Management by accident versus by planning

id hasanuddin atjo

Management by accident versus by planning

Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP, Kepala Bappeda Sulteng (ANTARA/Rolex Malaha)

Palu (ANTARA) - Seperti biasa, pada Jumat subuh 3 Januari 2020 saya sudah bangun pukul 04.00 Wita. Langsung membuka Channel TV dan kebetulan CNN dalam acara Breaking News-nya sedang siaran ulang dengan topik 'Melihat Jurus Atasi Banjir Jakarta.'

Saya kemudian tetap di chanel itu karena tertarik mengikuti salah satu sorotan terkait manajemen by accident dan by planning. Secara umum di Indonesia kita membuat sebuah skenario penanggulangan setelah ada kejadian yang dipandang sudah mengancam.

Berbeda dengan di negara lain seperti Malaysia dan Singapura bahwa skenario penanggulangan sebuah problem dibuat berdasarkan sebuah planning yang terstruktur dan terukur.

Saya kemudian bertanya dalam hati mengapa kita di Indonesia umumnya merencanakan sesuatu setelah ada kejadian, setelah menjadi masalah. 

Saya teringat pembangunan sebuah rumah sakit di sebuah kawasan baru di suatu daerah. Awalnya jalan masuk ke rumah sakit tersebut kosong-melompong. Kemudian secara perlahan di sisi kiri kanan jalan masuk itu mulai berdiri bangunan liar oleh masyarakat untuk berjualan. 

Dalam waktu yang singkat jalan masuk di sisi kanan dan kiri hampir terisi penuh. Respon dari pemerintah setempat dan pihak rumah sakit baru terlihat setelah muncul keberatan dari sejumlah orang tentang keberadaan bangunan liar tersebut yang telah menimbulkan kemacetan menuju rumah sakit.

Dua kasus di atas yaitu banjir Jakarta dan jalan menuju rumah sakit adalah pembenaran terhadap stigma bahwa kita merencanakan lebih disebabkan oleh accident (kecelakaan). Kemudian timbul perencanaan mengapa demikian? Apakah karena kurang kepekaan dan kepedulian apakah karena stakeholders yang terlibat dalam perencanaan masih terbatas?.

Baca juga: Melahirkan generasi yang bukan 'kaleng-kaleng'
Baca juga: Di permukaan maupun di dasar idealnya sama


Beberapa hari lalu saya menulis artikel di medsos dan dirilis oleh beberapa media dengan topik 'Kepemimpinan Triple Heliks ke Penta Heliks'. Intinya selama ini kita dalam merencanakan hanya melibatkan ABG yaitu Akademisi, Bisnisman dan Goverment seharusnya sudah lebih luas lagi bergeser menjadi ABCGM yaitu melibatkan Akademisi, Busnisman, Komunitas, Goverment dan Media yang telah diterapkan di negara maju seperti Jepang dan Korsel. Dan pendekatan ABG inilah yang diduga menjadikan kita terbatas akan informasi dan ide sehingga lambat merespon sampai kepada manajemen by accident.

Keluar dari persoalan di atas, kesemuanya kembali kepada kapasitas dan kualitas kepemimpinan di daerah. 

Pilkada 2020 adalah kesempatan terakhir untuk melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas dan memiliki reputasi sukses. Mereka akan berorientasi kepada pendekatan 'penta heliks' akan berorientasi kepada manajement by planning bukan by accident. Serta memiliki 'konteks dan konten'. 

Minggu depan kita akan mendiskusikan makna konteks dan kontent itu seperti apa. Mengingat Sabtu dan Minggu waktu untuk yang lain. Semoga.