Menelisik nasib seniman Sulteng di masa pandemi
Palu (ANTARA) - Seniman Sulawesi Tengah, Fathuddin Mujahid atau Udhin FM, seketika mengubah kafe miliknya menjadi tempat "nongkrong" para seniman dan budayawan di Kota Palu.
Kafe yang biasanya ramai dengan pengunjung umum itu, tiba-tiba menjadi posko bagi para seniman dan budayawan. Di sana mereka berkumpul, pentas, diskusi, hingga merancang skema baru bagi dunia seni dan budaya sebagai jalan keluar dari krisis pandemi COVID-19.
Itu terpaksa dilakukan sebagai alternatif tempat berkumpulnya para seniman karena sebelumnya infrastruktur seni budaya di kota itu ikut porak-poranda setelah diguncang gempa 7,4 skala richter pada 28 September 2018.
"Pascagempa, tsunami, dan likuifaksi, kita nyaris kehilangan segalanya. Itu belum berlalu, kita diterpa lagi pandemi COVID-19. Tidak ada lagi tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan. Di kafe inilah sementara kita jadikan markas," kata Udhin.
Saat gempa disusul tsunami dan likuifaksi menerjang Kota Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, infrastruktur banyak yang rusak parah. Sarana dan prasarana kesenian di sejumlah sekolah juga ikut hancur. Siswa pun akhirnya kehilangan tempat dan alat berekspresi.
Kegiatan berkesenian siswa, kini justru lumpuh setelah semua kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Tidak ada lagi latihan menari di sekolah, latihan olah vokal, musik, dan gerak.
"Belajar berkesenian kita di sekolah nyaris tidak ada lagi," katanya.
Taman Budaya Sulawesi Tengah, yang biasanya menjadi tempat para seniman beraktivitas nyaris hilang diterjang tsunami. Seluruh sarana dalam Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tengah itu rusak.
Meski sudah dibangun kembali dan Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Tengah telah berkantor di Taman Budaya itu, belum bisa mengembalikan sepenuhnya situasi seperti dulu, sebelum gempa menghajar Kota Palu dan sekitarnya.
Menurut Udhin FM, kondisi dunia seni dan budaya di Kota Palu, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan bencana, kini pandemi datang mendera.
"Pandemi sangat berpengaruh hampir semua sektor, bukan hanya mengganggu persoalan berkesenian saja," kata Udhin.
Menurut seniman perupa itu, hampir semua seniman di Kota Palu mengeluhkan situasi dan kondisi saat ini. Namun apa daya, kondisilah yang memaksa untuk menerima kenyataan, sebab berharap kepada pemerintah daerah pun, pemerintah daerah juga mengalami hal yang sama sehingga banyak anggaran dialokasikan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Dia mengatakan pelaku seni telah melakukan sejumlah pendekatan ke pemerintah daerah agar mendapat dukungan anggaran sehingga aktivitas seni terus berjalan meski di tengah pandemi, tetapi usaha itu sia-sia karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah.
"Alasan pemerintah daerah bahwa semua mata anggaran banyak dialokasikan untuk mencegah penyebaran COVID-19," katanya.
Sementara di sisi lain kata Udhin, seniman di Sulawesi Tengah belum bisa mandiri secara ekonomi sehingga masih perlu ditopang dari pihak lain untuk berkegiatan seni. Selain itu juga tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.
Selama pandemi bahkan pascagempa, Udhin mengaku baru bisa mementaskan karya seninya sekali pada 27 Desember 2020. Ia mementaskan sebuah karya instalasi yang meramu tari, rupa dan musik bertajuk "Siklus 25 (Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)". "(Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)" yang artinya, "mau bilang apa? bilang saja".
Keinginan warga itu kemudian dituliskan di atas kain spanduk panjang.
Pentas itu ia lakukan dalam merespons hasil Pilkada 2020 khususnya kepada gubernur dan wali kota terpilih. "Siklus 25 (Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)" mendapat sambutan positif dari publik, terlihat dari banyaknya warga yang menuliskan keinginan mereka di atas kain spanduk tersebut.
Pentas virtual
Sebagai upaya mempertahankan eksistensi berkesenian, kata Udhin, sejumlah seniman telah mencoba melakukan kegiatan pentas secara virtual, namun hasilnya tidak memuaskan.
"Kegiatan secara virtual itu semacam ada sesuatu yang hilang. Mereka kehilangan penonton," katanya.
Dia mengatakan pertunjukan secara virtual umumnya hanya diikuti antar para pelaku seni sehingga karya-karya yang dihasilkan tidak berimplikasi secara sosial, politik dan ekonomi.
Lesunya aktivitas seni juga dialami Bengkel Seni Pitate. Bengkel seni mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Untad) Palu ini yang biasanya memiliki tiga kegiatan tahunan, justru selama pandemi tidak ada kegiatan pertunjukan.
"Kami punya tiga kegiatan tahunan, Prokem (Proyeksi Kreatifitas Mahasiswa), Pitate Park dan Pitate Camp, hampir setahun ini tidak ada kegiatan yang terlaksana," kata Shavira, pengurus Bengkel Seni Pitate.
Shavira mengatakan tidak adanya kegiatan tersebut salah satunya karena imbas dari pandemi COVID-19.
Pitate adalah salah satu bengkel seni paling aktif di Untad. Sejak dibentuk Juli 1996, lembaga seni ini telah memiliki 585 anggota dari 26 kali rajutan.
Meski tidak ada pertunjukan, organisasi seni ini hanya menggelar diskusi internal pengurus dan benah-benah kelembagaan.
Peluang masa pandemi
Budayawan Sulawesi Tengah Uun Pagessa mengakui sepinya aktivitas di bidang seni dan budaya di era pandemi bahkan hampir tidak ada karya yang dihasilkan di masa sulit ini.
"Aktivitas itu sudah jatuh dan sangat menurun setelah gempa, walaupun ada kegiatan tetapi itu berkaitan dengan kegiatan kebencanaan, bukan dalam bentuk murni karya seni budaya," katanya.
Menurut Uun, setidaknya dua faktor penyebab terhentinya aktivitas seni dan budaya tersebut yakni rusaknya infrastruktur pendukung seni budaya akibat gempa, tsunami, dan likuifaksi.
Kedua kata dia, karena dampak ekonomi yang menurun sehingga berimplikasi terhadap dana-dana produksi dan biaya kreatif yang lain.
Dia mengatakan mereka yang berkarya di masa pandemi COVID-19 ini karena masih mendapat dukungan dari sisi pendanaan dan infrastruktur sehingga mereka masih tetap berkarya seperti grup musik Culture Project yang tetap menciptakan lagu.
Selain itu juga ada seniman Fathuddin Mujahid dan Endeng Mursalim yang masih bisa melakukan pertunjukan di masa sulit ini.
Pandemi COVID-19 dikatakan Uun merupakan momentum bagi para seniman untuk segera bertindak menyesuaikan dengan era digital.
"Bagaimana kita memanfaatkan daring dan serius mempelajari artifisial inteligen dalam karya-karya seni, termasuk memanfaatkan semaksimal mungkin media digital," katanya.
Uun mengakui tidak semua seniman mampu mengakses media digital akan tetapi melalui momentum pandemi ini para seniman mestinya bisa melakukan itu.
"Ya, naikkan levelnya, dan ini sebenarnya peluang dimana kita bisa meminimalisir sesuatu yang tidak perlu dan bisa fokus pada sesuatu yang memang esensial," katanya.
Berbeda dengan seniman senior Endeng Mursalin. Baginya, berkarya itu tidak harus terhalang dengan kondisi apapun termasuk COVID-19.
Sejak pandemi COVID-19, Endeng terus menelorkan karya tanpa dihalangi oleh pandemi COVID-19. Karya terakhir ia pentaskan pada 30 Januari 2021 di Lapangan Vatulemo bertajuk 'LEDO BUTOH FAXIN COVID'.
Pertunjukan itu ia lakukan dengan merogoh kocek sendiri, tanpa dibiayai oleh siapa-siapa baik swasta maupun pemerintah.
"Jangan karena adanya pandemi ini kita mati ide, mati rasa, mati segalanya," katanya.
Seni bagi Endeng bukan bicara, bukan dialog, tapi rasa, empati dalam jiwa, sehingga bisa melakukan apa saja tanpa seruan dari siapa-siapa.
Kafe yang biasanya ramai dengan pengunjung umum itu, tiba-tiba menjadi posko bagi para seniman dan budayawan. Di sana mereka berkumpul, pentas, diskusi, hingga merancang skema baru bagi dunia seni dan budaya sebagai jalan keluar dari krisis pandemi COVID-19.
Itu terpaksa dilakukan sebagai alternatif tempat berkumpulnya para seniman karena sebelumnya infrastruktur seni budaya di kota itu ikut porak-poranda setelah diguncang gempa 7,4 skala richter pada 28 September 2018.
"Pascagempa, tsunami, dan likuifaksi, kita nyaris kehilangan segalanya. Itu belum berlalu, kita diterpa lagi pandemi COVID-19. Tidak ada lagi tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan. Di kafe inilah sementara kita jadikan markas," kata Udhin.
Saat gempa disusul tsunami dan likuifaksi menerjang Kota Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, infrastruktur banyak yang rusak parah. Sarana dan prasarana kesenian di sejumlah sekolah juga ikut hancur. Siswa pun akhirnya kehilangan tempat dan alat berekspresi.
Kegiatan berkesenian siswa, kini justru lumpuh setelah semua kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Tidak ada lagi latihan menari di sekolah, latihan olah vokal, musik, dan gerak.
"Belajar berkesenian kita di sekolah nyaris tidak ada lagi," katanya.
Taman Budaya Sulawesi Tengah, yang biasanya menjadi tempat para seniman beraktivitas nyaris hilang diterjang tsunami. Seluruh sarana dalam Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tengah itu rusak.
Meski sudah dibangun kembali dan Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Tengah telah berkantor di Taman Budaya itu, belum bisa mengembalikan sepenuhnya situasi seperti dulu, sebelum gempa menghajar Kota Palu dan sekitarnya.
Menurut Udhin FM, kondisi dunia seni dan budaya di Kota Palu, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan bencana, kini pandemi datang mendera.
"Pandemi sangat berpengaruh hampir semua sektor, bukan hanya mengganggu persoalan berkesenian saja," kata Udhin.
Menurut seniman perupa itu, hampir semua seniman di Kota Palu mengeluhkan situasi dan kondisi saat ini. Namun apa daya, kondisilah yang memaksa untuk menerima kenyataan, sebab berharap kepada pemerintah daerah pun, pemerintah daerah juga mengalami hal yang sama sehingga banyak anggaran dialokasikan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Dia mengatakan pelaku seni telah melakukan sejumlah pendekatan ke pemerintah daerah agar mendapat dukungan anggaran sehingga aktivitas seni terus berjalan meski di tengah pandemi, tetapi usaha itu sia-sia karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah.
"Alasan pemerintah daerah bahwa semua mata anggaran banyak dialokasikan untuk mencegah penyebaran COVID-19," katanya.
Sementara di sisi lain kata Udhin, seniman di Sulawesi Tengah belum bisa mandiri secara ekonomi sehingga masih perlu ditopang dari pihak lain untuk berkegiatan seni. Selain itu juga tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.
Selama pandemi bahkan pascagempa, Udhin mengaku baru bisa mementaskan karya seninya sekali pada 27 Desember 2020. Ia mementaskan sebuah karya instalasi yang meramu tari, rupa dan musik bertajuk "Siklus 25 (Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)". "(Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)" yang artinya, "mau bilang apa? bilang saja".
Keinginan warga itu kemudian dituliskan di atas kain spanduk panjang.
Pentas itu ia lakukan dalam merespons hasil Pilkada 2020 khususnya kepada gubernur dan wali kota terpilih. "Siklus 25 (Mo Ba Bilang Apa? = Ba Bilang Jo)" mendapat sambutan positif dari publik, terlihat dari banyaknya warga yang menuliskan keinginan mereka di atas kain spanduk tersebut.
Pentas virtual
Sebagai upaya mempertahankan eksistensi berkesenian, kata Udhin, sejumlah seniman telah mencoba melakukan kegiatan pentas secara virtual, namun hasilnya tidak memuaskan.
"Kegiatan secara virtual itu semacam ada sesuatu yang hilang. Mereka kehilangan penonton," katanya.
Dia mengatakan pertunjukan secara virtual umumnya hanya diikuti antar para pelaku seni sehingga karya-karya yang dihasilkan tidak berimplikasi secara sosial, politik dan ekonomi.
Lesunya aktivitas seni juga dialami Bengkel Seni Pitate. Bengkel seni mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Untad) Palu ini yang biasanya memiliki tiga kegiatan tahunan, justru selama pandemi tidak ada kegiatan pertunjukan.
"Kami punya tiga kegiatan tahunan, Prokem (Proyeksi Kreatifitas Mahasiswa), Pitate Park dan Pitate Camp, hampir setahun ini tidak ada kegiatan yang terlaksana," kata Shavira, pengurus Bengkel Seni Pitate.
Shavira mengatakan tidak adanya kegiatan tersebut salah satunya karena imbas dari pandemi COVID-19.
Pitate adalah salah satu bengkel seni paling aktif di Untad. Sejak dibentuk Juli 1996, lembaga seni ini telah memiliki 585 anggota dari 26 kali rajutan.
Meski tidak ada pertunjukan, organisasi seni ini hanya menggelar diskusi internal pengurus dan benah-benah kelembagaan.
Peluang masa pandemi
Budayawan Sulawesi Tengah Uun Pagessa mengakui sepinya aktivitas di bidang seni dan budaya di era pandemi bahkan hampir tidak ada karya yang dihasilkan di masa sulit ini.
"Aktivitas itu sudah jatuh dan sangat menurun setelah gempa, walaupun ada kegiatan tetapi itu berkaitan dengan kegiatan kebencanaan, bukan dalam bentuk murni karya seni budaya," katanya.
Menurut Uun, setidaknya dua faktor penyebab terhentinya aktivitas seni dan budaya tersebut yakni rusaknya infrastruktur pendukung seni budaya akibat gempa, tsunami, dan likuifaksi.
Kedua kata dia, karena dampak ekonomi yang menurun sehingga berimplikasi terhadap dana-dana produksi dan biaya kreatif yang lain.
Dia mengatakan mereka yang berkarya di masa pandemi COVID-19 ini karena masih mendapat dukungan dari sisi pendanaan dan infrastruktur sehingga mereka masih tetap berkarya seperti grup musik Culture Project yang tetap menciptakan lagu.
Selain itu juga ada seniman Fathuddin Mujahid dan Endeng Mursalim yang masih bisa melakukan pertunjukan di masa sulit ini.
Pandemi COVID-19 dikatakan Uun merupakan momentum bagi para seniman untuk segera bertindak menyesuaikan dengan era digital.
"Bagaimana kita memanfaatkan daring dan serius mempelajari artifisial inteligen dalam karya-karya seni, termasuk memanfaatkan semaksimal mungkin media digital," katanya.
Uun mengakui tidak semua seniman mampu mengakses media digital akan tetapi melalui momentum pandemi ini para seniman mestinya bisa melakukan itu.
"Ya, naikkan levelnya, dan ini sebenarnya peluang dimana kita bisa meminimalisir sesuatu yang tidak perlu dan bisa fokus pada sesuatu yang memang esensial," katanya.
Berbeda dengan seniman senior Endeng Mursalin. Baginya, berkarya itu tidak harus terhalang dengan kondisi apapun termasuk COVID-19.
Sejak pandemi COVID-19, Endeng terus menelorkan karya tanpa dihalangi oleh pandemi COVID-19. Karya terakhir ia pentaskan pada 30 Januari 2021 di Lapangan Vatulemo bertajuk 'LEDO BUTOH FAXIN COVID'.
Pertunjukan itu ia lakukan dengan merogoh kocek sendiri, tanpa dibiayai oleh siapa-siapa baik swasta maupun pemerintah.
"Jangan karena adanya pandemi ini kita mati ide, mati rasa, mati segalanya," katanya.
Seni bagi Endeng bukan bicara, bukan dialog, tapi rasa, empati dalam jiwa, sehingga bisa melakukan apa saja tanpa seruan dari siapa-siapa.