Gojang-ganjing ekspor lobster, mengawinkan pihak pro dan kontra

id hasanuddin atjo,ekspor lobster

Gojang-ganjing ekspor lobster, mengawinkan pihak pro dan kontra

Dr Ir H hasanuddin Atjo, MP, Ketua Ispikani Sulteng dan Ketua SCI Sulawesi (ANTARA/HO-dokumen pribadi)

Palu (ANTARA) - Wacana membuka kembali ekspor benih lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo ramai dibicarakan dan menjadi viral di media sosial. Ada yang pro dan ada yang kontra. 

Saya sebagai pembudidaya udang dan sekaligus bagian dari regulator di daerah, juga terpancing untuk berpendapat dengan wacana tersebut.

Peraturen Menteri KP Nomor 56 tahun 2016 di era Menteri Susi Pujiastuti tentang larangan penangkapan dan pengeluaran lobster, kepiting dan rajungan di saat itu, juga mendapat tanggapan dari pihak-pihak yang mendukung dan menolak. 

Di satu sisi Menteri KP Susi Pujiastuti melarang menangkap dan memperdagangkan lobster di bawah ukuran 200 gram termasuk benih dan lobster bertelur. Regulasi ini di satu sisi menjaga kelestarian benih dan suply lobster dewasa, namun di sisi lain pengembangan teknologi budidaya di saat itu kurang menjadi perhatian.

Larangan menangkap dan memperdagangkan lobster mulai ukuran kurang dari 200 gram termasuk benihnya, memberi peluang terbangunnya penangkapan dan perdagangan ilegal alias penyelundupan lobster terutama benihnya. Pasalnya harga lobster dewasa di pasaran internasional sekitar 0.8-1 juta rupiah per kilogram. Selain itu membenihkan lobster secara artifisial secara komersial belum berhasil.

Vietnam adalah negara yang sukses dalam membudidayakan lobster namun kesulitan benih. Tingkat kelangsungan hidup benih lobster yang dibudidayakan bisa mencapai 70 persen. Oleh karena itu mereka berani membeli benih lobster dengan harga yang cukup mahal bisa mendekati 100 ribu rupiah per ekor, dan harga di tingkat nelayan dibeli oleh pedagang ilegal bisa Rp20.000 rupiah per ekor. 

Kalau di kalkulasi seorang nelayan penangkap benih lobster dapat mengumpulkan 1.000 ekor dalam sehari maka pendapatannya bisa mencapai 20 juta rupiah per hari. Dan tiba di Vietnam bisa mencapai 5 kali lipat. 
Benih lobster ini kemudian dipelihara dengan tingkat kelangsungan hidup 70 persen dan dalam waktu enam bulan ke depan diperoleh produksi sekitar 350 kg, maka harga penjualannya bisa mencapai Rp300 juta rupiah. Karenanya meskipun dilarang dan diawasi, praktek ilegal itu tetap tumbuh subur meskipun beresiko.

Dua pendapat yang berbeda yaitu satu melarang dan satu membuka, menurut kacamata saya, seyogianya 'dinikahkan' saja dengan beberapa opsi antara lain; (1) Tetap ditutup tetapi kembangkan budidayanya dan beri kesempatan kepada investor Vietnam berinvestasi di Indonesia agar ada transformasi; (2) Buka tutup penangkapan dan perdagangan. Di saat musimnya, boleh ditangkap dan diperdagangkan, namun pengembangan budidaya juga tetap diprioritaskan termasuk investasi dari Vietnam. Semoga bermanfaat. (Ketua Ispikani Sulteng dan Ketua SCI Sulawesi). Semoga ada manfaatnya.