Keberpihakan Pembiayaan Sektor Agribisnis-Kelautan

id agribisnis kelautan

Keberpihakan Pembiayaan Sektor Agribisnis-Kelautan

Sulimah (40), sedang memperbaiki perahu dengan dana bantuan langsung berupa PUMP yang diterimanya tahun 2011. Sulima menerima bantuan berupa mesin 5,5 PK dan alat tangkap gill net permukaan. (Istimewa/DKP Sulteng)

Rencana Pemerintah untuk segera melahirkan bank khusus yang kewajibannya antara lain membiayai sektor agribisnis dan kelautan sudah menjadi satu tuntutan dan mutlak segera diwujudkan.
Empat faktor setidaknya mempengaruhi percepatan pengembangan sektor agribisnis dan kelautan di Republik ini yakni ketersedian SDM berdaya saing, dukungan infrastruktur, sistem logistik dan distribusi, serta dukungan pembiayaan.  

Ketersedian SDM berdaya saing, pengembangan infrastruktur dan pengembangan sistem logistik dan distribusi telah mendapat perhatian serius dari Pemerintah melalui sejumlah regulasi agar dapat mendorong percepatan pembangunan agribisnis dan kelautan di negerik ini, namun dukungan pembiayaan dari perbankan untuk mendorong sektor ini dirasakan masih minim.

S1alah satu sebab minimnya dukungan pembiayaan itu karena perbankan terikat dengan aturan  harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap dana pinjaman yang disalurkan, ditambah lagi bahwa usaha di sektor agribisnis dan kelautan oleh kalangan perbankan masih dipandang sebagai usaha high risk (berisiko tinggi).

Terkait dengan minimnya pembiayaan, maka Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terpaksa mengeluarkan regulasi berupa bantuan langsung maupun subsidi kepada masyarakat yang berusaha di sektor agribisnis dan kelautan yang tujuannya sebagai stimulan.

Wujud dari bantuan itu berupa sarana-prasarana seperti kapal ikan dan alat tangkap, pencetakan sawah, hand tracktor, subsidi benih, sampai kepada modal kerja kepada kelompok.
 
Pemerintah tentunya tidak dapat memfasilitasi secara keseluruhan kebutuhan masyarakat karena keterbatasan dana. Regulasi ini juga oleh sebagian kalangan dipandang tidak mungkin dijalankan untuk jangka panjang karena dapat menurunkan daya saing dan kemandirian pelaku usaha di sektor agribisnis dan kelautan.

Karena itu Pemerintah bersama perbankan diharapkan dapat menemukan format baru dalam skim pembiayaan agar dapat mendorong percepatan pengembangan sektor agribisnis dan kelautan.  Sudah menjadi tugas bersama untuk menciptakan kondisi bahwa sektor agribisnis dan kelautan bukan lagi sektor yang high risk, tetapi menjadi salah satu sektor yang prospektif dan profitable, seperti yang berlangsung di beberapa negara Asean lainnya. Target ini menurut penulis bisa digapai.

Dukungan Pembiayaan

Data yang dirilis dari harian Kompas (Infotorial Perbankanl 17 April 2013) menyebutkan bahwa pada 2012 jumlah pinjaman yang beredar di Republik ini untuk membiayai sejumlah sektor sebesar Rp2.688,141 triliun yang terdiri dari sektor (1) Pertanian, perkebunan, kehutanan sebesar Rp142,151 triliun, (2) Sektor perikanan Rp5,492 triliun, (3) Sektor industri pengolahan Rp445,807 triliun, (4) Sektor pertambangan dan galian sebesar Rp104, 207 triliun dan sisanya untuk sektor-sektor lainnya sebesar Rp1.990,484 triliun.

Data itu menunjukkan porsi pinjaman sektor agribisnis dan kelautan sebesar Rp147,643 triliun rupiah atau 5,49 persen. Angka ini tentunya dinilai kecil bila disandingkan dengan besarnya potensi sumberdaya agribisnis dan kelautan yang dimiliki negeri ini.

Belum lagi kalau dilihat pendistribusiannya yang cenderung lebih besar di kawasan barat serta lebih berpihak pada usaha agribisnis-kelautan berskala besar. Selain itu bunga pinjaman dirasakan masih tinggi yang dapat mencapai 15 persen pertahun dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya 6 persen.

Agunan juga merupakan salah satu hambatan bagi pelaku usaha untuk mengakses perbankan, sehingga lengkaplah sudah kesulitan yang dihadapi oleh pelaku usaha agribisnis dan kelautan. Berbeda dengan kebijakan pembiayaan di Malaysia dan Thailand, perbankan lebih menekankan kepada garansi inovasi dari pada agunan dalam membiayai sektor agribisnis dan kelautan.

Regulasi

Potensi ekonomi sektor agribisnis dan kelautan di Republik ini sangat luar biasa. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa potensi ekonomi dari perikanan saja (tidak termasuk kelautan) dapat mencapai 100 miliar dolar Amerika Serikat pertahun (Dahuri, 2009) atau 60 persen dari APBN 2012, dan bila dihitung dengan potensi kelautannya termasuk cadangan gas, mineral dan minyak yang berada di dasar laut, jasa lingkungan termasuk marine tourism, serta harta karun nilainya mencapai 10 kali dari anggaran APBN, sebuah nilai yang sangat spektakuler.

Karena itu sangat beralasan kalau McKINSEY (2012), seorang ekonom dunia dalam bukunya Menyongsong Kekuatan Ekonomi ke-7 Dunia memprediksi bahwa pada 2030 dengan antara lain memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan secara berkelanjutan, Indonesia berpotensi menduduki posisi ke-7 dalam jajaran ekonomi terkuat dunia, menggeser Inggris dan Perancis.

Oleh karena itu apapun yang dilakukan terhadap sektor agribisnis dan kelautan kalau tidak diikuti dengan regulasi pembiayaan, maka kita hanya sampai kepada: "bangga karena memiliki potensi SDA yang luar biasa" namun tidak akan pernah menikmati potensi yang besar itu bagi kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.

Rencana Pemerintah untuk segera melahirkan bank khusus yang kewajibannya antara lain  membiayai sektor agribisnis dan kelautan sudah menjadi satu tuntutan dan mutlak segera diwujudkan, karena sektor agribisnis dan kelautan adalah sektor yang spesifik yang memerlukan penanganan tersendiri. Rencana ini tentunya akan bersinergi dengan Undang-undang Pangan yang telah disahkan, dan sebentar lagi akan lahir undang-undang yang mengatur tentang Kelautan (Marine Policy). Lahirnya tiga regulasi ini diharapkan menjadi mementum percepatan pembangunan sektor agribisnis dan Kelautan.

Sulawesi Tengah

Sejajar dengan Provinsi maju di timur Indonesia di bidang agribisnis dan kelautan melalui sumberdaya manusia berdaya saing di 2020 merupakan visi yang pas untuk mensejahterahkan masyarakat Sulawesi Tengah, karena daerah ini memiliki potensi yang dominan di sektor itu.  

Luas daratan 63.000 km2 dan luas wilayah laut sebesar 193.000 km2 serta panjang garis pantai 4.013 km dilengkapi 1.420 pulau kecil menjadikan daerah ini memiliki luas terbesar di kawasan Sulawesi atau sekitar 38 persen. Namun potensi ini belum termanfaatkan secara optimal, olehnya format baru untuk pembiayaan sektor agribisnis dan kelautan di provinsi ini perlu segera dirumuskan.

Ada dua subjek pembiayaan untuk sektor agribisnis dan kelautan. Pertama adalah kelompok labour intensive atau biasa disebut UMKM (Usaha Mikro Kecil dan menengah), dan kedua adalah kelompok capital intensive atau pelaku usaha sekala besar. Kelompok pertama jumlahnya sangat besar secara nasional mendekati angka 98 persen dengan tingkat kesulitan yang tinggi dikaitkan dengan pembiayaan, dimulai dari terbatasnya penguasaan teknologi, ketersediaan anggunan sampai kepada kemampuan manajerial.

Kelompok kedua jumlahnya secara nasional hanya sekitar 2 persen namun memberi kontribusi produksi untuk beberapa komoditi sekitar 80 persen. Kedua kelompok ini tentunya harus di dorong bersama-sama agar pertumbuhan ekonomi kita semakin berkualitas, hanya kelompok pertama perlu perlakuan intervensi pemerintah dalam hal teknologi, ketersediaan agunan dan manajerial. Selanjutnya kelompok kedua hanya memerlukan fasilitasi.

Menutup ulasan ini, maka keberadaan Fokus Group Diskusi atau biasa disebut FGD baik formal maupun nonformal untuk membedah persoalan ini dan mencari solusi dipandang penting dan perlu ditumbuhkembangkan. SEMOGA.
* Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah.