Pemerintah harus jamin tidak ada diskriminasi penanganan korban bencana Sulteng

id KOMNAS HAM

Pemerintah harus jamin tidak ada diskriminasi penanganan korban bencana Sulteng

Ketua KOMNAS-HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary menyerahkan berkas kepada Ketua KOMNAS HAM RI, di Palu. (Antaranews Sulteng/Komnas-HAM Sulteng)

Palu (Antaranews Sulteng) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah menyatakan Pemerintah harus menjamin dan memastikan tidak ada diskriminasi dalam penanggulangan korban pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala serta sebagian Kabupaten Parigi Moutong.

"Otoritas pemerintahan  ada. Namun, harus menjamin dan memastikan bahwa tidak ada pengabaian dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti perempuan, orang yang dimata elit   sebagai ‘penduduk naturalisasi’ didaerah ini, warga masyarakat berkebutuhan khusus (cacat/kaum difabel, orang berusia lanjut, dan seterusnya," ucap Ketua KOMNAS-HAM RI Perwakilan Sulteng Dedi Askary, di Palu, Jumat.

Dalam keterangan tertulisnya, Dedi Askary menyebut Pemerintah Sulteng harus berani ambil langkah dan program afirmatif atasi dominasi pemerintah Pusat, Jakarta, dalam penangan korban bencana alam di Sulteng.

Tindakan dan program afirmatif, menurut dia, menjadi tindakan dan program positif,  di luar dari tindakan dan program yang umum dilakukan dalam tatalaksana penanggulangan korban bencana alam di Palu, Sigi dan Donggala dan Parigi Moutong. 

Utamanya bagi korban yang terdampak langsung, terkhusus bagi mereka wilayah atau tempat tinggal mereka setelah gempabumi, tsunami dan likuefaksi wilayah tempat tinggal mereka  ‘diklaim berada di areal ZRB4 Palu’.

Karena itu, sebut dia, mempertahankan pola-pola yang ada sekarang, dipastikan hanya semakin memperburuk potensi kerentanan yang bakal terjadi, dan  menimpa korban yang hingga kini semakin nyata terlihat dan nyata dirasakan oleh masyarakat  terdampak bencana, sehingga  terus bertahan ditenda-tenda pengungsian mandiri.

Tenda itu mereka usahakan sendiri dari semenjak awal bencana alam menghatammasyarakat lembah dan Pesisir Teluk Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong.

"Mereka-mereka yang terdampak dan terus bertahan ditempat pengungsian, termasuk mereka-mereka yang telah pindah dan menempati huntara. Rata-rata kolompok masyarakat terdampak yang sama sekali tidak memiliki aset-aset penghidupan,  yang dapat diandalkan untuk dijadikan tumpuan hidup dan membangun masa depan mereka,” kata Dedi Askary.
 

Ketua KOMNAS-HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary meninjau langsung penanggulangan korban bencana Sulteng, khususnya pembangunan huntara dan infastruktur pendidikan pascabencana di Desa Lolu Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. (Antaranews Sulteng/Komnas-HAM Sulteng)


Karena itu, kata dia, program dan tindakan afirmatif penting dan segera dilakukan, minimal dimulai dengan merubah pola hubungan dan pola komunikasi yang lebih baik dengan semua pihak.  Utamanya dengan masyarakat yang terdampak langsung dan organisasi masyarakat sipil yang acap kali menyampaikan saran, kritik secara kritis dan tajam bahkan penuh gelora dan meledak-ledak.  Tidak jarang hal serupa (model menyampaian serupa) datang dari masyarakat yang terdampak itu sendiri.

"Ini bukan soal menyangkut ber-etika atau tidak beretika.  Harus dipahami, dalam situasi yang ada mereka adalah pemangku hak.  Berhak untuk tau dan menyuarakan hal-hal menyangkut pemenuhan hak mereka.,” sebut dia.

Dedi Askary menegaskan hal itu menyangkut masa depan penghidupan korban. Olehnya, selaku pemangku kewajiban, otoritas penyelenggara pemerintahan yang ada, mestinya lebih bijak merespon semuanya.

Kata dia, jangan sekali-kali beri respon yang justru semakin memperluas batas dembarkasi dengan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil. Pemprov Sulteng perlu pastikan metode yang tepat, rangkul semuanya, bila perlu bersatu dalam sikap dan kegiatan yang bersifat kolaboratif.

“Upayakan Jakarta atau pihak-pihak yang hendak membantu, bermain dipapan catur lokal yang mengedepankan ke-sejarah-an dan pengetahuan lokal yang hidup ramah dengan bencana,” sebut dia.

Ia menambahkan melakukan tindakan afirmatif diperlukan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan institusional, karena tindakan-tindakan atau pola hubungan yang nampak saat ini, cenderung mengabaikan keberadaan masyarakat.

Lanjut dia,  tujuan utama dari tindakan afirmatif adalah untuk menciptakan akses dan ketersediaan secara cepat, dengan cara-cara yang bermartabat bagi kaum perempuan dan kelompok minoritas di bidang pemenuhan permukiman dan perumahan yang layak, pendidikan, pekerjaan atau penyediaan segera aset-aset penghidupan masyarakat yang terdampak bencana.

“Minimal ada pelibatan secara aktif dalam setiap forum-forum perencanaan atau setidak-tidaknya  pelibatan secara aktif ketua-ketua  forum korban,  yang menyebar dibanyak tempat dihampir semua kelurahan dan desa yang ada di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong,” kata Dedi Askary menambahkan.