Benih lobster alias emas hitam, apa yang harus diintervensi

id Hasanuddin Atjo,lobster

Benih lobster alias emas hitam, apa yang harus diintervensi

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)

perlu dipertimbangkan itervensi pemerintah untuk meningkatkan kelangsungan hidup nauplisoma sampai ke dewasa
Palu (ANTARA) - BENIH Lobster hingga kini masih menjadi tranding topik di sejumlah media. Mulai televisi, media online, cetak sampai ke media sosial. Padahal, wacana membuka kran ekspor benih emas hitam ini oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo sudah berlangsung hampir sepuluh hari. 

Biasanya sebuah isu penting paling lama berlangsung viral dalam kurun waktu satu minggu.
 
Ini semua dikarenakan nilai ekonominya yang begitu fantastis, masyarakat nelayan penangkap benih dan pembudidaya yang tidak terberdayakan akibat Permen 56 Tahun 2016, isu konservasi lobster karena belum dapat dipijahkan secara buatan. Ditambah lagi provokasi harga yang menggiurkan. 

Menyebabkan lagu 'benih lobster' menjadi pilihan para 'pendengar radio' yang masih bertahan di papan atas.
 
Tidak heran banyak yang ikut berpendapat mulai masyarakat biasa, 'kuli tinta', ahli perikanan, ekonom, pejabat dan mantan pejabat publik, sampai Presiden Joko Widodo pun. 

Fenomena ini tidak mengapa, justru lebih bagus lagi karena sudah menerapkan pendekatan 'penta heliks' yaitu ada pemerintah, akademisi, pengusaha, komunitas dan media. 

Harapannya terbangun keterbukaan dan rasa memiliki bilamana regulasi tentang 'emas hitam' ini sudah terlahirkan.
 
Isu emas hitam ini harus ada muaranya agar segera dilakukan langkah-langkah operasional di daerah. 

Pertanyaan kemudian intervensi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah yang memegang mandat regulator, fasilitator dan eksekutor. Apakah cukup hanya dengan regulasi membuka kran ekspor dengan sistem kuota, mengembangkan budidaya di masyarakat yang diikuti dengan juklak dan juknis sebagaimana biasanya?.

Baca juga: Gojang-ganjing ekspor lobster, mengawinkan pihak pro dan kontra
Baca juga: Keluar dari pikiran yang terperangkap, kaitannya dengan Permen KP 56/2016


Merilis pandangan sejumlah pakar lobster Indonesia bahwa ada empat fase dari siklus hidup lobster sebelum mencapai dewasa yaitu nauplisoma, filosoma, puerulus, juvenil (lobster muda). Nauplisoma dan filosoma adalah yang paling kritis karena masih bersifat planktonik atau melayang. Fase puerulus dan juvenil berada di perairan pantai dan inilah yang ditangkap oleh nelayan untuk diperdagangkan atau dibudidayakan secara ilegal berdasarkan permen 56 tahun 2016.

Dari ulasan di atas perlu dipertimbangkan itervensi pemerintah untuk meningkatkan kelangsungan hidup nauplisoma sampai ke dewasa yang di alam diperkirakan kurang dari satu persen bahkan ada yang berpendapat hanya 0,1 persen.

KKP bersama UPT-nya dan DKP dengan UPTD-nya yang memiliki infrastruktur perbenihan pantai kiranya bisa berperan memelihara larva filosoma menjadi puerulus dan juvenil dengan teknologi yang lebih modern dan terukur antara lain menggunakan teknologi RAS (Resirculating Aquacultur System). 

Juvenil inilah yang kemudian dapat dibudidayakan dan diperdagangkan. Pleusema yang lolos secara alami ke perairan pantai menjadi puerulus dan juvenil diperbolehkan di tangkap oleh nelayan.

Fungsi infrastruktur perbenihan UPT Pusat dan UPT Daerah disamping menghasilkan puerulus dan juvenil, juga wahana untuk seleksi induk bagi keperluan perbenihan nantinya dan keperluan restocking calon induk lobster menjaga kelestarian. Dan bila pemerintah telah berhasil melakukan upaya ini, maka peran ini diserahkan ke swasta.

Harapan kita semua kiranya regulasi terkait dengan pengembangan industri lobster di Indonesia bisa melahirkan solusi win win untuk menuju Indonesia Hebat 2045 dengan pendapatan per kapita sekitar 23.000 dolar US dari 4.000 dolar US tahun 2018. Semoga!