bagi Polri, kritik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses tumbuh dan berbenah untuk menjadi lebih relevan dengan aspirasi masyarakat.
Transformasi yang dilakukan Polri mencakup pembenahan sistem komunikasi, peningkatan profesionalisme personel, serta kesediaan untuk mempercepat respons terhadap perubahan sosial.
Brigjen Trunoyudo mengakui bahwa tugas Polri tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mendukung keberhasilan program-program pemerintah.
Namun, ia menekankan bahwa komunikasi atas program pemerintah tidak bisa dibebankan hanya kepada Polri.
Di sinilah pentingnya kolaborasi antar kementerian dan lembaga (K/L) untuk membangun pemahaman publik yang utuh.
“Ada gap dalam memahami persepsi reality, ini yang harus diisi oleh humas-humas K/L. Jangan sampai diisi oleh penyebar hoaks,” ujarnya tegas.
Pernyataan ini menggambarkan tantangan komunikasi publik di era digital, ketika opini masyarakat sering kali dibentuk oleh narasi yang belum tentu berbasis fakta.
Keterbukaan Polri juga ditunjukkan melalui kesadaran bahwa semua anggota kepolisian bekerja dengan dukungan penuh dari negara dan masyarakat.
“Dari ujung kaki sampai ujung kepala anggota Polri dibiayai oleh negara,” ucap Brigjen Trunoyudo.
Kalimat ini sederhana tetapi sarat makna yang menyiratkan bahwa setiap rupiah yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan, dan setiap tindakan harus mencerminkan nilai-nilai pelayanan publik.
Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan dalam menjaga legitimasi moral di mata rakyat.
Tembok Demokrasi
Dalam perspektif yang lebih luas mengenai reformasi institusi negara, Polri adalah sebagai “tembok demokrasi” yang menghadapi tantangan tidak ringan.
Namun, reformasi tidak boleh berhenti di Polri semata. Sejatinya yang harus direformasi memang bukan hanya Polri, tetapi juga TNI, Kejaksaan, dan lembaga-lembaga kenegaraan dan pemerintah lainnya.
Pandangan ini mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa bertumpu pada satu institusi saja, butuh ekosistem yang sehat, di mana semua lembaga negara memiliki integritas dan kesadaran kolektif untuk berubah.
Gejolak sosial yang muncul pada akhir Agustus lalu bukan semata peristiwa politik, melainkan refleksi dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap negara karena hilangnya harapan akan masa depan yang lebih baik.
Di tengah situasi seperti itu, langkah Polri yang membuka diri terhadap kritik menjadi penting sebagai bentuk pemulihan kepercayaan publik.
Kepercayaan tidak bisa dibeli atau dipaksakan, tapi hanya bisa tumbuh dari komitmen yang konsisten terhadap keadilan dan pelayanan.
Polri layak diapresiasi karena mau mendengar dan berdialog dengan kelompok masyarakat kritis.
Sikap semacam ini menandakan bahwa Polri sedang bertransformasi dari institusi koersif menjadi institusi yang komunikatif dan partisipatif.
Tenaga Ahli Kedeputian I Kantor Staf Presiden, Feri Kusuma pernah memberikan perspektif yang berbeda untuk memperkuat pentingnya komunikasi publik lintas sektor.
Menurutnya, program pemerintah yang terangkum dalam Asta Cita hanya akan berhasil jika dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat.
Banyak kebijakan baik yang gagal dipahami publik karena lemahnya strategi komunikasi antar lembaga.
“Kami mengapresiasi Polri yang terus membangun komunikasi kondusif untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap program-program pemerintah,” ujar Feri.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kehadiran Polri bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyat dalam menjembatani pesan pembangunan.
Terbuka pada Kritik
Transformasi Polri yang terbuka terhadap kritik tidak bisa dipisahkan dari konteks global, di mana lembaga kepolisian di berbagai negara dituntut untuk lebih humanis, transparan, dan kolaboratif.
Polri tampak ingin menegaskan posisinya sebagai lembaga yang tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga memelihara kepercayaan sosial.
Keterbukaan ini sejalan dengan semangat demokrasi modern yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Dalam konteks inilah, pernyataan Brigjen Trunoyudo bahwa Polri terbuka terhadap semua kritik bukan sekadar diplomasi komunikasi, melainkan komitmen institusional untuk terus belajar dan berbenah.
Tantangan ke depan tentu tidak mudah. Dunia digital membuat batas antara fakta dan opini semakin kabur. Narasi yang salah dapat menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi.
Karena itu, membangun literasi publik menjadi bagian dari tanggung jawab bersama antara pemerintah, aparat, media, dan masyarakat sipil.
Polri, dengan jejaring strukturalnya yang luas hingga tingkat desa, memiliki peran strategis dalam memperkuat ekosistem komunikasi publik yang sehat dan berbasis kebenaran.
Reformasi institusi memang harus menyentuh semua aspek negara. Namun, langkah Polri untuk membuka diri terhadap kritik bisa menjadi inspirasi bagi lembaga lain.
Ketika institusi berani mendengarkan suara publik, di situlah fondasi kepercayaan mulai dibangun. Keberanian untuk berbenah bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan.
Sebab, lembaga yang kuat bukanlah lembaga yang tak pernah dikritik, melainkan lembaga yang mampu tumbuh dari setiap kritik yang membangun.
Melalui dialog publik yang lebih sering digelar, Polri bisa menyampaikan kepada publik dan menegaskan bahwa transformasi bukan sekadar kata-kata, melainkan proses panjang menuju tata kelola keamanan yang lebih modern, inklusif, dan berorientasi pelayanan.
Sebuah langkah maju yang layak diapresiasi, karena di tengah derasnya perubahan sosial, institusi yang berani membuka diri dan belajar adalah institusi yang akan tetap dipercaya rakyat.
*) Penulis adalah Direktur Great Institute.


Pewarta :
Editor : Andriy Karantiti
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.